Translate

Sabtu, 29 Oktober 2011

Perempuan Sabu Menulis Sejarah Melalui Motif Tenun



Banyak kali menulis dipahami sebagai ketrampilan yang hanya memakai kertas dan tinta. Sebenarnya menulis adalah upaya manusia untuk mengekspresikan gagasan dalam berbagai bentuk. Perempuan Sabu menulis sejarah hidupnya, keluarga, dan kelompok/marga, bahkan masyarakat dan lingkungannya, melalui motif sarung untuk perempuan dan selimut bagi laki-laki. Motif tenun menjadi simbol sejarah perempuan Sabu yang berisi banyak cerita tentang tuturan pengalaman perempuan (tentang anak sulung dan anak bungsu, yang pertama kalinya melahirkan motif, dengan sifat-sifatnya, seksnya, cara hidupnya, pandangan hidup, spirit hidupnya); tentang hubungan masyarakat dengan lingkungan (sebagaimana tercermin dalam motif daun asam, sayur laut, warna tanah, binatang, pangan, rumah); dan seterusnya. Penempatan warna dan motif menjadi dokumentasi sejarah tertentu yang diwariskan kepada generasi berikut melalui pengajaran perempuan kepada perempuan. Ada tiga cara pengajaran ini diwariskan. Bisa pada saat kematian perempuan, perempuan tua yang memiliki pengetahuan mengenai motif tenun clan sendiri menceritakan sejarah motif serta makna motif. Cara kedua adalah selama proses menenun, guru pertama, yaitu mama, mengajar anak-anak perempuan cara menenun, termasuk pilihan dan penempatan warna, motif kecil dan besar, sekaligus mengenai sejarah dan makna motif. Cara ketiga adalah orang dapat belajar dari motif tenun itu sendiri.

Perubahan budaya lisan ke budaya tulisan menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk membaca pesan asli dalam simbol sejarah perempuan melalui motif tenun. Tradisi penerusan budaya perempuan melalui cerita lisan mulai lemah, bahkan tuturan sekitar karya tenun ini hampir tidak lagi diminati oleh generasi saat ini. Penciptaan pakaian oleh pabrik menggeser peranan tenunan dalam kehidupan keseharian masyarakat Sabu, sehingga nilai-nilai yang dipesankan dalam motif tenun terkesan mulai diabaikan. Kepintaran diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal, termasuk kemampuan membaca dan menulis di atas kertas. Kepintaran menenun dan memahami makna motif tidak diakui sebagai sumber ilmu. Meskipun demikian, masih ada perempuan Sabu yang setia memelihara tradisi menenun sebagai warisan berharga dari pendahulunya. Salah satu dampak dari ini adalah di antara perempuan mungkin ada yang mengerjakan karya ini hanya sebagai sebuah tugas rutin perempuan tanpa memahami nilai-nilai yang terdapat dalam setiap helai benang dan warnanya, atau yang terdapat dalam motif besar dan kecil, atau tanpa memahami peraturan terkait cara berpakaian untuk setiap kebutuhan.

Dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat Sabu, juga mulai berdampak pada beberapa pergeseran memaknai budaya Sabu pada generasi sekarang. Perubahan ini berdampaknya juga terhadap motif tenun, yaitu, paten motif tidak lagi dilindungi di mana keturunan clan perempuan sulung dan bungsu saja yang diizinkan memakainya, tetapi sekarang sudah dijual secara bebas dan dipakai bebas. Orang juga sekarang menenun motif yang seharusnya dipelihara itu tanpa izin dari keturunan yang menjadi pemilik asli motif. (Namun tentunya terhadap argumen ini masih terbuka ruang utk diperdebatkan/didiskusikan).

Supaya kita tidak salah menafsir sejarah hidup yang ditulis perempuan Sabu lewat motif tenun, maka saya coba menguraikan sedikit sejarah tersebut secara tertulis sebagai bagian dari upaya pelestarian tradisi mereka, tentunya berdasarkan yg saya tahu dari berbagai cerita dan referensi. (Mohon dikoreksi oleh saudara-saudara yang tentunya lebih tahu dan paham soal ini. Saya sekedar hanya pengen berbagi).

Masyarakat Sabu mengenal genealogisnya menurut garis keturunan ibu dan ayah. Garis keturunan ayah disebut clan (udu) dan garis keturunan ibu disebut mayang (hubi).
Di Sabu ada lima wilayah adat dan secara adat clan laki-laki biasanya menguasai di wilayah adat tertentu, sedangkan clan perempuan melintasi batas wilayah melalui perkawinan. Dengan demikian motif-motif tenun terdapat di seluruh wilayah adat Sabu dan tidak terbatas pada wilayah tertentu.

Garis Keturunan Perempuan

Legenda menceritakan asal muasal garis keturunan perempuan Sabu yang berawal dari dua orang perempuan, yakni Mudji Babo dan Lou Babo. Mudji adalah sulung dan Lou adalah adik/bungsu. Muji Babo dikenal sebagai anak yang rajin bekerja dan menenun, sedangkan adiknya Lou, manja dan malas bekerja. Mudji Babo mengadakan pameran hasil kerjanya sambil menghina Lou Babo sebagai orang yang tidak mempunyai apa-apa dan malas. Hari pameran mendekat, Mudji Babo mulai mengikat tali panjang untuk menggantungkan hasil tenunannya, sambil menyindir adiknya. Dalam keadaan 'tertekan', Lou Babo hanya bisa memilih dan mengumpulkan biji kapas dalam wadah-wadah anyaman. Hari pameran dibuka, Mudji Babo telah memamerkan tenunannya, sedangkan Lou Babo menjadi heran sebab ketika wadah biji kapas itu dibuka, ternyata bukan biji kapas melainkan telah berubah menjadi lembaran–lembaran sarung.

Sekali waktu, menurut legenda yang diceritakan, pernah ada perkelahian besar di antara Mudji Babo dan Lou Babo, sebab Lou jengkel dihina terus-terusan oleh kakaknya, sedangkan Mudji sangat cermburu terhadap adiknya, karena tanpa bekerja keras ia masih dapat menghasilkan banyak tenunan. Pada saat berkelahi, orang tua mereka menyuruh mereka harus membagi peralatan tenun. Sejak itu Mudji dan Lou sepakat untuk membagi peralatan tenunan, yang Dilakukan secara simbolis dengan pembagian sari nila untuk pewarnaan benang yang diambil dari satu periuk. Mudji Babo menimba air nila bagian atas dan terbanyak untuk dirinya sebab dianggap lebih banyak itu lebih baik, sedangkan air nila sisa dalam periuk untuk Lou Babo. Yang tidak disadari oleh Mudji Babo adalah air nila sisa yang di bawah periuk adalah yang paling bermutu sehingga Lou Babo yang diuntungkan dari sikap Mudji Babo. Dan inilah yang menjadi dasar pembagian motif, sekaligus pembagian 'mayang' perempuan di Sabu. Karena Mudji Babo mengambil air nila lebih banyak, maka dia beserta keturunannya ditetapkan sebagai pemilik motif mayang besar (hubi ae). Lou Babo, karena memperoleh air nila sedikit, dengan seluruh keturunannya dinyatakan sebagai pemilik motif mayang kecil (hubi iki).

Legenda ini menjadi dasar pembagian genealogis yang disimbolkan melalui motif sarung. Tradisi pemilikan motif secara geneologis nampak pada peristiwa pernikahan dan kematian. Seorang perempuan dari mayang besar (hubi ae) atau mayang kecil (hubi iki), saat meninggal akan memakai sarung dengan motif menurut asal genealogisnya. Motif tenun diberi nama seorang perempuan, entah itu pencipta motif atau tokoh perempuan Sabu (misalnya, Motif Pudilla), nama yang terkait peristiwa sejarah tertentu (misalnya, Motif Piri Ga Lena), atau nama lingkungan alam (misalnya, Motif Wo Boi).

Jumat, 28 Oktober 2011

SEDIKIT CERITA TENTANG MOTIF-MOTIF TENUNAN SABU



Ada istilah bervariasi untuk menyebut pembagian motif tenun yang dipatenkan secara turun temurun sampai sekarang menurut kedua perempuan. Muji Babo dan keturunannya menulis sejarah hidup mereka melalui sarung yang biasa disebut sarung pukul (ei raja), sarung mayang besar (hubi ae), atau motif besar (hebe ae). Motif–motif yang diciptakan dan dimiliki oleh keturunan Muji Babo adalah:

 >>>Motif-Motif Keturunan Muji Babo (hubi ae):

1.    Motif Pudilla
2.    Motif Robo
3.    Motif Dula
4.    Motif Kobe Morena
5.    Motif Piri Ga Lena
6.    Motif Kobe Molai
7.    Motif Kae Hoge
8.    Motif Tutu

>>>Dilla Robo (Motif Pudilla)

Dilla adalah tokoh legenda yang diberi nama lain sebagai nama pelindung dan pemberi kekuatan sesuai tradisi Sabu (ngara 'bhani), yaitu Mare Ga. Dia adalah putri tunggal dari tiga saudara laki-laki dari pasangan Muji Babo dan Robo Aba. Dilla dipercayai sebagai perempuan cantik dan menikahi banyak laki-laki di setiap wilayah adat di Sabu, termasuk kawin dengan saudara laki-laki sendiri. Dilla memiliki kekuatan dengan rahasia yang mempesona, bahkan sulit untuk mengenal kepribadianya. Ketika Dilla menuju ke wilayah Dimu (bagian timur Pulau Sabu) untuk menikah pada kali yang terakhir, tiba-tiba turun hujan lebat. Oleh sebab itu ditafsirkan sebagai tanda alam tidak merestui, maka masyarakat memukul lesung-lesung sehingga orang bangun menyelamatkan diri dengan melakukan acara adat. Tetapi rupanya itu percuma, oleh sebab atas kemarahan dan hukuman alam, Dilla meninggal. Lesung lalu disimbolkan sebagai tubuh Dilla alias Mare Ga.

1. Motif Pudilla

Kata Pudilla terdiri dari dua kata appu dan Dilla. Appu artinya nenek dan Dilla adalah diambil dari nama Dilla Robo. Peringatan akan kehidupan Dilla Robo dengan poliandri (menikahi banyak laki-laki) serta incestnya ditulis melalui Motif Pudilla (motif Nenek Dilla). Motif itu terdiri dari dua pucuk rebung, gagang haik (wadah minuman dari daun lontar), sebuah motif kecil di dalam motif besar.  Motif ini mempunyai pesan dan harapan sbb: dua pucuk rebung adalah peringatan agar anak-anak cucu tidak mengikuti cara hidup Nenek Dilla yang poliandri dan kawin sedarah dengan saudara laki-lakinya; gagang haik adalah ajakan untuk berpegang pada adat istiadat; dan bunga kecil merupakan harapan agar generasi Nenek Dilla menjadi orang-orang terpandang. Konteks cerita Dilla Robo di wilayah adat Habba (Seba saat ini). Kuburan Dilla Robo dipercaya berada di salah satu kampung di Kekoro.

