Translate

Minggu, 21 Agustus 2011

TENTANG TERJADINYA PULAU SABU (Sesuai Versi Dan Wawasan Orang Sabu Memandang Dunianya)

Cerita kronologis tentang terjadinya/terbentuknya pulau Sabu/Rai Hawu ini, sudah dari leluhur turun temurun sesuai pandangan warga masyarakat adatnya memandang dunia dan lingkungannya.


Bila diceritakan tentang kejadian pulau/tanahnya, akan pula tertutur silsilah leluhur/marganya; karena terbentuknya pulau Sabu terjadi disaat seorang leluhur bernama “Kika Ga” atau “Kika Liru” (silsilah Do Hawu ke-32). Pulau ini telah diberi nama “HAWU” yang arti Ha: terdampar/datang; dan Wu: tanah onggokan pasir kali/sungai. Jadi singkatnya: “Tanah yang dionggok/ditimbun secara raksasa” menjadi sebuah pulau, yang diberi nama HAWU. Itulah pulau Hawu yang ada sekarang ini.

Memang pada saat leluhur “Balla Bako” (silsilah Do Hawu ke-9), sudah terjadi pemisahan Dahi (laut), Rai (daratan), Liru (langit) tetapi dikatakan pulau Sabu belum ada kecuali ”Hu Penyoro Mea” yang sudah ada di wilayah Liae kecamatan Liae di saat sekarang ini. Demikian pula diikuti pemisahan-pemisahan berupa benda-benda, hewan, benda gas/angin, benda-benda langit di saat leluhur Dara Dai (silsilah Do Hawu ke-11), menurut nama anak cucunya (silsilah Do Hawu ke-12 sampai dengan ke-13). Karenanya Hu (tanjung) Penyoro Mea itu pada saat air pasang hanya merupakan pulau batu yang tersembul dari permukaan laut agak terpisah dari pulau Sabu. Disitulah Kika Ga berada pada waktu manusia langit bernama “Ludji dan Pidu” turun mengail di tempat itu (Penyoro Mea-Merabbu) di Liae, dan terjadilah pertemuan diantara ketiga orang itu. Mereka makan dan mengail ikan bersama-sama, bahkan sebelah ikan harus ditinggalkan oleh Ludji dan Pidu untuk teman mereka Kika Ga di Penyoro Mea.

Kemudian keduanya (Ludji dan Pidu) pulang ke langit (angkasa) dengan membawa sebelah ikan saja, kalau hasil mengail mereka seekor saja. Hal ini dikarenakan mereka harus menyerahkan sebelah ikan mereka kepada teman mereka Kika Ga. Pemberian sebelah ikan ini berlangsung selamanya terhadap hasil tangkapan kedua bersaudara tersebut dengan Kika Ga. Keadaan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan kepada orang tua mereka di angkasa (langit), mengapa harus selalu sebelah ikan yang ada. Lalu kedua bersaudara Ludji dan Pidu dipanggil oleh orang tua mereka. Tentang ikan sebelah yang terus menerus itu ditanyakan.

Pada akhirnya, Ludji dan Pidu menjelaskannya bahwa mereka mendapat seorang teman bernama Kika Ga di Penyoro Mea-Merabbu Liae, dan setiap kali mereka pergi mengail, mereka beri sebelah ikan dari hasil tangkapan mereka kepada teman mereka itu. Orang tua mereka juga senang terhadap perlakuan anak-anaknya, malah bila dimungkinkan, agar diajak juga dia (Kika Ga) ke angkasa (langit) untuk dijadikan teman atau saudara sendiri. Ludji dan Pidu sangat bersukacita mendengar keinginan orang tua mereka.

Pada suatu hari lagi Ludji dan Pidu turun mengail dan pada saat itu mengajak dengan bersungguh-sungguh kepada Kika Ga supaya sudi bersama mereka ke angkasa/langit. Dan akhirnya Kika Ga juga bersedia pergi bersama mereka ke angkasa. Ludji dan Pidu, betapa berbahagia dan bersukaria mendengar jawaban temannya itu. Tidak lama kemudian merekapun pergi ke langit, dan setibanya disana kedua orang tua Ludji dan Pidu sangat senang menyambut ketiga teman yang sangat akrab itu, layaknya sebagai saudara kandung saja.

