Para ahli antropologi mengungkap, secara historis tempat pertama manusia purba berlindung untuk survive dari kondisi iklim dan gangguan binatang, adalah goa. Manusia purba dengan keterbatasan pengetahuan dan teknologi saat itu memilih tempat di alam yang telah tersedia, tanpa harus membuatnya. Ketika medan perburuan kian jauh dari goa, mereka pun membangun sarang tidur, lumbung tempat menyimpan hasil perburuan dst. Jadi, terbentuknya arsitektur saat ini dimulai dari goa. Tidak heran kalau peta mental mengenai runtutan sejarah pembentukan arsitektur oleh para pemburu binatang hutan di jaman batu, telah demikian merasuk cara pandang kita tentang terbentuknya arsitektur tradisional di Nusantara ini. Di sini ada suatu hal yang kita lupakan, yakni mengabaikan realita yang ada kalau nenek moyang kita adalah orang pelaut. Kita tidak lagi pernah berpikir kalau arsitektur itu bisa juga lahir dari kehidupan nenek moyang kita di laut, yakni perahu. Apakah tidak mungkin, ada suatu periode dimana kehidupan nenek moyang dengan perahu di laut itu dialihkan untuk melayari kehidupan di darat? Kenyataan ini seperti yang ditunjukan oleh nenek moyang masyarakat etnis Sabu, yang mendiami Pulau Sawu dan Pulau Raijua di Kabupaten Sabu Raijua Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masyarakat Sabu bertutur tentang tokoh legenda yang bernama Maja yang menciptakan rumah Sabu "Amu Kowa" (Rumah Perahu; Amu=Rumah, Kowa=Perahu) dari perahunya yang ditelungkupkan. Hal itu dilakukan oleh Maja untuk pertama kalinya ketika dia berlabuh di Teluk Uba Ae, di Mesara pantai barat Pulau Sawu saat setelah melakukan pelayaran dari Pulau Raijua ke Pulau Sawu. Sebelum kembali ke Raijua, Maja membangun sebuah rumah yang bentuknya dibuat meniru bentuk rumah perahu yang ditelungkupkan tersebut. Melihat rumah Maja yang secara aerodinamis mampu bertahan terhadap kikisan dan hempasan angin Sabu yang ganas serta terpaan panas yang menyengat, kemudian masyarakat Sabu pun beramai-ramai menirunya dan meninggalkan bentuk rumah mereka yang lama. Untuk menghormati jasa leluhur mereka itu, maka di setiap "Rae Kowa" (Kampung Perahu; Rae=kampung) dibangun sebuah rumah yang disebut "Amu Maja" (Rumah Maja).
Konsep perahu yang dibuat Maja baik untuk rumah maupun kampung, bukan sekedar melakukan mimesis terhadap unsur fisik perahu semata. Sebuah lingkungan binaan yang tercipta dalam tradisi masyarakat Sabu, terwujud dan bermakna selain fisik juga terkait dengan pandangan dasar, simbol dan sisi spiritual masyarakat Sabu. Simbol-simbol yang ada merupakan manifestasi dari semesta, penghayatan dan pandangan dasar masyarakat Sabu. Sebuah layout "Amu" dalam sebuah "Rae Kowa" yang membentuk formasi "Rae do pedoke waru", sebenarnya bukan melulu kumpulan bangunan yang fungsional dan tektonis semata. Peruntukannya disesuaikan dengan iklim dan topografi yang didasarkan pada pandangan dasar "Roapana". Pendekatan arsitektur vernakular Sabu sebagai sebuah ide bangunan dengan konsep "Roapana", yakni mengatur adanya hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan "amu", antara "amu" dengan "amu" dan antara "amu" dengan lingkungannya. Disini "place" merupakan fokus desain "amu" dan "rae" dalam hubungannya dengan lingkungan.
Persoalan-persoalan mendasar dalam mewujudkan Arsitektur Nusantara sebetulnya bagaimana mengkomunikasikan antara pandangan primal (arsitektur vernakular) yang bersifat ontokratik/tertutup dengan pandangan ilmu arsitektur Paradigma Barat yang diterapkan di Indonesia yang bersifat kompleks teokratik/terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar