PANGGUNG politik Pemilu Legislatif 2009-2014 di Sabu Raijua resmi telah
selesai. Semua anggota terpilih sudah mengucapkan sumpah dan janji,
bahkan telah pula dilakukan pengisian anggota DPRD Sabu Raijua.
Maknanya,
sebagai para politisi pilihan rakyat, kita segera akan unjuk gigi
mempertontonkan kebolehan. Perjuangan melelahkan yang telah menyita
banyak waktu, tenaga, pikiran dan juga fulus, untuk menjadi anggota
dewan yang terhormat, telah sampai pada titik kulminasi. Wajar bila ada
ucapan syukur, karena terpilih dari sekian banyak Calon Anggota
Legislatif yang mengikuti pertarungan memperebutkan kursi.
Namun
perjuangan yang sesungguhnya, membela kepentingan rakyat, mengagregasi
dan mengartikulasikan aspirasi rakyat yang diwakili, baru memasuki
langkah pertama. Ke depan, sang waktu akan terus berlalu hari demi hari
tak kenal kata kompromi. Sebagai anggota Dewan - seperti lirik lagu Mbah
Surip - kita akan menggendong kemana-mana status sosial sebagai wakil
rakyat; pagi, siang, tengah malam, bangun tidur sampai tidur lagi,
kemana pun kita pergi, status itu akan terus melekat. Rakyat akan mulai
melakukan penilaian, bagi siapa yang siap fisik dan mental untuk naik
panggung, mereka akan memperoleh keterhormatan dari masyarakat, bagi
yang tidak siap, kelak akan turun tanpa keterhormatan.
Panggung
politik adalah sebuah kehidupan publik tanpa tabir. Kehidupan baru yang
dimasuki anggota Dewan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, adalah
sebuah kehidupan dimana transparansi menjadi sebuah keniscayaan. Gedung
DPRD secara fisik boleh berdinding beton tebal, tapi dalam imajinasi
publik, rumah rakyat itu ibarat rumah kaca tembus pandang.
Barangkali
itu terlalu ekstrim. Tapi kita memang tak lagi bisa memutar mundur
jarum jam. Masyarakat kita sudah terlanjur melek politik, masyarakat
telah tumbuh menjadi sangat kritis, bahkan cenderung skeptis. Akibatnya,
hampir semua fungsi pemerintahan yang mengandung elemen kekuasaan -
sekecil apapun - selalu sangat terbuka terhadap kecurigaan.
Sikap
curiga masyarakat tidak sepenuhnya salah. Sikap itu tumbuh justru
akibat perilaku kita sebagai para elit politik dan birokrasi itu sendiri
yang seringkali dirasakan kurang cerdas mengakomodasi aspirasi
kebutuhan rakyat. Kesulitan rakyat sering tak teratasi secara
konsepsional. Solusi, ada kalanya mengandung pula muatan kepentingan.
Dalil Lord Acton agaknya benar, kekuasaan cenderung disalah gunakan.
Kekuasaan cenderung korup.
Pada bagian lain, sebagai pengambil
keputusan, kita adakalanya mencari jalan pintas mudah, meminta rakyat
berdo'a saja untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Jelas itu tidak
menyalahi. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan, berdoa tidak perlu disuruh atau bahkan dimobilisasi. Dengan
atau tanpa pemerintah pun rakyat selalu berdo'a siang malam. Tapi
pertama-tama yang harus dilakukan sebelum menyalahkan alam dan kemudian
angkat tangan, sebagai pemangku kekuasaan, kita terlebih dahulu harus
menggunakan akal sehat dengan memanfaatkan instrumen ilmu pengetahuan
dan menggerakkan seluruh potensi yang ada.
Hal inilah agaknya
yang sampai hari ini belum kita lakukan sungguh-sungguh, sebab apa yang
tahun-tahun lalu sudah merupakan masalah, tahun ini masih harus kita
hadapi juga sebagai masalah. Kita lupa petuah orang-orang tua, dimana
ada kemauan di situ ada jalan.
Tidak bisa dipungkiri, banyak orang
berharap dengan terbentuknya DPRD Sabu Raijua akan membawa banyak
perubahan mendasar. Harapan yang tinggi disangkutkan di pundak DPRD.
Masyarakat akan mulai melihat, dan sekaranglah saatnya momentum bagi
DPRD untuk memuaskan harapan masyarakat. Keterbukaan semakin terjamin
dan hampir tak ada lagi celah bagi pemangku kekuasaan untuk menyalah
gunakan kekuasaannya dengan adanya pengawasan dari DPRD. Itu dalam
tataran konsep tata berpemerintahan yang logis.
Namun, rising
expectation (meningkatnya nilai harapan) bisa jadi dilema. Tanggungjawab
wakil rakyat mengharuskan kita memperjuangkan aspirasi rakyat dengan
gigih. Benturan adu pendapat antara wakil rakyat di panggung politik
yang selalu berlindung di bawah aspirasi rakyat dengan para pemangku
kekuasaan yang selalu menggunakan pendekatan kesisteman dalam memberikan
justifikasi terhadap kebijakannya, tak akan terhindarkan. Bukan hanya
itu, adakalanya banyak pula "PENUMPANG" yang turut memperkeruh suasana,
hanya untuk sekedar mencari kesempatan memancing di air keruh. Benturan
sering menimbulkan stagnasi dan ini bisa memicu AGRESIVITAS.
Kompromi
atau negosiasi sebagai jalan tengah bisa menyesatkan, tapi bernegosiasi
untuk kepentingan rakyat juga bukan hal tabu. Di sinilah uji nyali
terjadi. Ungkapan John F. Kennedy dalam pidato pengukuhannya sebagai
Presiden AS ke-35, pada 1961, menarik untuk dicermati. "Ketulusan selalu
perlu dibuktikan. Jangan pernah bernegosiasi karena kita merasa takut.
Tapi janganlah pula kita merasa takut bernegosiasi." Ujar Kennedy.
"Tidak banyak ruang tersedia bagi orang-orang pengecut."
"Keberanian
adalah anugerah di bawah tekanan", kata sastrawan Ernest Hemingway. Dan
tekanan bagi anggota dewan tak akan pernah surut, bahkan intensitasnya
akan meningkat. Baik dari internal (sesama anggota dewan maupun parpol
induk nya), maupun dari luar (pemerintah atau masyarakat itu sendiri
yang ditunggangi kepentingan politik tertentu). Namun betapa dilematis
pun posisinya, wakil rakyat memang harus berani berpihak pada rakyat,
entah siapa pun lawannya...
SEMOGA TUHAN MENOLONG KAMI !!!
https://www.facebook.com/notes/vecky-adoe/renungan-kecil-anggota-dprd/410330278981018