2. Motif Robo

Motif Robo berbentuk segi empat. Motif sarung ini bermakna sebagai senjata pelindung dalam perjalanan, seperti peristiwa pernikahan di mana suami isteri akan keluar dari keluarga masing-masing menuju rumah tangga baru. Juga saat kematian, motif ini bermakna sebagai "pelindung" selama perjalanan kembali ke dalam persekutuan para leluhur. Motif ini dipercayai sebagai motif pusaka dalam genealogi Dilla Robo.

3. Motif D’ulla

Motif D'ulla dilestarikan sebagai motif selimut asli bagi laki-laki, disebut hi’jji, yang berfungsi sebagai motif dalam pakaian jabatan pimpinan adat, juga untuk upacara, pernikahan, dan kematian, serta pakaian harian. Mengapa Motif D’ulla dikhususkan untuk selimut laki-laki belum diketahui secara pasti. Memang Motif Du’lla juga ada pada sarung perempuan. Laki-laki tidak memiliki motif khusus seperti pada perempuan.  D'ulla adalah wadah yang dibuat dari dahan pohon pinang dan campuran tanah liat yang berfungsi sebagai tempat merendam akar-akar pohon (obat tradisional) untuk memandikan bayi yang baru lahir. Wadah tersebut juga dipakai sebagai tempat air untuk ritus pemandian anak-anak secara adat (d’abba). Pengalaman pemeliharaan bayi, manfaat pohon pinang dan tanah liat bagi keluarga-keluarga dan masyarakat saat itu, serta ritus pengesahan anak-anak menjadi warga adat yang syah melalui ritus d’abba diceritakan melalui motif ini.

### Selanjutnya saya bingung, karena ada sketsa cerita lain lagi di masyarakat tentang Dilla yang agak berbeda dari versi di atas.
(Apakah Dilla Robo alias Mare Ga ini adalah orang yang sama dengan Dilla Tede alias Ga Lena dalam kisah di bawah??? Ataukah keduanya adalah individu yang berbeda???), namun bukti-bukti motif (nama) nya masih ada sampai sekarang.
Atau apakah Motif Kobe Morena, Motif Piri Ga Lena, dan dan Motif Kobe Molai di bawah merupakan “sub” motif? Atau apakah ini motif tersendiri atau bagaimana meng-sinkron-kan kisah-kisah di balik motif-motif tenunan yang ada, sesuai cerita dan legenda yang berkembang dalam masyarakat Sabu????

# [Nah untuk itulah mohon koreksi dari saudara-saudara yang lebih paham tentang ini, sebagai dokumentasi sejarah budaya kita orang Sabu....]


>>>Dilla Tede

Dilla Tede menikah dengan tukang perahu namanya Raja Bangngu. Dilla Tede pada suatu hari berangkat ke Kota Ga (menurut beberapa sumber, letaknya... katanya di Pulau Solor di Flores) dengan perahu yang diberi nama Kowa Deo. Tiba di Kota Ga, Dilla Tede menghadap raja dan memperkenalkan dirinya dengan nama Ga Lena (seorang putri dari Kerajaan Ga) lewat ungkapan syair: "Ga Lena Uli Wo Helagi Horo Made De Waru (yang kurang lebih artinya: putri Raja Ga yang datang dari negeri bulan penuh lingkaran cahaya)". Dia melaporkan tentang bencana perang yang terjadi di negerinya dengan menunjukkan tulang-tulang kuda sebagai tulang manusia.  Raja peduli dan memberi dukungan kepadanya. Dilla Tede diberi hadiah sebuah kotak pusaka. Usai percakapan dengan sang raja di Kota Ga, ia kembali ke Sabu dengan dukungan perlengkapan perang berupa tujuh buah kapal, satu bendera, serta senjata lainnya. Setibanya di Sabu, Dilla Tede mengibarkan bendera tersebut di tengah clan Nahoro di Liae; sampai sekarang tempat itu dinamai kibar bendera (hala paji).

Dari kisah ini, konon kemudian lahirlah motif-motif tenunan berikut.....

4. Motif Kobe Morena

Motif ini berkisah tentang sejarah hidup perempuan bernama Dilla Tede. Sejarah hidup ini menjadi sumber inspirasi bagi Dilla Tede dengan menciptakan sebuah motif yang diberi nama Kobe Morena. Motif ini menjadi buku sejarah tentang misi Dilla Tede ke Kota Ga dan hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari Dilla Tede.

5. Motif Piri Ga Lena

Dila Tede, alias Ga Lena, dikenang sebagai perempuan yang bercahaya seperti Bani Weo (gambaran untuk bulan di mana dalam pandangan seolah-olah ada nenek yang memintal benang, sesuai beberapa cerita rakyat yang berkembang). Dan seperti itulah Dilla Tede di-metafora-kan oleh anak cucunya. Untuk mengenang tokoh legenda Dilla Tede sebagai tokoh 'terang bercahaya', anak cucu Dilla Tede menciptakan motif baru yang disebut Motif Piri Ga Lena (piringnya Ga Lena, alias Dilla Tede). Kemungkinan piring yang dibawa oleh Dilla Tede dari negeri seberang dijadikan inspirasi untuk motif piring bagi anak cucunya, yang dalam bahasa daerah diungkapkan sebagai Motif Piri.

6.  Motif Kobe Molai

Di wilayah Mehara, bagian barat pulau Sabu, ada motif lain yang juga mengenang Dilla Tede, disebut Motif Kobe Molai yang terdiri dari ranting-ranting hijau. Jadi sejarah hidup tokoh Dilla Tede diceritakan dalam tiga buah motif, yakni Motif Kobe Morena, Motif Piri Ga Lena, dan Motif Kobe Molai.


# Kemudian...,
untuk menjelaskan beberapa motif-motif selanjutnya, baiknya kita lihat juga cerita-cerita legenda orang Sabu yang melatar belakangi lahirnya motif-motif tenunan Sabu berikut ini...

Bahwa dahulu kala ada dua perempuan bersaudara, yakni Pi’i Rebo dan Dilla Jingi meski berlainan ayah. Ibu mereka ialah Wanynyi Daku. Ia menikah dengan ayah Pi’i, yakni Rebo Tari. Setelah Rebo Tari meninggal, ibunya menikah dengan seorang laki-laki lain, yakni Jingi Tari. Dari perkawinan itu lahirlah Dilla Jingi yang kemudian melahirkan anak perempuan lagi, bernama Meko.

7. Motif Kae Hoge

Mengenang asal usul mereka dari satu leluhur, mereka menciptakan sebuah motif yang disebut Motif Kae Hoge. Motif ini berupa dua ekor burung yang sedang berdiri pada sebuah wadah dengan papan dan berdiri tegak punggungnya.

8. Motif Tutu

Motif Tutu menceritakan tentang tokoh perempuan Dina Riwu yang berasal dari Mehara (ujung barat pulau Sabu). Dina akan menikah dengan Jami Lobo di Seba, tetapi karena sakit, ditunda pernikahannya. Setelah sembuh, Dina tidak menikahi Jami Lobo, tetapi menikah dengan seorang fetor dari Menia, yakni Tero Weo. Mendengar hal itu, Jami Lobo membuat festival tarian (ledo). Di acara itu Jami Lobo bertemu dengan Dina. Hal ini menimbulkan, bentrokan kecil. Sindiran tentang kelakuan Jami Lobo terhadap Dina ditulis dalam Motif Tutu yang berupa ayam dan cermin.
# [Mohon maaf...saya tdk sedang bermaksud tendensius terhadap siapapun di sini, karena itu sangat dibuka celah untuk dikoreksi atau diberi catatan tambahan pada poin ini]

>>>Motif-Motif Alam

9. Motif Wo Kelakku Kaji Ru Helagi

Motif ini berkisah tentang manfaat daun asam sebagi rempah-rempah dan jamu. Daun asam digunakan oleh perempuan Sabu sebagai bahan perawatan tubuh dan kecantikan. Motif ini tidak diketahui siapa yang menciptakannya, tapi masih dalam lingkungan mayang Muji Babo (mayang besar).

10. Motif Wo kelakku Keware Wa

Motif ini mirip dengan motif Ru Helagi kecuali simpul motifnya.

11. Motif Kae Kuhi

Motif ini berupa mata kunci yang saling bergandengan. Motif ini merupakan peringatan bahwa setiap orang tidak bisa memasuki rumah yang terkunci tanpa kuncinya. Apakah motif ini dapat diduga sebagai catatan tentang perkenalan/pertemuan masyarakat Sabu dengan teknologi kunci??? Belum pasti...

12. Motif Wo Kelakku Wo Pudi

Motif ini berupa daun daun bergantungan. juga belum diketahui penciptanya dan makna dari simbol  daun ini.

**[Motif 1-8 di atas bercerita tentang perempuan Sabu, sedangkan motif 9-12 bercerita tentang lingkungan hidup/alam sekitar].