Di angkasa/langit, Kika Ga diperlakukan dengan baik oleh Ludji dan Pidu serta semua keluarga mereka. Pada akhirnya Kika Ga dilantik dan diangkat menjadi anak dalam keluarga mereka. Pesta pelantikanpun terjadi dengan meriah. Seluruh isi perut hewan sembelihan, diperuntukan bagi seluruh orang miskin, melarat sebagai peringatan bagi pelantikan itu. Nama Kika Ga, setelah pelantikan menjadi ”Kika Liru” di keluarga Liru/angkasa/langit, ia kemudian memiliki kesaktian dan kegaiban yang luar biasa. Kika Liru diberi tanah usaha dan segala macam kekayaan di perairan langit/angkasa, tetapi segala usahanya sia-sia bahkan gagal total. Pada akhirnya ia memohon kepada kedua orang tuanya di langit supaya ia kembali berusaha di Hu Penyoro Mea lagi, karena pasti ia berhasil disana. Keluarga Liru juga memahami tujuan baik dari Kika Liru ini, dan pada akhirnya Kika Liru dikembalikan dan di antar ke Penyoro Mea oleh saudaranya Ludji dan Pidu, dengan penuh kesaktian dan kegaiban dan Kika Liru sudah berada kembali di tempat asalnya.

Kika Liru memulai rencananya, ialah agar Penyoro Mea diperlebar dan diperbesar, tetapi harus dengan mengambil tanah dari bawah kolong rumah Pejabat Adat Jawawawa/Raijua yang sakti dan gaib itu. Pejabat Adat Jawawawa/Raijua yang sakti dan gaib saat itu ialah Mone Weo dan isterinya bernama Banni Baku. Karena kesaktian dan kegaiban yang dimiliki Mone Weo sehingga dipastikan bahwa tanah dibawah kolong rumah adat mereka adalah tanah yang sakral pula. Kika Liru setiap malam pergi ke Jawawawa/Raijua dan mengangkat tanah kolong rumah adat inti di Raijua itu, tetapi tidak lama kemudian para tikus penjaga memberitahukan Pejabat Adat Mone Weo bahwa ada orang yang mengambil tanah kolong rumah Adat Raijua itu. Akhirnya Kika Liru tertangkap dan dibawa untuk diadili dihadapan Pejabat Adat itu. Setelah ditanya mengapa ia membawa tanah kolong rumah adat Raijua itu, dengan jujur Kika Liru menjelaskan maksud membawa tanah kolong rumah adat itu supaya Penyoro Mea tempatnya itu bisa diperlebar dan diperluas arealnya. Pejabat Adat Raijua itu pada akhirnya setuju dengan tujuan baik Kika Liru itu dan diijinkan melanjutkan pekerjaannya dengan suatu perjanjian sebagai berikut:

Bahwa setelah menyelesaikan pekerjaan raksasa itu, Kika Liru berkewajiban hingga turun temurun membayar upeti atau ihi rai ke Pejabat Adat Jawawawa/Raijua dan berlangsung di setiap tahun adat di bulan Bangaliwu (kalender adat)/bulan April-Mei (kalender Masehi). Dan hal itu dilakukan dalam sebuah upacara adat yang disebut Hole/Heole, kegiatan upacara adat/ritual termeriah dan terbesar setiap tahun adat sejak dahulu kala hingga masa kini, akibat adanya perjanjian dimaksud.
Pada akhirnya Kika Liru dapat menyelesaikan penimbunan Hu Penyoro Mea menjadi luas dan besar serta terealisasi menjadi pulau Hawu/Sabu yang ada sekarang ini, sesuai namanya Hawu artinya “timbunan tanah raksasa” yang menjadi pulau.