>>>Motif-Motif Keturunan Lou Babo (hubi iki)

Sejumlah motif diciptakan juga oleh perempuan dari garis keturunan Lou Babo berdasarkan sejarah mereka yang unik, baik secara individu, keluarga, maupun kelompok. Motif-motif dari keturunan Lou Babo dikenal dengan nama sarung Ei Ledo (sarung terakhir) dari hubi iki (mayang  kecil), sebutan  untuk genealogis Lou Babo.
Motif-motif tenunan yang terdapat dalam mayang Lou Babo adalah:

1.    Motif Wo Boi
2.    Motif Keware Hawu
3.    Motif Putenga
4.    Motif Jawu [Motif Wo Kelakku dan Peeki Jawu?]
5.    Motif Jingi Wiki
6.    Motif Mahi Dole
7.    Motif Wara Tada

1.    Motif Wo Boi; dan
2.    Motif Wo Keware Hawu

Motif sarung ini, bercerita banyak hal dari fakta-fakta dan pesan kehidupan. Misalnya, perempuan dari mayang ini menulis bahwa leluhur mereka dulu tinggal di laut, lalu ke darat dan membuat rumah tinggal. Perahu di laut sebagai rumah tinggal menjadi sumber inspirasi ketika mereka membuat rumah di darat. Itulah sejarah yang diceritakan dua motif ini. Awalnya leluhur di cerita ini tinggal di laut tanpa rumah. Meski demikian mereka hidup laksana bunga karang (wo boi) yang bernaung di balik karang laut yang kuat. Saat mereka beralih ke darat, mereka mulai mencari dan membuat tempat untuk tinggal. Pencarian bentuk tempat tinggal itu dinyatakan dalam bentuk rumah yang dikenal dengan lingkaran elips Sabu (wo keware Hawu). Motif Wo Boi dan Motif Keware Hawu menjadi catatan sejarah perjalanan dari laut sampai leluhur mereka menetap di Pulau Sabu dengan membangun rumah tinggal. Dalam legenda perempuan Sabu, motif sarung si bungsu Lou Babo melambangkan perlindungan. Tempat perlindungan itu dapat dilihat dalam karya nyata dari rumah asli Sabu yang berbentuk perahu. Ini menjadi cikal bakal pembuatan rumah Sabu berbentuk perahu.
Bagi orang Sabu, rumah adalah karya fisik buatan laki-laki dan perempuan. Perempuan [yang keturunan Lou Babo] menulis seluruh gagasan, pengalaman, dan sejarah mereka dalam sarung Ei Ledo melalui motif bunga karang dan lingkaran elips. Perempuan Sabu men-dokumentasi-kan semua pengalaman hidup mereka pada saat terentu dan menulisnya dalam motif. Sarung dengan motif yang berwarna-warni seperti merah, kuning, hijau, biru, coklat, abu, putih, jingga, dan hitam melukiskan kehidupan yang syarat makna.

3. Motif Putenga [atau Putenga yang inspirasi untuk Motif Kekedi?]

Kata Putenga terdiri dari dua kata; pu dari kata appu yang berarti nenek (sebagaimana dijelaskan mengenai Motif Pudilla di atas), dan Tenga, dari nama Tenga Ga. 
Tenga Ga adalah tokoh legenda. Motif ini bercerita tentang perkelahian antara dua suami dari Tenga Ga dan saudara laki-lakinya. Perkelahian dan kematian yang terjadi akibat ucapan dari Tenga Ga yang memancing kemarahan dari saudara laki-lakinya sendiri dengan suaminya. Panas hati, peperangan, dan kematian menjadi catatan/pesan yg disampaikan oleh motif ini. Peringatan akan leluhur Tenga Ga ini melahirkan Motif Kekedi (alat tenunan untuk menghaluskan kapas) sebagai lambang pertimbangan. Motif Kekedi adalah motif untuk mengenang tokoh leluhur Tenga Ga serta peristiwa tragis yang menimpa dia dan keluarganya. Konteksnya di wilayah adat Habba (Seba), motif ini hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari tokoh Tenga Ga.

4.  Motif Jawu

Motif ini bercerita tentang tokoh perempuan yang cantik bernama Jawu. Sang ibu karena tugas mengasuh Jawu tidak dapat bersama suaminya bekerja di ladang. Suaminya marah pada sang istri karena waktu dan perhatian dicurahkan pada si anak. Akhirnya, sang ibu meninggalkan anaknya di rumah sendirian, lalu ke ladang mengikuti suami. Anak itu sendirian di rumah; lalu penolong dewa, yaitu nenek matahari, datang mengambilnya ke singgasananya dan memelihara Jawu. Ketika Jawu sudah besar, ia dinikahkan dengan tokoh legenda bernama Kelogo Liru. Usai melahirkan anak-anak dengan Kelogo Liru, Jawu turun ke bumi dan tinggal di atas pohon heliru. Menurut legenda, Jawu menikah beberapa kali, baik di Mehara (ujung barat Pulau Sabu) dan juga di Sabu timur. Tokoh adat yang menikahinya di Sabu Timur membuat rumah khusus bagi Jawu yang diberi nama Kopo Jawu, artinya rumah Jawu. Rumah khusus itu dibuat untuk memenuhi keinginan Jawu yang tidak mau tinggal serumah dengan suaminya, Bella Hina. Kisah Jawu ditulis pada Motif Wo Kelakku dan Motif Peeki Jawu. Motif tentang kehidupan Jawu dalam legenda orang Sabu, tidak bisa dipisahkan dari langit dan bumi.

5. Motif Jingi Wiki

Motif ini menceritakan tentang tokoh perempuan Nida. Nida dimitoskan sebagai perempuan magis. Kekuatan magisnya dapat memisahkan istri-istri dari suaminya. Bila tokoh ini hadir dalam sebuah rumah/keluarga, maka sang istri akan keluar meninggalkan suaminya. Bila sang istri menetap di rumah, resikonya kematiannya. Kehidupan Nida yang poliandri ini menghasilkan keturunan hampir di seluruh wilayah Pulau Sabu. Tokoh magis ini diberi nama julukan Jingi Wiki, artinya yang memisahkan. Sejarah tokoh magis Nida alias Jingi Wiki ditulis dalam Motif Jingi Wiki. Motif ini terdiri dari bunga besar dan kecil dengan banyak tangkainya. Bunga-bunga itu melambangkan kehidupan Nida. Motif ini di'paten'kan bagi anak-cucu dan keturunan Nida, dan orang lain dilarang memakainya atau menirunya sebab dipercayai jika demikian akan seperti Nida.

6. Motif Mahi Dole

Hidup dan sejarah Mahi Dole ditulis dalam motif berbentuk perahu yang diberi nama Mahi Dole. Tokoh mitos ini dikenal sebagai yang memilki kekuatan sihir (kewaga). Karena kekuatan sihir itu, ia dibuang ke laut oleh saudara-saudaranya di Selat Raijua (ujung barat Pulau Sabu dan ujung timur Pulau Raijua). Mahi Dole selamat dan terdampar di pantai barat Pulau Sabu. Dia ditemukan oleh dua laki-laki pemburu di hutan dan dibawa kepada Raja. Kehadirannya meresahkan Raja karena kekuatan magisnya. Padahal, Mahi Dole hampir terbunuh dalam sebuah skenario yang dibuat Raja, yakni waktu upacara pemulihan kematian, seekor kerbau dibunuh. Di atas binatang korban itu Mahi Dole dimuat untuk dibunuh, tetapi diselamatkan. Mengenang leluhur Mahi Dole, keturunannya menyebut diri mereka “benih yang diserahkan”. Simbol kehidupan yang terancam itu digambarkan melalui motif bercorak perahu.

7. Motif Wara Tada

Perempuan Sabu memiliki juga kreatifitas pribadi, untuk menulis sejarah pribadinya melalui motif sarung. Hal ini nyata dalam kisah Motif Wara Tada. Motif Wara Tada agak unik, karena terdapat dua bunga besar dalam satu sarung. Biasanya hanya satu motif besar untuk satu sarung. Motif ini menggambarkan kisah hidup leluhur perempuan mereka, yang ditolak, dan dibunuh oleh ayahnya sendiri karena kehidupan seksnya [maaf...]. Upaya pembunuhan sang ayah gagal, oleh karena kecerdikan si anak yakni Wara Tada, mengecoh ayahnya sebelum parang diayunkan kepadanya.  Wara Tada meloncat ke dalam laut . Di laut itulah Wara Tada, ditolong oleh ikan paus (lungi rai), yang merawat luka-lukanya dan membawa dia pulang ke pantai. Pengalaman hidup dalam dua dunia, dunia manusia dan dunia laut/ikan, dikisahkan oleh Motif Wara Tada. Motif yang bercerita tentang penderitaan karena seks, tentang kehidupan dan kematian (darat dan laut), tentang pertolongan dan kebaikan ikan paus. Motif ini berupa ikan dan  sayuran laut.
Atau juga, Wara Tada, menulis sejarah hidupnya yang buruk karena seksnya sebagai perempuan yang dibuang ayahnya ke laut. Pengalaman itu disimbolkan dalam motif ikan paus, tanaman laut yang disebut sarung dua motif (ei due hebe).
Motif ini juga mengandung ikatan perjanjian antara WaraTada sang leluhur serta seluruh keturunannya ke depan, untuk mengingat jasa ikan paus serta berjanji tak akan memakan daging ikan paus. Dan sampai sekarang keturunan Wara Tada mentaatinya sebagi pantangan. Bahkan bila ikan paus terdampar di pantai di Sabu, mereka akan membawa sarung Motif Wara Tada, dibalut pada leher ikan paus lalu di dorong masuk ke laut. Di sini kita melihat… sebuah eko-feminisme dari perempuan Sabu dan juga masyarakatnya.

>>>Motif Netral (Wo Rapi)

"Hak paten" motif pakaian yang dijunjung tinggi oleh perempuan dari dua keturunan (sulung dan bungsu), yakni Muji Babo dan Lou Babo; nampaknya melahirkan kearifan baru dari kedua kelompok perempuan dalam tatanan masyarakat Sabu. Benar, tantangan melahirkan peluang baru. Pasti mereka berdiskusi bagaimana mengatasi inklusifisme tersebut agar mereka saling terbuka.
Jawabannya, mereka menciptakan motif penengah yang dikenal dengan motif/sarung “wo rapi”.
Motif sarung ini sangat bervariasi antara motif lokal dan luar seperti: bunga, burung, malaikat, daun anggur, dan seterusnya. Disebut wo rapi karena menampakkan berbagai variasi warna pada motifnya. Sarung dengan motif netral ini menjadi pakaian sehari-hari dan boleh dipakai oleh ke dua kelompok perempuan. Motif Wo Rapi juga dibuat untuk selimut dan dapat dipakai sehari-hari oleh laki-laki.

# Kekama Haba

Motif ini diciptakan untuk selimut laki-laki. Inilah motif lokal dan dipatrikan pada selimut (hijji). Juga ada motif netral/luar yang disebut Motif Wo Rappi.

Minggu, 21 Agustus 2011

TENTANG TERJADINYA PULAU SABU (Sesuai Versi Dan Wawasan Orang Sabu Memandang Dunianya)

Cerita kronologis tentang terjadinya/terbentuknya pulau Sabu/Rai Hawu ini, sudah dari leluhur turun temurun sesuai pandangan warga masyarakat adatnya memandang dunia dan lingkungannya.


Bila diceritakan tentang kejadian pulau/tanahnya, akan pula tertutur silsilah leluhur/marganya; karena terbentuknya pulau Sabu terjadi disaat seorang leluhur bernama “Kika Ga” atau “Kika Liru” (silsilah Do Hawu ke-32). Pulau ini telah diberi nama “HAWU” yang arti Ha: terdampar/datang; dan Wu: tanah onggokan pasir kali/sungai. Jadi singkatnya: “Tanah yang dionggok/ditimbun secara raksasa” menjadi sebuah pulau, yang diberi nama HAWU. Itulah pulau Hawu yang ada sekarang ini.

Memang pada saat leluhur “Balla Bako” (silsilah Do Hawu ke-9), sudah terjadi pemisahan Dahi (laut), Rai (daratan), Liru (langit) tetapi dikatakan pulau Sabu belum ada kecuali ”Hu Penyoro Mea” yang sudah ada di wilayah Liae kecamatan Liae di saat sekarang ini. Demikian pula diikuti pemisahan-pemisahan berupa benda-benda, hewan, benda gas/angin, benda-benda langit di saat leluhur Dara Dai (silsilah Do Hawu ke-11), menurut nama anak cucunya (silsilah Do Hawu ke-12 sampai dengan ke-13). Karenanya Hu (tanjung) Penyoro Mea itu pada saat air pasang hanya merupakan pulau batu yang tersembul dari permukaan laut agak terpisah dari pulau Sabu. Disitulah Kika Ga berada pada waktu manusia langit bernama “Ludji dan Pidu” turun mengail di tempat itu (Penyoro Mea-Merabbu) di Liae, dan terjadilah pertemuan diantara ketiga orang itu. Mereka makan dan mengail ikan bersama-sama, bahkan sebelah ikan harus ditinggalkan oleh Ludji dan Pidu untuk teman mereka Kika Ga di Penyoro Mea.

Kemudian keduanya (Ludji dan Pidu) pulang ke langit (angkasa) dengan membawa sebelah ikan saja, kalau hasil mengail mereka seekor saja. Hal ini dikarenakan mereka harus menyerahkan sebelah ikan mereka kepada teman mereka Kika Ga. Pemberian sebelah ikan ini berlangsung selamanya terhadap hasil tangkapan kedua bersaudara tersebut dengan Kika Ga. Keadaan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan kepada orang tua mereka di angkasa (langit), mengapa harus selalu sebelah ikan yang ada. Lalu kedua bersaudara Ludji dan Pidu dipanggil oleh orang tua mereka. Tentang ikan sebelah yang terus menerus itu ditanyakan.

Pada akhirnya, Ludji dan Pidu menjelaskannya bahwa mereka mendapat seorang teman bernama Kika Ga di Penyoro Mea-Merabbu Liae, dan setiap kali mereka pergi mengail, mereka beri sebelah ikan dari hasil tangkapan mereka kepada teman mereka itu. Orang tua mereka juga senang terhadap perlakuan anak-anaknya, malah bila dimungkinkan, agar diajak juga dia (Kika Ga) ke angkasa (langit) untuk dijadikan teman atau saudara sendiri. Ludji dan Pidu sangat bersukacita mendengar keinginan orang tua mereka.

Pada suatu hari lagi Ludji dan Pidu turun mengail dan pada saat itu mengajak dengan bersungguh-sungguh kepada Kika Ga supaya sudi bersama mereka ke angkasa/langit. Dan akhirnya Kika Ga juga bersedia pergi bersama mereka ke angkasa. Ludji dan Pidu, betapa berbahagia dan bersukaria mendengar jawaban temannya itu. Tidak lama kemudian merekapun pergi ke langit, dan setibanya disana kedua orang tua Ludji dan Pidu sangat senang menyambut ketiga teman yang sangat akrab itu, layaknya sebagai saudara kandung saja.

Di angkasa/langit, Kika Ga diperlakukan dengan baik oleh Ludji dan Pidu serta semua keluarga mereka. Pada akhirnya Kika Ga dilantik dan diangkat menjadi anak dalam keluarga mereka. Pesta pelantikanpun terjadi dengan meriah. Seluruh isi perut hewan sembelihan, diperuntukan bagi seluruh orang miskin, melarat sebagai peringatan bagi pelantikan itu. Nama Kika Ga, setelah pelantikan menjadi ”Kika Liru” di keluarga Liru/angkasa/langit, ia kemudian memiliki kesaktian dan kegaiban yang luar biasa. Kika Liru diberi tanah usaha dan segala macam kekayaan di perairan langit/angkasa, tetapi segala usahanya sia-sia bahkan gagal total. Pada akhirnya ia memohon kepada kedua orang tuanya di langit supaya ia kembali berusaha di Hu Penyoro Mea lagi, karena pasti ia berhasil disana. Keluarga Liru juga memahami tujuan baik dari Kika Liru ini, dan pada akhirnya Kika Liru dikembalikan dan di antar ke Penyoro Mea oleh saudaranya Ludji dan Pidu, dengan penuh kesaktian dan kegaiban dan Kika Liru sudah berada kembali di tempat asalnya.

Kika Liru memulai rencananya, ialah agar Penyoro Mea diperlebar dan diperbesar, tetapi harus dengan mengambil tanah dari bawah kolong rumah Pejabat Adat Jawawawa/Raijua yang sakti dan gaib itu. Pejabat Adat Jawawawa/Raijua yang sakti dan gaib saat itu ialah Mone Weo dan isterinya bernama Banni Baku. Karena kesaktian dan kegaiban yang dimiliki Mone Weo sehingga dipastikan bahwa tanah dibawah kolong rumah adat mereka adalah tanah yang sakral pula. Kika Liru setiap malam pergi ke Jawawawa/Raijua dan mengangkat tanah kolong rumah adat inti di Raijua itu, tetapi tidak lama kemudian para tikus penjaga memberitahukan Pejabat Adat Mone Weo bahwa ada orang yang mengambil tanah kolong rumah Adat Raijua itu. Akhirnya Kika Liru tertangkap dan dibawa untuk diadili dihadapan Pejabat Adat itu. Setelah ditanya mengapa ia membawa tanah kolong rumah adat Raijua itu, dengan jujur Kika Liru menjelaskan maksud membawa tanah kolong rumah adat itu supaya Penyoro Mea tempatnya itu bisa diperlebar dan diperluas arealnya. Pejabat Adat Raijua itu pada akhirnya setuju dengan tujuan baik Kika Liru itu dan diijinkan melanjutkan pekerjaannya dengan suatu perjanjian sebagai berikut:

Bahwa setelah menyelesaikan pekerjaan raksasa itu, Kika Liru berkewajiban hingga turun temurun membayar upeti atau ihi rai ke Pejabat Adat Jawawawa/Raijua dan berlangsung di setiap tahun adat di bulan Bangaliwu (kalender adat)/bulan April-Mei (kalender Masehi). Dan hal itu dilakukan dalam sebuah upacara adat yang disebut Hole/Heole, kegiatan upacara adat/ritual termeriah dan terbesar setiap tahun adat sejak dahulu kala hingga masa kini, akibat adanya perjanjian dimaksud.
Pada akhirnya Kika Liru dapat menyelesaikan penimbunan Hu Penyoro Mea menjadi luas dan besar serta terealisasi menjadi pulau Hawu/Sabu yang ada sekarang ini, sesuai namanya Hawu artinya “timbunan tanah raksasa” yang menjadi pulau.

Turunan leluhur Kika Liru telah berkembang pesat memenuhi pulau Sabu, tanah tak bertambah lagi dan lahan makin sempit, maka pada masa generasi leluhur IE MIHA dan saudaranya DIDA MIHA (silsilah Do Hawu ke-43), bersepakat membagi pulau Sabu menjadi 2 (dua) bahagian bagi turunan mereka masing-masing. Maka terjadilah kesepakatan pembahagian tanah Hawu/Sabu pada pertama kalinya diantara kedua bersaudara itu, yang telah diatur dan disepakati sebagai berikut:

  1. Ditetapkan bahwa tokoh leluhur Dida Miha dengan keturunannya mendapat bahagian selatan pulau Sabu, dimana batas-batasnya ditarik dan dijelajahi menurut garis menengah pulau, dimulai dari Tanjung Uju (wilayah Mehara sekarang ini) melalui tengah-tengah pulau menuju pelabuhan Banyo Sabu Timur sekarang ini. Jadi bahagian selatan pulau Sabu, dimiliki leluhur Dida Miha dengan turunannya.
  2. Ditetapkan bahwa tokoh leluhur IE MIHA dengan turunannya mendapat bahagiann utara pulau Hawu, yang batas-batasnya ditarik dan dijelajahi dan berbatas dengan tanah pembahagian milik Dida Miha dengan turunannya dipertengahan pulau Sabu.

Inilah pembagian tanah Sabu pada pertama kalinya, yang dibuat di antara kedua bersaudara itu dengan sumpah dan janji secara ritual di Kolo Teriwu, karena mereka telah pindah dari Hu Penyoro Mea dan tinggal di sana (pulau Hawu). Di Kolo Teriwu inilah Rae (kampung) tempat mereka diam yang dinamakan “Rae Mone Ie”. Disini pula, leluhur Dida Miha menciptakan sebuah tarian adat terkenal di Hawu yaitu PEDO'A HAWU.

Kedua leluhur ini berkembang turun temurun dan penduduk pulau Sabu makin bertambah banyak dan generasi tokoh leluhur bernama Wai Waka (silsilah Do Hawu ke-49) yang berputera sejumlah 5 orang, masing-masing bernama: Dara, Wara, Laki, Jaka dan Kole (silsilah Do Hawu ke-50). Kepada kelima anaknya ini ia bermaksud membagi pulau Hawu agar tanah milik pusaka mereka masing-masing hingga turun temurun dapat dimiliki secara pasti sehingga terhindar dari percekcokan dan perkelahian. Bagaimana upaya-upaya dan sistem pembagian, telah disepakati bersama sebagai berikut:

1. Berhubung Jawawawa/Raijua adalah pulau tersendiri maka disepakati dan ditetapkan bersama bahwa pulau Raijua diberikan kepada Jaka Wai menjadi milik pusaka turun temurun dan pembagian ini dikukuhkan dengan sumpah janji adat.