Turunan leluhur Kika Liru telah berkembang pesat memenuhi pulau Sabu, tanah tak bertambah lagi dan lahan makin sempit, maka pada masa generasi leluhur IE MIHA dan saudaranya DIDA MIHA (silsilah Do Hawu ke-43), bersepakat membagi pulau Sabu menjadi 2 (dua) bahagian bagi turunan mereka masing-masing. Maka terjadilah kesepakatan pembahagian tanah Hawu/Sabu pada pertama kalinya diantara kedua bersaudara itu, yang telah diatur dan disepakati sebagai berikut:

  1. Ditetapkan bahwa tokoh leluhur Dida Miha dengan keturunannya mendapat bahagian selatan pulau Sabu, dimana batas-batasnya ditarik dan dijelajahi menurut garis menengah pulau, dimulai dari Tanjung Uju (wilayah Mehara sekarang ini) melalui tengah-tengah pulau menuju pelabuhan Banyo Sabu Timur sekarang ini. Jadi bahagian selatan pulau Sabu, dimiliki leluhur Dida Miha dengan turunannya.
  2. Ditetapkan bahwa tokoh leluhur IE MIHA dengan turunannya mendapat bahagiann utara pulau Hawu, yang batas-batasnya ditarik dan dijelajahi dan berbatas dengan tanah pembahagian milik Dida Miha dengan turunannya dipertengahan pulau Sabu.

Inilah pembagian tanah Sabu pada pertama kalinya, yang dibuat di antara kedua bersaudara itu dengan sumpah dan janji secara ritual di Kolo Teriwu, karena mereka telah pindah dari Hu Penyoro Mea dan tinggal di sana (pulau Hawu). Di Kolo Teriwu inilah Rae (kampung) tempat mereka diam yang dinamakan “Rae Mone Ie”. Disini pula, leluhur Dida Miha menciptakan sebuah tarian adat terkenal di Hawu yaitu PEDO'A HAWU.

Kedua leluhur ini berkembang turun temurun dan penduduk pulau Sabu makin bertambah banyak dan generasi tokoh leluhur bernama Wai Waka (silsilah Do Hawu ke-49) yang berputera sejumlah 5 orang, masing-masing bernama: Dara, Wara, Laki, Jaka dan Kole (silsilah Do Hawu ke-50). Kepada kelima anaknya ini ia bermaksud membagi pulau Hawu agar tanah milik pusaka mereka masing-masing hingga turun temurun dapat dimiliki secara pasti sehingga terhindar dari percekcokan dan perkelahian. Bagaimana upaya-upaya dan sistem pembagian, telah disepakati bersama sebagai berikut:

1. Berhubung Jawawawa/Raijua adalah pulau tersendiri maka disepakati dan ditetapkan bersama bahwa pulau Raijua diberikan kepada Jaka Wai menjadi milik pusaka turun temurun dan pembagian ini dikukuhkan dengan sumpah janji adat.

2. Sedang pulau Hawu dibagi ke pada keempat anak/tokoh leluhur: Dara Wai, Kole Wai, Wara Wai, dan Laki Wai, dan pembagiannya dengan cara yang disepakati bersama sebagai berikut: “Masing-masing mereka harus membawa anak kerbau ke puncak Lede Perihi di Hawu”. Semua anak kerbau itu dilepas bebaskan dipuncak gunung tersebut dan dibiarkan sesukanya pergi kemana saja di daratan pulau Hawu ini. Kemudian kepada keempat tokoh leluhur ini masing-masing mencari dimana anak kerbau mereka berada. Bila ditempat mana didapat dan berada anak kerbau masing-masing, maka bagian tanah itulah miliknya. Setelah dilaksanakan pelepasan anak kerbau masing-masing dipuncak tertinggi di pulau Hawu ini dan sesudah lewat beberapa hari, keempat leluhur ini masing-masing pergi mencari anak kerbau mereka, ternyata setiap anak kerbau itu di dapat dan ditemui:
• Anak kerbau milik tokoh Dara Wai terdapat di wilayah utara pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah adat Habba/Seba, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Seba/Habba yang adalah keturunan tokoh leluhur Dara Wai.
• Anak kerbau milik tokoh Kole Wai terdapat di wilayah barat pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah adat Mehara, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Mehara yang adalah keturunan tokoh leluhur Kole Wai.
• Anak kerbau milik tokoh Wara Wai terdapat di wilayah selatan pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah LiaE, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga LiaE yang adalah keturunan tokoh leluhur Wara Wai.
• Anak kerbau milik tokoh Laki Wai terdapat diwilayah timur pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah Hawu Dimu/Sabu Timur, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Hawu Dimu/Sabu Timur yang adalah keturunan tokoh leluhur Laki Wai.