2. Sedang pulau Hawu dibagi ke pada keempat anak/tokoh leluhur: Dara Wai, Kole Wai, Wara Wai, dan Laki Wai, dan pembagiannya dengan cara yang disepakati bersama sebagai berikut: “Masing-masing mereka harus membawa anak kerbau ke puncak Lede Perihi di Hawu”. Semua anak kerbau itu dilepas bebaskan dipuncak gunung tersebut dan dibiarkan sesukanya pergi kemana saja di daratan pulau Hawu ini. Kemudian kepada keempat tokoh leluhur ini masing-masing mencari dimana anak kerbau mereka berada. Bila ditempat mana didapat dan berada anak kerbau masing-masing, maka bagian tanah itulah miliknya. Setelah dilaksanakan pelepasan anak kerbau masing-masing dipuncak tertinggi di pulau Hawu ini dan sesudah lewat beberapa hari, keempat leluhur ini masing-masing pergi mencari anak kerbau mereka, ternyata setiap anak kerbau itu di dapat dan ditemui:
• Anak kerbau milik tokoh Dara Wai terdapat di wilayah utara pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah adat Habba/Seba, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Seba/Habba yang adalah keturunan tokoh leluhur Dara Wai.
• Anak kerbau milik tokoh Kole Wai terdapat di wilayah barat pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah adat Mehara, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Mehara yang adalah keturunan tokoh leluhur Kole Wai.
• Anak kerbau milik tokoh Wara Wai terdapat di wilayah selatan pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah LiaE, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga LiaE yang adalah keturunan tokoh leluhur Wara Wai.
• Anak kerbau milik tokoh Laki Wai terdapat diwilayah timur pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah Hawu Dimu/Sabu Timur, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Hawu Dimu/Sabu Timur yang adalah keturunan tokoh leluhur Laki Wai.

Setelah diketahui dan disepakati setiap wilayah milik masing-masing di atas, maka perlu dijelajahi dan dipatok serta ditetapkan batas tanah pembagian masing-masing dengan dikukuhkan peraturan ritual adat ditambah sumpah janji keempat tokoh leluhur ini. Pertama-tama diantara keempat tokoh diuji kesaktian mereka guna menetapkan seseorang dari antara mereka untuk memimpin penjelajahan, pematokan dan penetapan batas-batas secara ritual dipojok-pojok tertentu sebagai bukti yang sakral. Untuk itu, mereka masing-masing harus menanam sebatang sirih ditempat yang bernama Pebuda, sekarang ini terletak disebelah Ledeperihi (puncak tertinggi di pulau Hawu). Pohon sirih masing-masing harus bertumbuh dengan subur, dan bila sirih milik seorang leluhur bertumbuh dan hidup dengan baik maka tokoh leluhur itu yang ditetapkan untuk memimpin penentuan batas itu. Ternyata setelah terjadi penanaman, maka sirih milik tokoh leluhur Kole Wai yang hidup dengan baik dan subur pula, maka ditetapkan bahwa Kole Wai saudara mereka memimpin penetapan batas tanah pembagian mereka masing-masing.

Penjelajahan dan pematokan batas secara ritual adat dimaksud dihadiri dan dilakukan bersama-sama. Penjelajahan batas dimulai dari pantai laut utara bernama WaE Uba Jami lalu naik ke puncak Ledeperihi kemudian turun ke tempat bernama Tuwi menuju tempat bernama Ei Harro kemudian naik ke Teriwu lalu turun ke Merabbu di Hu Penyoro Mea. Penentuan batas ini antara milik tokoh leluhur Kole Wai dengan saudara-saudara Dara Wai dan Wara Wai, sekarang ini batas wilayah adat Mehara dengan wilayah adat Seba dan wilayah adat LiaE. Tempat-tempat yang dipatok sebagai TOR ialah:

• TOR I terletak di tempat bernama WAE dan UBA JAMI. Tor I itu ditetapkan dengan upacara adat dan sumpah janji dan hingga kini dilaksanakan upacara ritual oleh Ratu Mone Pidu/Mone Ama Rai di Sabu.

• Tor II ditetapkan di puncak bukit Ledeperihi dengan upacara ritual yang berlaku hingga masa kini dan dilaksanakan oleh Mone Ama Rai di Sabu.

• Tor III dipatok di tempat bernama Teriwu atau Kolo Teriwu. Di tempat ini ada dan ditempatkan sebuah Batu Tor yang berjiku 3. Jiku batu yang menonjol ke arah wilayah Seba, itu menandakan wilayah milik tokoh leluhur Dara Wai atau warga Seba keturunannya. Jiku batu Tor yang menonjol ke arah Mehara, itu menandakan milik tokoh leluhur Kole Wai atau warga Mehara keturunannya. Jiku batu Tor yang menonjol ke arah LiaE, itu menandakan milik tokoh leluhur Wara Wai atau warga LiaE keturunannya. Di Kolo Merabbu di Hu Penyoro Mea, ditetapkan upacara bagi Mone Ama Rai di Hawu yang hingga kini dilaksanakan setiap tahun adat sesuai kelender adatnya.

Sebagai penetapan penjelajahan tapal batas antara tokoh leluhur Dara Wai, tokoh leluhur Wara Wai dan tokoh leluhur Laki Wai atau wilayah Seba, LiaE dan Sabu Timur sekarang ini, penjelajahan batas dilakukan dari KoloTeriwu menyusuri pertengahan pulau Hawu menuju ke wilayah batas tanah tokoh leluhur Laki Wai dipertengahannya. Itulah batas tanah pembagian tokoh leluhur Dara Wai dan Wara Wai atau yang sekarang ini disebut batas tanah wilayah Habba/Seba dengan tanah wilayah adat LiaE. Sedang untuk penetapan batas tanah wilayah Hawu Dimu, ditetapkan batasnya disebelah barat sebuah tempat bernama Bebae di Hawu Dimu sekarang lalu menyusur ke utara di tempat bernama Wagga Mengarru di pantai utara pulau Hawu. Itulah perbatasan pembagian tokoh leluhur Laki Wai dengan tokoh leluhur Dara Wai dan Wara Wai atau sekarang perbatasan antara wilayah adat Dimu/Sabu Timur dengan wilayah adat Habba/Seba dan wilayah adat LiaE.
Penetapan batas-batas tanah tersebut semuanya dilaksanakan dan ditetapkan dengan upacara adat dan sumpah janji pula.

Tanah Hawu tidak bertambah, padahal perkembangan turunan para leluhur tersebut makin banyak dan pulau Hawu makin padat penduduknya. Maka karena demikian pelanggaran-pelanggaran terhadap penetapan batas-batas ritual yang ditetapkan para leluhur itu, seperti pernah terjadi disaat tokoh leluhur Raba DiE Dara (silsilah Do Hawu ke-52) dari wilayah Habba/Seba, mengadakan pelanggaran batas dan menerobos masuk ke wilayah adat Mehara. Hal ini terjadi di saat tokoh leluhur Horo Kole (silsilah do Hawu ke-51) di Mehara yang menentang perlakuan penerobosan batas dimaksud.

Tokoh leluhur Horo Kole segera mengadakan antisipasi pelanggaran batas tersebut dengan meminta bantuan saudaranya tokoh sakti Horo Nani dari wilayah adat Jawawawa/Raijua. Tokoh leluhur Horo Nani dan rombongannya sudah tiba di Hawu dan segera memusyawarah dan menyepakati taktik penyerangan bersama tokohn leluhur Horo Kole dan rombongan di Mehara. Taktik tersebut sebagai :
Rombongan Horo Kole dan Horo Nani tidak menyerang dulu, tapi terdahulu melepaskan kucing-kucing yang diikat kulit kelapa kering berapi ke perkampungan orang Habba/Seba terutama kampungnya Raba DiE dan rombongannya. Tidak lama setelah pelepasan kucing-kucing berbara api itu dilakukan, maka kampung Raba DiE dan rombongannya mulai terbakar. Teriakan dan raungan mulai terdengar dari Seba maka Raba DiE dan rombongan berlari pontang panting pulang ke Seba, saat itu mereka mendengar teriakan dan raungan dimana-mana di Seba.

Kesempatan itulah rombongan Horo Kole dan Horo Nani memburu dan mengusir Raba DiE dan rombongannya. Pada saat pengusiran itu di suatu tempat diwilayah Mehara terkejar dan didapat 8 orang dari rombongan Raba DiE yang dibunuh. Tempat terbunuhnya 8 orang rombongan Raba DiE itu populer hingga kini dengan nama GURI MONE ARU, artinya Guri: mati bergelimpahan; Mone: Lelaki/laki-laki; Aru: Delapan. Jadi singkatnya: “Mati Bergelimpahan 8 orang laki-laki”. Tidak jauh pula dari tempat itu, terkejar lagi 2 orang dekat perbatasan Mehara dan Seba, nama tempat itu terkenal dengan nama Lari Mone Due. Artinya: Lari: bukit, Mone: Lelaki/laki-laki; Due: 2 (dua), atau singkatnya “Bukit terbunuh 2 orang laki-laki”.

Agak ke barat dari tempat ini, pengejaran terhadap rombongan Raba DiE berlangsung terus, sehingga karena lemparan batu ada yang pecah perutnya, ada pula yang terengah-engah dan putus nafas karena pengejaran tersebut, maka nama-nama tempat itu di wilayah Mehara disebut HaE wa Bari Bake, yang artinya sebagai berikut: Hae:paru-paru naik/terengah-engah; Wa: paru-paru; Bari: pecah; Bake: perut besar, singkatnya “Paru-paru naik lalu lari terengah-engah dan pecah perut besarnya”.

Tempat-tempat ini terdapat di wilayah Mehara dekat perbatasan antara Mehara dan Seba hingga kini.
Pada akhirnya Raba DiE dan rombongannya menyerah dan tak berani muncul menerobos batas dan masuk wilayah adat Mehara lagi. Demi penghargaan dan persahabatan serta ucapan terima kasih Horo Kole dan rombongannya kepada saudaranya Horo Nani dan rombongannya dari Jawawawa/Raijua, maka sebuah wilayah di Mehara sekarang disebut Lobohede, diserahkan kepada Horo Nani dan rombongannya untuk dimiliki dan tinggal tetap diwilayah Mehara; dan dilantik, dalam bahasa Sabu ”Peha'E Udu” menjadi warga Mehara dan sekarang terkenal dengan klan Aelape di Mehara.

Suku ini juga diberi hak menjabat “Mone Ama Wawa Mehara” dan mengatur semua upacara adat di Mehara Barat hingga kini.
Penduduk ke-5 wilayah adat di Hawu makin padat jumlahnya sehingga lahan berusaha bagi masyarakat makin sempit pula dan makin meningkat perampasan lahan garapan dimana-mana di Hawu. Napsu memiliki tanah secara berlebihan makin membeli manusia; berarti pelanggaran terhadap penetapan adat tentang batas tanah dan aturan di atas tanah, makin lama makin diabaikan. Karena ketiadaan lahan garapan di atas tanah, maka sebagian warga Sabu merantau dan akhirnya menetap di rantau bila telah memiliki lahan garapan di tempat yang baru.

Akibat napsu memiliki tanah secara berlebihan dan karenanya timbul pula di kala Robo Aba (silsilah Do Hawu ke-55) dari wilayah adat Seba dengan sewenang-wenang merubah batas ritual antara Seba dengan wilayah adat Mehara dan ditantang pula oleh tokoh leluhur Ago Rai (silsilah Do Hawu ke-54) dari Mehara. Pada saat itu tokoh leluhur Robo Aba dengan semena-mena memindahkan batas antara wilayah Seba dan Mehara; yang diaturnya sendiri ke dalam wilayah Mehara yang ditetapkannya mulai dari pelabuhan alam bernama Kebila, menyusuri kali bernama Loko Ai Wattu dalam wilayah Mehara menuju ke Kolo Teriwu, batas yang ditetapkan ke-5 leluhur anak-anak tokoh leluhur Wai Waka (silsilah Do Hawu ke-49 dan ke-50), dengan upacara dan sumpah janji diwaktu dahulu, karenanya ditentang mati-matian oleh Ago Rai dan penduduk wilayah Mehara seluruhnya.
Turut tidak menyenangi terhadap perlakuan tokoh Robo Aba terebut, adalah Pimpinan Adat wilayah Mehara: Kenuhe yang terkenal sakti dan gaib dan “Maja” yang terkenal dengan nama julukan: “Maja Muri Lai Bari Anni”, (hidup berdaulat, menjelma dan bisa berada sambil berubah-ubah). Ia sangat sakti, anak leluhur MURI MARA (silsilah Do Hawu ke-16 dan ke-17). Nama inilah yang digunakan dan dijabat oleh salah seorang Ratu Mone Pidu/Mone Ama Rai di Hawu hingga saat kini. Leluhur Ago Rai, Kenuhe dan Maja dari wilayah Mehara bersepakat untuk menentang perlakuan tokoh Robo Aba dari wilayah adat Seba tersebut dengan kesaktian, bukan dengan perang dan pertumpahan darah. Ke-3 tokoh leluhur ini memberitahukan ke Seba, supaya tokoh Robo Aba dipersilahkan menyusuri dan menjelajahi batas wilayah adat ritual antara Seba dan Mehara, sesuai keinginan dan kehendaknya dan berjanji bertemu di tempat bernama Kebila dalam wilayah Mehara; sebuah pelabuhan alam sejak dahulu. Tokoh Robo Aba juga diminta membawa seekor kerbau merah ke tempat pertemuan itu.

Pada esok harinya, berangkatlah ketiga tokoh itu ke tempat pertemuan yang telah ditetapkan dan tokoh leluhur Kenuhe memilih berjalan di bawah tanah menuju Kebila. Setelah ketiganya tiba di Kebila, tokoh Robo Aba dari wilayah Seba sudah siap berada di tempat tersebut. Tokoh leluhur Ago Rai mempersilahkan tokoh Robo Aba menunggangi kerbaunya dan lebih dahulu menjelajahi dan menyelusuri batas wilayah adat ritual antara Seba dan Mehara sesuai keinginan dan pemahamannya dan disusul dari belakang oleh ketiga tokoh Ago Rai dan Maja, sedang tokoh leluhur Kenuhe memilih berjalan di bawah tanah mengikuti mereka. Setelah tokoh Robo Aba menunggangi kerbaunya; kerbau sama sekali tak mau melangkah dan berdiri seperti patung saja, walau dipaksanya. Karena kerbaunya tokoh Robo Aba tak mau berjalan selangkahpun, maka tokoh Ago Rai mengatakan: “Karena kerbaumu tak berlangkah, marilah saya berjalan lebih dahulu dan kamu mengikuti dari belakang”. Akhirnya disepakati bersama lalu tokoh leluhur Ago Rai berjalan dimuka dan diikuti oleh tokoh Robo Aba dan Maja dan berjalanlah mereka menjelajahi dan menyusuri batas adat ritual antara Seba-Mehara sesuai penetapan tokoh leluhur sejak dahulu kala memakai sumpah janji dimana batas-batas ritual terealisasi dan diselenggarakan dengan upacara-upacara hingga kini oleh Mone Ama Rai Hawu, sebagai pimpinan adat.

Sesuai batas itulah yang dijelajahi dan ditelusuri Ago Rai dan mereka telah tiba di WaE Uba Jami yang menjadi Tor I, penetapan leluhur diwaktu dahulu. Lalu bertanyalah Ago Rai kepada tokoh Robo Aba: “Apakah disini atau tempat ini tapal batas adat ritual antara Seba-Mehara yang menjadi Tor I penetapan leluhur-leluhur kita?”. Dari bawah tokoh leluhur Kenuhe yang sakti dan gaib itu menjawab pertanyaan (Ago Rai) dengan “ya”. Saat itu pula tokoh leluhur Maja melangkahkan kaki ke sebelah kali WaE maka memancarlah air di tempat itu lalu kerbaunya tokoh Robo Aba minum dengan puasnya. Kemudian tokoh leluhur Ago Rai menyuruh tokoh Robo Aba berjalan lebih dahulu memimpin penjelajahan batas berikutnya, tetapi juga kerbau yang ditunggangi tokoh Robo Aba tak melangkah selangkahpun, lalu akhirnya tokoh leluhur Ago Rai memimpin penjelajahan batas dan tokoh Robo Aba mengikuti dari belakang. Tapal batas yang ditetapkan para leluhur sejak dahulu kala diinjak dan dijelajahi tokoh leluhur Ago Rai dengan tepat, dan pada akhirnya mereka tiba dipuncak Lede Perihi, puncak tertinggi di pulau Hawu, yang menjadi Tor II penetapan para leluhur di zaman dahulu kala; lalu mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sebuah bukit bernama TUWI menuju kali bernama Ei Harro, nama yang dikenal hingga kini. Adapun terjadinya nama ini, sebagai berikut: Setiba di kali ini, tokoh Robo Aba menangis terisak-isak, mungkin saja menyesali dirinya. Meneteslah air matanya ditempat ini, maka hingga kini air di tempat itu rasanya asin seperti air garam, karenanya kali itu disebut Kali Ei Harro artinya Kali Air Asin.

Mereka berjalan terus naik ke puncak bukit bernama Teriwu, atau disebut juga Kolo Teriwu, salah satu puncak penetapan para leluhur menjadi tor III tapal batas Seba – Mehara. Dari Kolo teriwu ini mereka turun menuju ke selatan ke Penyoro Mea ke puncak sebuah bukit bernama Kolo Merabbu. Dari bukit ini kelihatan/terbentang luas lautan Indonesia di selatan pulau Hawu. Di sebelah selatan bukit ini sangat terjal dan disinilah sebuah gua bernama LiE Merabbu yang terkenal angker oleh penduduk pulau Hawu dan tidak sembarang orang boleh masuk kedalamnya, kecuali Mone Ama Rai Hawu. Di puncak bukit terjal inilah para tokoh leluhur penjelajahan batas tiba. Tampaknya tokoh Robo Aba menyesal dan malu, tanpa diduga Ago Rai, Maja dan Kenuhe, iapun langsung terjun ke lautan Indonesia beserta kerbaunya dan terkubur di laut itu, dan sampai sekarang tak pernah kuburan Robo Aba di temui di Seba/ di Hawu. Di Kolo Merabbu inilah batas penetapan para leluhur yang diletakkan dengan upacara dan sumpah janji yang tak boleh dilanggar oleh warga masyarakat pulau Sabu.

Inilah penjelajahan batas ritual antara wilayah Seba-Mehara yang diulangi karena pelanggaran tokoh Robo Aba dari wilayah Seba dan yang berakhir dengan musibah terhadap diri sendiri. Memang nafsu memonopoli dan memiliki tanah secara tidak sah itu makin menjadi sejak saat dahulu hingga kini. Demikianlah tuturan masyarakat adat Hawu tentang terjadi dan terbentuknya Rai Hawu atau Pulau Sawu sesuai versi dan wawasan mereka memandang dunia dan alam sekitar mereka.

Rabu, 17 Agustus 2011

KELUARGA KERAJAAN LIAE

Foto: Raja Liae Bersama Keluarga Kerajaan (diabadikan sekitar tahun 1900).
Koleksi: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute, Amsterdam - Nederlands.
File: De Radja van Liae met gezin Sawoe.


KELUARGA KERAJAAN LIAE:

  1. Kale L' odo (adalah raja pertama di Liae yang langsung diangkat oleh Belanda). 
  2. Riwu Manu (adalah raja kedua di Liae yang juga langsung diangkat oleh Belanda).
  3. J'ami Riwu Manu (memerintah sekitar tahun 1721).
  4. Mone Bengu (1726 -174... ?).
  5. Kore Rohi (memerintah antara tahun 1752-1756).
  6. Kore Lone (memerintah antara tahun 1758-1760).
  7. Manu Kore (memerintah sebelum 1767 sampai setidaknya 1794). Raja Manu Kore dari Liae ini juga dijuluki sebagai "Penguasa Kecil", mulai tahun 1758 (sebagai anak di bawah umur, ia ikut memerintah bersama ayahnya, Kore Lone).
  8. Ama Moye Keloa ..... (memerintah sekitar tahun 1832).
  9. Ama Ie Yote ..... (memerintah sebelum 1852-1859).
  10. Ama B'aki B'ela ..... (memerintah sekitar tahun 1859-1868). Raja Ama B'aki B'ela ini meninggal karena serangan cacar. Pada tahun berikutnya, terjadi epidimi cacar yang mewabah di seluruh Kepulauan Sabu. Konon diceritakan, wabah ini membunuh hampir 1/4 penduduk Sabu saat itu.
  11. Hendrik Ratu Manu (Ama Amoe Manoe) ..... Beliau dibaptis pada sekitar tahun 1874, beliau menjadi raja terakhir di Sabu yang menjadi Kristen, setelah didahului oleh raja Seba dan lain-lain. Berkuasa sejak 1868-1918, sebagai penguasa independen di Liae. Tanggal kematiannya tidak diketahui dengan pasti. Ketika anaknya juga kemudian meninggal, maka kekuasaan dinasti kerajaan Liae dari garis keturunan langsung pun punah. Kemudian dimulailah masa-masa ke-fettor-an mulai memerintah langsung di wilayah Liae).
  12. Riwu Ratu (19...? - 19...?). Raja Riwu Ratu masih berkuasa sampai pada tahun 1936, tetapi di bawah sistem ke-fettor-an (Wakil Raja Seba), karena semua kerajaan di Sabu disatukan (di-aneksasi) oleh Belanda. Antara tahun 1914 -1918, kekuasaan Kerajaan Liae berada dibawah pengaruh kekuasaan Raja Heb'a (Seba). Saat itu di Sabu Raijua, Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap bekas kerajaan boleh terus melanjutkan pemerintahan sendiri dengan sistem ke-fettor-an, yang takluk/berada di bawah kekuasaan raja Seba. Pada tahun 1905 Fettor (Wakil Raja Seba) di Liae, dijabat oleh Fettor Radja Hab'a, yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan kontrak pada tahun 1894.
  13. Rohi Radja Hab'a (putra mantan Fettor dari Liae, ketika Liae masih resmi dipisahkan kerajaan, kemudian menjadi penguasa Liae. Pada tahun 1940 ia sudah menjadi Fettor.