Setelah diketahui dan disepakati setiap wilayah milik masing-masing di atas, maka perlu dijelajahi dan dipatok serta ditetapkan batas tanah pembagian masing-masing dengan dikukuhkan peraturan ritual adat ditambah sumpah janji keempat tokoh leluhur ini. Pertama-tama diantara keempat tokoh diuji kesaktian mereka guna menetapkan seseorang dari antara mereka untuk memimpin penjelajahan, pematokan dan penetapan batas-batas secara ritual dipojok-pojok tertentu sebagai bukti yang sakral. Untuk itu, mereka masing-masing harus menanam sebatang sirih ditempat yang bernama Pebuda, sekarang ini terletak disebelah Ledeperihi (puncak tertinggi di pulau Hawu). Pohon sirih masing-masing harus bertumbuh dengan subur, dan bila sirih milik seorang leluhur bertumbuh dan hidup dengan baik maka tokoh leluhur itu yang ditetapkan untuk memimpin penentuan batas itu. Ternyata setelah terjadi penanaman, maka sirih milik tokoh leluhur Kole Wai yang hidup dengan baik dan subur pula, maka ditetapkan bahwa Kole Wai saudara mereka memimpin penetapan batas tanah pembagian mereka masing-masing.

Penjelajahan dan pematokan batas secara ritual adat dimaksud dihadiri dan dilakukan bersama-sama. Penjelajahan batas dimulai dari pantai laut utara bernama WaE Uba Jami lalu naik ke puncak Ledeperihi kemudian turun ke tempat bernama Tuwi menuju tempat bernama Ei Harro kemudian naik ke Teriwu lalu turun ke Merabbu di Hu Penyoro Mea. Penentuan batas ini antara milik tokoh leluhur Kole Wai dengan saudara-saudara Dara Wai dan Wara Wai, sekarang ini batas wilayah adat Mehara dengan wilayah adat Seba dan wilayah adat LiaE. Tempat-tempat yang dipatok sebagai TOR ialah:

• TOR I terletak di tempat bernama WAE dan UBA JAMI. Tor I itu ditetapkan dengan upacara adat dan sumpah janji dan hingga kini dilaksanakan upacara ritual oleh Ratu Mone Pidu/Mone Ama Rai di Sabu.

• Tor II ditetapkan di puncak bukit Ledeperihi dengan upacara ritual yang berlaku hingga masa kini dan dilaksanakan oleh Mone Ama Rai di Sabu.

• Tor III dipatok di tempat bernama Teriwu atau Kolo Teriwu. Di tempat ini ada dan ditempatkan sebuah Batu Tor yang berjiku 3. Jiku batu yang menonjol ke arah wilayah Seba, itu menandakan wilayah milik tokoh leluhur Dara Wai atau warga Seba keturunannya. Jiku batu Tor yang menonjol ke arah Mehara, itu menandakan milik tokoh leluhur Kole Wai atau warga Mehara keturunannya. Jiku batu Tor yang menonjol ke arah LiaE, itu menandakan milik tokoh leluhur Wara Wai atau warga LiaE keturunannya. Di Kolo Merabbu di Hu Penyoro Mea, ditetapkan upacara bagi Mone Ama Rai di Hawu yang hingga kini dilaksanakan setiap tahun adat sesuai kelender adatnya.

Sebagai penetapan penjelajahan tapal batas antara tokoh leluhur Dara Wai, tokoh leluhur Wara Wai dan tokoh leluhur Laki Wai atau wilayah Seba, LiaE dan Sabu Timur sekarang ini, penjelajahan batas dilakukan dari KoloTeriwu menyusuri pertengahan pulau Hawu menuju ke wilayah batas tanah tokoh leluhur Laki Wai dipertengahannya. Itulah batas tanah pembagian tokoh leluhur Dara Wai dan Wara Wai atau yang sekarang ini disebut batas tanah wilayah Habba/Seba dengan tanah wilayah adat LiaE. Sedang untuk penetapan batas tanah wilayah Hawu Dimu, ditetapkan batasnya disebelah barat sebuah tempat bernama Bebae di Hawu Dimu sekarang lalu menyusur ke utara di tempat bernama Wagga Mengarru di pantai utara pulau Hawu. Itulah perbatasan pembagian tokoh leluhur Laki Wai dengan tokoh leluhur Dara Wai dan Wara Wai atau sekarang perbatasan antara wilayah adat Dimu/Sabu Timur dengan wilayah adat Habba/Seba dan wilayah adat LiaE.
Penetapan batas-batas tanah tersebut semuanya dilaksanakan dan ditetapkan dengan upacara adat dan sumpah janji pula.