=CATATAN: Data-data ini (khususnya mengenai angka-angka tahun), diakui masih simpang siur, namun tentunya data-data ini bisa dipakai sebagai pijakan awal untuk para sejarahwan menggali keotentikan sejarah lebih jauh.

Senin, 13 Juni 2011

SEKILAS TENTANG SABU

Sebelumnya, saya pribadi memohon ijin kepada Sdr saya L. Michael Riwu-Kaho alias Big Mike, karena tulisan dibawah ini adalah saduran dari blog beliau. Sengaja saya menyadurnya kembali dengan tidak ada maksud tertentu, tetapi hanya didasari oleh rasa kecintaan saya terhadap Rai Hawu (Tanah Sabu).

"Orang Sabu pada umumnya menamakan dirinya `Do Hawu'. Pulau Sabu mereka sebut `Rai Hawu'. Do/dou artinya orang atau manusia, dan rai artinya tanah atau negeri. Segala apa yang dipandang sebagai `yang asli' atau berasal dari Sabu selalu dikenakan kata sandang `Hawu'. Sedang yang berasal dari luar atau bukan asli Sabu dikenakan kata sandang `jawa`, misalnya terae `jawa (jagung), ki'i `jawa (domba), hi'ji/hi'gi `jawa (kain batik), dan ammu `jawa (rumah berbentuk bukan asli Sabu). 

Kata sandang hawu sudah dipergunakan sejak generasi ke-8 orang Sabu yang bernama Hawu Miha (Hawu bin Miha). Ketika bangsa Portugis dan Belanda tiba di Sabu, kata Hawu mengalami perubahan dalam pelafalannya menjadi `Savu'; penduduknya disebut Sabos atau Savoenese. Padahal dalam Li Hawu (bahasa Sabu) tidak dikenal kata berhuruf s, f, dan v. Dari informasi turun-temurun disebutkan pada zaman generasi ke-7 ada seorang leluhur orang Sabu bernama Miha Ngara. Beliau mempunyai 5 orang anak yaitu Hawu Miha (cikal-bakal orang Sabu), Huba Miha (orang Sumba), Tie Miha (orang Tie Rote), Ede Miha (orang Ende), dan Jawa Miha (orang Jawa).


 Gb. Pemandangan Alam di Raijua


Orang Sabu mengetahui kira-kira pada abad pertama Masehi, `Jawa Miha meninggalkan Sabu untuk menetap di Jawa. Di kemudian hari kontak antar keturunan dan keluarga tidak lagi terpelihara. Pengetahuan tentang adanya relasi ini diperoleh melalui syair-syair dan cerita para tetua dan pemangku adat di Sabu. `Migrasi' dari Asia Tenggara diakui telah berlangsung sekitar 500 tahun SM, dan kira-kira 200 tahun SM terjadi lagi migrasi dari India Selatan. Migrasi ini juga sampai ke Sabu. Pada gelombang ketiga disebutkan, ketika kaum pendatang yang jumlahnya lebih sedikit (di Pulau Jawa) mulai diperangi oleh penduduk asli, sehingga posisinya terdesak. Untuk itu mereka meminta bantuan kepada kerabatnya yang telah menetap di `timur' untuk membantu mereka. Kala itu yang berkuasa di Sabu adalah Miha Ngara, dan mengutus kedua anaknya Hawu Miha dan Jawa Miha untuk membantu kerabatnya kaum pendatang di Jawa. Keduanya mendarat di pantai selatan Jawa Barat di suatu tempat berbukit karang, lalu diberi nama `Karang Hawu', letaknya kira-kira 1 km dari sebelah barat pantai Pelabuhan Ratu.

 Gb. Pantai Karang Hawu


 Gb. Peta Kabupaten Sabu Raijua, NTT

Setelah peperangan berhasil dimenangkan, kedua kakak-beradik itu berpamitan untuk kembali ke Sabu. Kerabat di Jawa meminta agar salah seorang dari mereka untuk tinggal menetap di Jawa. Permintaan itu ditampung namun harus dilaporkan dan diputuskan oleh ayahnya di Sabu. Akhirnya diputuskan bila Jawa Miha yang berangkat ke Jawa sedangkan Hawu Miha tetap tinggal di Sabu. Ketika keberangkatan, didirikan sebuah batu peringatan yang diberi nama `Wowadu `Jawa Miha' di Namata. Pada waktu `Jawa Miha berangkat ke Jawa ia diberi bibit beberapa jenis tanaman untuk ditanam di sana yaitu cengkeh, wilahege, jahe, pala, pohon pandan; dengan pesan bahwa sejak saat itu jenis tanaman tersebut tidak boleh ditanam oleh Hawu Miha dan keturunannya di Sabu. Setelah menetap di Jawa, Jawa Miha berganti nama menjadi `Aji Saka'. Dalam perkembangan selanjutnya mereka memperluas wilayahnya mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur.

Pada zaman kerajaan Majapahit, Kepulauan Sabu berada dalam pengaruh Majapahit, dan hubungan lama antara orang Jawa dan orang Sabu kembali mendapat angin segar. Pulau Raijua dan Solor pernah menjadi pangkalan armada kerajaan Majapahit; perahu dan armada Majapahit sering menyambangi tempat ini. Terdapat banyak hikayat yang menghubungkan faktor sejarah ini, seperti di antaranya salah seorang permaisuri raja Majapahit bernama `Benni Kedo' berasal dari Raijua, bahkan memiliki rumah di Pulau Dana. Pulau Raijua disebut `negeri Maja' dan pemimpin masyarakat Raijua disebut `Niki Maja', dst.

Penulis buku menyebutkan keyakinan bila Gajah Mada berasal dari Raijua dengan beberapa alasan. Misalnya nama Gajah Mada bukanlah nama yang lazim disandang orang Jawa, karena orang Jawa akan mengucapkan nama itu Gajah Mendo. Hanya di Sabu dan Raijua saja orang menyandang nama-nama seperti Gaja, Mada, Me'do, Mo'jo, Jaka, Raja, Ratu, Laki, dst. Juga di Nusa Tenggara tidak mengenal nama-nama seperti itu. Warna `merah-putih' yang diagungkan Gajah Mada dan Majapahit adalah warna `gula-kelapa' dan `air ketuban' yang menjadi lambang orang Sabu sejak zaman dahulu kala. Penulis juga mengungkapkan hubungan orang Sabu dengan orang Belu, Thie Rote, Sumba, dan Ambon. Saya pernah ungkapkan asal-usul orang NTT ini yang datang dari 3 penjuru pada threat Panen Lontar. "

Minggu, 12 Juni 2011

KONSEP DASAR PERWUJUDAN ARSITEKTUR VERNAKULAR SABU




Para ahli antropologi mengungkap, secara historis tempat pertama manusia purba berlindung untuk survive dari kondisi iklim dan gangguan binatang, adalah goa. Manusia purba dengan keterbatasan pengetahuan dan teknologi saat itu memilih tempat di alam yang telah tersedia, tanpa harus membuatnya. Ketika medan perburuan kian jauh dari goa, mereka pun membangun sarang tidur, lumbung tempat menyimpan hasil perburuan dst. Jadi, terbentuknya arsitektur saat ini dimulai dari goa. Tidak heran kalau peta mental mengenai runtutan sejarah pembentukan arsitektur oleh para pemburu binatang hutan di jaman batu, telah demikian merasuk cara pandang kita tentang terbentuknya arsitektur tradisional di Nusantara ini. Di sini ada suatu hal yang kita lupakan, yakni mengabaikan realita yang ada kalau nenek moyang kita adalah orang pelaut. Kita tidak lagi pernah berpikir kalau arsitektur itu bisa juga lahir dari kehidupan nenek moyang kita di laut, yakni perahu. Apakah tidak mungkin, ada suatu periode dimana kehidupan nenek moyang dengan perahu di laut itu dialihkan untuk melayari kehidupan di darat? Kenyataan ini seperti yang ditunjukan oleh nenek moyang masyarakat etnis Sabu, yang mendiami Pulau Sawu dan Pulau Raijua di Kabupaten Sabu Raijua Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masyarakat Sabu bertutur tentang tokoh legenda yang bernama Maja yang menciptakan rumah Sabu "Amu Kowa"  (Rumah Perahu; Amu=Rumah, Kowa=Perahu) dari perahunya yang ditelungkupkan. Hal itu dilakukan oleh Maja untuk pertama kalinya ketika dia berlabuh di Teluk Uba Ae, di Mesara pantai barat Pulau Sawu saat setelah melakukan pelayaran dari Pulau Raijua ke Pulau Sawu. Sebelum kembali ke Raijua, Maja membangun sebuah rumah yang bentuknya dibuat meniru bentuk rumah perahu yang ditelungkupkan tersebut. Melihat rumah Maja yang secara aerodinamis mampu bertahan terhadap kikisan dan hempasan angin Sabu yang ganas serta terpaan panas yang menyengat, kemudian masyarakat Sabu pun beramai-ramai menirunya dan meninggalkan bentuk rumah mereka yang lama. Untuk menghormati jasa leluhur mereka itu, maka di setiap "Rae Kowa" (Kampung Perahu; Rae=kampung) dibangun sebuah rumah yang disebut "Amu Maja" (Rumah Maja).
Konsep perahu yang dibuat Maja baik untuk rumah maupun kampung, bukan sekedar melakukan mimesis terhadap unsur fisik perahu semata. Sebuah lingkungan binaan yang tercipta dalam tradisi masyarakat Sabu, terwujud dan bermakna selain fisik juga terkait dengan pandangan dasar, simbol dan sisi spiritual masyarakat Sabu. Simbol-simbol yang ada merupakan manifestasi dari semesta, penghayatan dan pandangan dasar masyarakat Sabu. Sebuah layout "Amu" dalam sebuah "Rae Kowa" yang membentuk formasi "Rae do pedoke waru", sebenarnya bukan melulu kumpulan bangunan yang fungsional dan tektonis semata. Peruntukannya disesuaikan dengan iklim dan topografi yang didasarkan pada pandangan dasar "Roapana". Pendekatan arsitektur vernakular Sabu sebagai sebuah ide bangunan dengan konsep "Roapana", yakni mengatur adanya hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan "amu", antara "amu" dengan "amu" dan antara "amu" dengan lingkungannya. Disini "place" merupakan fokus desain "amu" dan "rae" dalam hubungannya dengan lingkungan.
Persoalan-persoalan mendasar dalam mewujudkan Arsitektur Nusantara sebetulnya bagaimana mengkomunikasikan antara pandangan primal (arsitektur vernakular) yang bersifat ontokratik/tertutup dengan pandangan ilmu arsitektur Paradigma Barat yang diterapkan di Indonesia yang bersifat kompleks teokratik/terbuka.