Tanah Hawu tidak bertambah, padahal perkembangan turunan para leluhur tersebut makin banyak dan pulau Hawu makin padat penduduknya. Maka karena demikian pelanggaran-pelanggaran terhadap penetapan batas-batas ritual yang ditetapkan para leluhur itu, seperti pernah terjadi disaat tokoh leluhur Raba DiE Dara (silsilah Do Hawu ke-52) dari wilayah Habba/Seba, mengadakan pelanggaran batas dan menerobos masuk ke wilayah adat Mehara. Hal ini terjadi di saat tokoh leluhur Horo Kole (silsilah do Hawu ke-51) di Mehara yang menentang perlakuan penerobosan batas dimaksud.

Tokoh leluhur Horo Kole segera mengadakan antisipasi pelanggaran batas tersebut dengan meminta bantuan saudaranya tokoh sakti Horo Nani dari wilayah adat Jawawawa/Raijua. Tokoh leluhur Horo Nani dan rombongannya sudah tiba di Hawu dan segera memusyawarah dan menyepakati taktik penyerangan bersama tokohn leluhur Horo Kole dan rombongan di Mehara. Taktik tersebut sebagai :
Rombongan Horo Kole dan Horo Nani tidak menyerang dulu, tapi terdahulu melepaskan kucing-kucing yang diikat kulit kelapa kering berapi ke perkampungan orang Habba/Seba terutama kampungnya Raba DiE dan rombongannya. Tidak lama setelah pelepasan kucing-kucing berbara api itu dilakukan, maka kampung Raba DiE dan rombongannya mulai terbakar. Teriakan dan raungan mulai terdengar dari Seba maka Raba DiE dan rombongan berlari pontang panting pulang ke Seba, saat itu mereka mendengar teriakan dan raungan dimana-mana di Seba.

Kesempatan itulah rombongan Horo Kole dan Horo Nani memburu dan mengusir Raba DiE dan rombongannya. Pada saat pengusiran itu di suatu tempat diwilayah Mehara terkejar dan didapat 8 orang dari rombongan Raba DiE yang dibunuh. Tempat terbunuhnya 8 orang rombongan Raba DiE itu populer hingga kini dengan nama GURI MONE ARU, artinya Guri: mati bergelimpahan; Mone: Lelaki/laki-laki; Aru: Delapan. Jadi singkatnya: “Mati Bergelimpahan 8 orang laki-laki”. Tidak jauh pula dari tempat itu, terkejar lagi 2 orang dekat perbatasan Mehara dan Seba, nama tempat itu terkenal dengan nama Lari Mone Due. Artinya: Lari: bukit, Mone: Lelaki/laki-laki; Due: 2 (dua), atau singkatnya “Bukit terbunuh 2 orang laki-laki”.

Agak ke barat dari tempat ini, pengejaran terhadap rombongan Raba DiE berlangsung terus, sehingga karena lemparan batu ada yang pecah perutnya, ada pula yang terengah-engah dan putus nafas karena pengejaran tersebut, maka nama-nama tempat itu di wilayah Mehara disebut HaE wa Bari Bake, yang artinya sebagai berikut: Hae:paru-paru naik/terengah-engah; Wa: paru-paru; Bari: pecah; Bake: perut besar, singkatnya “Paru-paru naik lalu lari terengah-engah dan pecah perut besarnya”.

Tempat-tempat ini terdapat di wilayah Mehara dekat perbatasan antara Mehara dan Seba hingga kini.
Pada akhirnya Raba DiE dan rombongannya menyerah dan tak berani muncul menerobos batas dan masuk wilayah adat Mehara lagi. Demi penghargaan dan persahabatan serta ucapan terima kasih Horo Kole dan rombongannya kepada saudaranya Horo Nani dan rombongannya dari Jawawawa/Raijua, maka sebuah wilayah di Mehara sekarang disebut Lobohede, diserahkan kepada Horo Nani dan rombongannya untuk dimiliki dan tinggal tetap diwilayah Mehara; dan dilantik, dalam bahasa Sabu ”Peha'E Udu” menjadi warga Mehara dan sekarang terkenal dengan klan Aelape di Mehara.

Suku ini juga diberi hak menjabat “Mone Ama Wawa Mehara” dan mengatur semua upacara adat di Mehara Barat hingga kini.
Penduduk ke-5 wilayah adat di Hawu makin padat jumlahnya sehingga lahan berusaha bagi masyarakat makin sempit pula dan makin meningkat perampasan lahan garapan dimana-mana di Hawu. Napsu memiliki tanah secara berlebihan makin membeli manusia; berarti pelanggaran terhadap penetapan adat tentang batas tanah dan aturan di atas tanah, makin lama makin diabaikan. Karena ketiadaan lahan garapan di atas tanah, maka sebagian warga Sabu merantau dan akhirnya menetap di rantau bila telah memiliki lahan garapan di tempat yang baru.

Akibat napsu memiliki tanah secara berlebihan dan karenanya timbul pula di kala Robo Aba (silsilah Do Hawu ke-55) dari wilayah adat Seba dengan sewenang-wenang merubah batas ritual antara Seba dengan wilayah adat Mehara dan ditantang pula oleh tokoh leluhur Ago Rai (silsilah Do Hawu ke-54) dari Mehara. Pada saat itu tokoh leluhur Robo Aba dengan semena-mena memindahkan batas antara wilayah Seba dan Mehara; yang diaturnya sendiri ke dalam wilayah Mehara yang ditetapkannya mulai dari pelabuhan alam bernama Kebila, menyusuri kali bernama Loko Ai Wattu dalam wilayah Mehara menuju ke Kolo Teriwu, batas yang ditetapkan ke-5 leluhur anak-anak tokoh leluhur Wai Waka (silsilah Do Hawu ke-49 dan ke-50), dengan upacara dan sumpah janji diwaktu dahulu, karenanya ditentang mati-matian oleh Ago Rai dan penduduk wilayah Mehara seluruhnya.
Turut tidak menyenangi terhadap perlakuan tokoh Robo Aba terebut, adalah Pimpinan Adat wilayah Mehara: Kenuhe yang terkenal sakti dan gaib dan “Maja” yang terkenal dengan nama julukan: “Maja Muri Lai Bari Anni”, (hidup berdaulat, menjelma dan bisa berada sambil berubah-ubah). Ia sangat sakti, anak leluhur MURI MARA (silsilah Do Hawu ke-16 dan ke-17). Nama inilah yang digunakan dan dijabat oleh salah seorang Ratu Mone Pidu/Mone Ama Rai di Hawu hingga saat kini. Leluhur Ago Rai, Kenuhe dan Maja dari wilayah Mehara bersepakat untuk menentang perlakuan tokoh Robo Aba dari wilayah adat Seba tersebut dengan kesaktian, bukan dengan perang dan pertumpahan darah. Ke-3 tokoh leluhur ini memberitahukan ke Seba, supaya tokoh Robo Aba dipersilahkan menyusuri dan menjelajahi batas wilayah adat ritual antara Seba dan Mehara, sesuai keinginan dan kehendaknya dan berjanji bertemu di tempat bernama Kebila dalam wilayah Mehara; sebuah pelabuhan alam sejak dahulu. Tokoh Robo Aba juga diminta membawa seekor kerbau merah ke tempat pertemuan itu.