Sabtu, 30 April 2011

SEKILAS TENTANG KAMPUNG ADAT MEGALITIK NAMATA-SEBA, SABU BARAT

Kampung Adat Namata, Sabu Raijua

Menurut catatan sejarah orang Sabu, orang pertama yang datang ke Pulau Sabu adalah Kika Ga, yang menginjak kaki pertama di pantai selatan Pulau Sabu - Wadu Mea. Ia kemudian tinggal/mendiami Kolo Merabu (sekarang masuk Desa Dainao, yang mekar dari desa Raerobo, Kecamatan Sabu Liae).
Pada generasi tertentu, keluarga besar Kika Ga pindah dan tinggal di Kolo Teriwu, sebuah pegunungan atau bukit tertinggi di pulau Sabu (sekarang terletak di desa Teriwu, Kecamatan Sabu Barat).

Pada saat itu hanya satu pimpinan Pemerintahan Adat (Dewan Mone Ama) untuk seluruh wilayah Pulau Sabu, dan belum ada pembagian wilayah kekuasaan.

Pembagian wilayah Sabu sendiri terjadi pada jaman Wai Waka, yaitu menjadi: wilayah Hab’ba (Seba), Mehara, Liae, Menia, Dimu, dan Raijua. Selanjutnya di kemudian hari wilayah Menia dianeksasi (penggabungan) ke wilayah Seba.

Nama Namata sendiri berasal dari kata dasar Mata (yang dalam bahasa Sabu berarti “tunggu”). Di tempat ini dulunya menjadi tempat kubangan gerombolan babi hutan.
Perkampungan Adat ini dibangun oleh Robo Aba (salah satu moyang leluhur orang Sabu). Pada jamannya, Robo Aba adalah seorang pemimpin dalam masyarakat Sabu di wilayah adat Hab’ba (Seba).

Robo Aba, sebagai salah satu pemimpin masyarakat pada masa itu memiliki banyak anak buah/pembantu yang bekerja sebagai pemburu.
Setiap kali berburu, maka tempat kubangan itu menjadi sasaran untuk mendapat babi yang sedang mandi dan berkubang dalam air yang berlumpur. Sejak saat itu, tempat ini disebut Era Pemata Wawi Oddu (tempat menunggu babi hutan).
Kemudian Robo Aba mengajak keluarganya untuk pindah (Exodus) dari Perkampungan Adat Hanga Robo Aba (sekarang desa Roboaba yang mekar dari desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat), ke daerah yang baru, yakni di lokasi Namata - tempat kubangan babi hutan tersebut agar lebih dekat dengan lokasi perburuan.
Robo Aba mulai membangun rumah bersama keluarganya dan perkampungan baru itu diberi nama Namata.

Di Perkampungan Namata, terdapat tempat ritual adat yang sakral (sampai saat ini masih sangat disakralkan) dengan sejumlah batu-batu megalite yang terdapat di tengah perkampungan ini.
Kampung Adat Namata ini sekarang menjadi salah satu tempat tujuan wisata penting di Pulau Sabu, dan sering menjadi tujuan kunjungan para wisatawan asing manca negara yang datang ke Sabu. Perkampungan Adat Namata saat ini lebih dikenal sebagai situs Perkampungan Megalitik Namata. Dalam lingkungan Kampung Adat ini, sistim pemerintahan adat masih dipegang kuat, dan dijalankan oleh para Mone Ama, yang masih sangat fanatik sebagai penganut kepercayaan (agama suku), yang dalam bahasa Sabu disebut ‘Jingitiu’.

Robo Aba mempunyai 4 (empat) orang anak laki-laki yang kemudian masing-masing membentuk 4 Klan/Sub Suku (dalam bahasa Sabu disebut Udu) besar di Seba – Sabu Barat.

Ke-4 anak Robo Aba tersebut adalah:
  1. Dami Robo, yang menurunkan Udu Nataga; 
  2. Tunu Robo, menurunkan Udu Namata; 
  3. Pili Robo, menurunkan Udu Nahoro; 
  4. Hupu Robo, menurunkan Udu Nahupu.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan ke-4 Udu turunan dari Robo Aba tersebut dalam tatanan Pemerintahan Adat Sabu menjadi sangat penting, khususnya dalam masyarakat Sabu di Seba – Sabu Barat.

Dalam Struktur Pemerintahan Adat di Sabu, selain juga mengenal Deo Ama (Tuhan Yang Maha Kuasa), sebagai Pemimpin Tertinggi yang menguasai bumi jagat raya alam semesta, untuk menjalankan roda Pemerintahan Adat di dunia juga di kenal Dewan Mone Ama

Di Seba sendiri, dikenal ada 4 tokoh penting dalam Dewan Mone Ama tersebut, yakni:
  1. Pulodo - berasal dari Klan/Udu Nataga, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Pertanian dan Kemakmuran’ - khususnya tanaman padi. 
  2. Deo Rai - dari Klan/ Udu Namata, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Tanaman Pangan’, khususnya tanaman sorgum, kacang hijau dan tanaman pohon tuak (Lontar) yang menghasilkan nira manis atau tuak manis. Air nira/tuak yang akan disimpan lama harus dimasak menjadi gula merah yang kental (yang bisa disimpan sebagai cadangan makanan selama bertahun-tahun). 
  3. Do Heleo - dari Klan/ Udu Nahoro, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Pengawasan’ yang bertugas mengawasi kegiatan Pembangunan, Kemasyarakatan dan Lingkungan hidup. 
  4. Rue - dari Klan/ Udu Nahupu, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Kesehatan’ termasuk menolak bala.

Kamis, 14 April 2011

TENTANG SI CASSIE KECIL

Cassie menunggu dengan antusias. Kaki kecilnya bolak-balik melangkah dari ruang tamu ke pintu depan. Diliriknya jalan raya depan rumah.
Belum ada.
Cassie masuk lagi. Keluar lagi.
Belum ada.
Masuk lagi. Keluar lagi. Begitu terus selama hampir satu jam.
Suara si Mbok yang menyuruhnya berulang kali untuk makan duluan, tidak dia gubris.

Pukul 18.30
Tinnn... Tiiiinnnnn...!! Cassie kecil melompat girang!
Mama pulang! Papa pulang!
Dilihatnya dua orang yang sangat dia cintai itu masuk ke rumah.
Yang satu langsung menuju ke kamar mandi. Yang satu mengempaskan diri di sofa sambil mengurut- urut kepala.

Wajah-wajah yang letih sehabis bekerja seharian, mencari nafkah bagi keluarga.
Bagi si kecil Cassie, yang tentunya belum mengerti banyak, di otaknya yang kecil, Cassie cuma tahu, ia kangen Mama dan ia kangen Papa, ia girang Mama dan Papa pulang.

"Mama, mama.... Mama, mama...." Cassie menggerak-gerakkan tangan.
"Mama....", Mama diam saja.
Dengan cemas Cassie bertanya, "Mama sakit ya?". "Mana yang sakit? Mama, mana yang sakit???"

Mama tidak menjawab. Hanya mengernyitkan alis sambil memejamkan mata.

Cassie makin gencar bertanya, "Mama, mama... mana yang sakit? Cassie ambilin obat ya..? Ya..? Ya..?"

Tiba-tiba...,

"Cassie!! Kepala mama lagi pusing! Kamu jangan berisik!" Mama membentak dengan suara tinggi.

Kaget, Cassie mundur perlahan. Matanya menyipit. Kaki kecilnya gemetar. Bingung. Cassie salah apa?????

Cassie sayang Mama..., Cassie salah apa????

Takut-takut, Cassie menyingkir ke sudut ruangan.
Mengamati Mama dari jauh, yang kembali mengurut- ngurut kepalanya.
Otak kecil Cassie terus bertanya-tanya: Mama, Cassie salah apa? Mama tidak suka dekat-dekat Cassie? Cassie mengganggu Mama? Cassie tidak boleh sayang Mama, ya???

Berbagai peristiwa sejenis terjadi.....
Dan otak kecil Cassie merekam semuanya.
Maka tahun-tahun berlalu. Cassie tidak lagi kecil....
Cassie bertambah tinggi. Cassie remaja. Cassie mulai beranjak menuju dewasa.....

"Tin.. Tiiinnn... ! Mama pulang. Papa pulang".

Cassie menurunkan kaki dari meja....
Mematikan TV.....
Buru-buru naik ke atas, ke kamarnya..., dan mengunci pintu.
Menghilang dari pandangan.

"Cassie mana?" Papa dan Mama bertanya pada pembantu rumah tangga...

"Sudah makan duluan, Tuan, Nyonya", jawab si mbok.

Malam itu mereka kembali hanya makan berdua. Dalam kesunyian berpikir dengan hati terluka: "Mengapa anakku sendiri, yang kubesarkan dengan susah payah, dengan kerja keras, nampaknya tidak suka menghabiskan waktu bersama-sama denganku?"
"Apa salahku? Apa dosaku? Ah, anak jaman sekarang memang tidak tahu hormat sama orangtua! Tidak seperti jaman dulu."

Di kamar atas, Cassie mengamati dua orang yang paling dicintainya dalam diam.
Dari jauh... Dari tempat di mana ia merasa tidak akan terluka. "Mama, Papa, katakan padaku, bagaimana caranya memeluk seekor landak?????"