Pada esok harinya, berangkatlah ketiga tokoh itu ke tempat pertemuan yang telah ditetapkan dan tokoh leluhur Kenuhe memilih berjalan di bawah tanah menuju Kebila. Setelah ketiganya tiba di Kebila, tokoh Robo Aba dari wilayah Seba sudah siap berada di tempat tersebut. Tokoh leluhur Ago Rai mempersilahkan tokoh Robo Aba menunggangi kerbaunya dan lebih dahulu menjelajahi dan menyelusuri batas wilayah adat ritual antara Seba dan Mehara sesuai keinginan dan pemahamannya dan disusul dari belakang oleh ketiga tokoh Ago Rai dan Maja, sedang tokoh leluhur Kenuhe memilih berjalan di bawah tanah mengikuti mereka. Setelah tokoh Robo Aba menunggangi kerbaunya; kerbau sama sekali tak mau melangkah dan berdiri seperti patung saja, walau dipaksanya. Karena kerbaunya tokoh Robo Aba tak mau berjalan selangkahpun, maka tokoh Ago Rai mengatakan: “Karena kerbaumu tak berlangkah, marilah saya berjalan lebih dahulu dan kamu mengikuti dari belakang”. Akhirnya disepakati bersama lalu tokoh leluhur Ago Rai berjalan dimuka dan diikuti oleh tokoh Robo Aba dan Maja dan berjalanlah mereka menjelajahi dan menyusuri batas adat ritual antara Seba-Mehara sesuai penetapan tokoh leluhur sejak dahulu kala memakai sumpah janji dimana batas-batas ritual terealisasi dan diselenggarakan dengan upacara-upacara hingga kini oleh Mone Ama Rai Hawu, sebagai pimpinan adat.

Sesuai batas itulah yang dijelajahi dan ditelusuri Ago Rai dan mereka telah tiba di WaE Uba Jami yang menjadi Tor I, penetapan leluhur diwaktu dahulu. Lalu bertanyalah Ago Rai kepada tokoh Robo Aba: “Apakah disini atau tempat ini tapal batas adat ritual antara Seba-Mehara yang menjadi Tor I penetapan leluhur-leluhur kita?”. Dari bawah tokoh leluhur Kenuhe yang sakti dan gaib itu menjawab pertanyaan (Ago Rai) dengan “ya”. Saat itu pula tokoh leluhur Maja melangkahkan kaki ke sebelah kali WaE maka memancarlah air di tempat itu lalu kerbaunya tokoh Robo Aba minum dengan puasnya. Kemudian tokoh leluhur Ago Rai menyuruh tokoh Robo Aba berjalan lebih dahulu memimpin penjelajahan batas berikutnya, tetapi juga kerbau yang ditunggangi tokoh Robo Aba tak melangkah selangkahpun, lalu akhirnya tokoh leluhur Ago Rai memimpin penjelajahan batas dan tokoh Robo Aba mengikuti dari belakang. Tapal batas yang ditetapkan para leluhur sejak dahulu kala diinjak dan dijelajahi tokoh leluhur Ago Rai dengan tepat, dan pada akhirnya mereka tiba dipuncak Lede Perihi, puncak tertinggi di pulau Hawu, yang menjadi Tor II penetapan para leluhur di zaman dahulu kala; lalu mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sebuah bukit bernama TUWI menuju kali bernama Ei Harro, nama yang dikenal hingga kini. Adapun terjadinya nama ini, sebagai berikut: Setiba di kali ini, tokoh Robo Aba menangis terisak-isak, mungkin saja menyesali dirinya. Meneteslah air matanya ditempat ini, maka hingga kini air di tempat itu rasanya asin seperti air garam, karenanya kali itu disebut Kali Ei Harro artinya Kali Air Asin.

Mereka berjalan terus naik ke puncak bukit bernama Teriwu, atau disebut juga Kolo Teriwu, salah satu puncak penetapan para leluhur menjadi tor III tapal batas Seba – Mehara. Dari Kolo teriwu ini mereka turun menuju ke selatan ke Penyoro Mea ke puncak sebuah bukit bernama Kolo Merabbu. Dari bukit ini kelihatan/terbentang luas lautan Indonesia di selatan pulau Hawu. Di sebelah selatan bukit ini sangat terjal dan disinilah sebuah gua bernama LiE Merabbu yang terkenal angker oleh penduduk pulau Hawu dan tidak sembarang orang boleh masuk kedalamnya, kecuali Mone Ama Rai Hawu. Di puncak bukit terjal inilah para tokoh leluhur penjelajahan batas tiba. Tampaknya tokoh Robo Aba menyesal dan malu, tanpa diduga Ago Rai, Maja dan Kenuhe, iapun langsung terjun ke lautan Indonesia beserta kerbaunya dan terkubur di laut itu, dan sampai sekarang tak pernah kuburan Robo Aba di temui di Seba/ di Hawu. Di Kolo Merabbu inilah batas penetapan para leluhur yang diletakkan dengan upacara dan sumpah janji yang tak boleh dilanggar oleh warga masyarakat pulau Sabu.

Inilah penjelajahan batas ritual antara wilayah Seba-Mehara yang diulangi karena pelanggaran tokoh Robo Aba dari wilayah Seba dan yang berakhir dengan musibah terhadap diri sendiri. Memang nafsu memonopoli dan memiliki tanah secara tidak sah itu makin menjadi sejak saat dahulu hingga kini. Demikianlah tuturan masyarakat adat Hawu tentang terjadi dan terbentuknya Rai Hawu atau Pulau Sawu sesuai versi dan wawasan mereka memandang dunia dan alam sekitar mereka.

Rabu, 17 Agustus 2011

KELUARGA KERAJAAN LIAE

Foto: Raja Liae Bersama Keluarga Kerajaan (diabadikan sekitar tahun 1900).
Koleksi: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute, Amsterdam - Nederlands.
File: De Radja van Liae met gezin Sawoe.


KELUARGA KERAJAAN LIAE:

  1. Kale L' odo (adalah raja pertama di Liae yang langsung diangkat oleh Belanda). 
  2. Riwu Manu (adalah raja kedua di Liae yang juga langsung diangkat oleh Belanda).
  3. J'ami Riwu Manu (memerintah sekitar tahun 1721).
  4. Mone Bengu (1726 -174... ?).
  5. Kore Rohi (memerintah antara tahun 1752-1756).
  6. Kore Lone (memerintah antara tahun 1758-1760).
  7. Manu Kore (memerintah sebelum 1767 sampai setidaknya 1794). Raja Manu Kore dari Liae ini juga dijuluki sebagai "Penguasa Kecil", mulai tahun 1758 (sebagai anak di bawah umur, ia ikut memerintah bersama ayahnya, Kore Lone).
  8. Ama Moye Keloa ..... (memerintah sekitar tahun 1832).
  9. Ama Ie Yote ..... (memerintah sebelum 1852-1859).
  10. Ama B'aki B'ela ..... (memerintah sekitar tahun 1859-1868). Raja Ama B'aki B'ela ini meninggal karena serangan cacar. Pada tahun berikutnya, terjadi epidimi cacar yang mewabah di seluruh Kepulauan Sabu. Konon diceritakan, wabah ini membunuh hampir 1/4 penduduk Sabu saat itu.
  11. Hendrik Ratu Manu (Ama Amoe Manoe) ..... Beliau dibaptis pada sekitar tahun 1874, beliau menjadi raja terakhir di Sabu yang menjadi Kristen, setelah didahului oleh raja Seba dan lain-lain. Berkuasa sejak 1868-1918, sebagai penguasa independen di Liae. Tanggal kematiannya tidak diketahui dengan pasti. Ketika anaknya juga kemudian meninggal, maka kekuasaan dinasti kerajaan Liae dari garis keturunan langsung pun punah. Kemudian dimulailah masa-masa ke-fettor-an mulai memerintah langsung di wilayah Liae).
  12. Riwu Ratu (19...? - 19...?). Raja Riwu Ratu masih berkuasa sampai pada tahun 1936, tetapi di bawah sistem ke-fettor-an (Wakil Raja Seba), karena semua kerajaan di Sabu disatukan (di-aneksasi) oleh Belanda. Antara tahun 1914 -1918, kekuasaan Kerajaan Liae berada dibawah pengaruh kekuasaan Raja Heb'a (Seba). Saat itu di Sabu Raijua, Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap bekas kerajaan boleh terus melanjutkan pemerintahan sendiri dengan sistem ke-fettor-an, yang takluk/berada di bawah kekuasaan raja Seba. Pada tahun 1905 Fettor (Wakil Raja Seba) di Liae, dijabat oleh Fettor Radja Hab'a, yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan kontrak pada tahun 1894.
  13. Rohi Radja Hab'a (putra mantan Fettor dari Liae, ketika Liae masih resmi dipisahkan kerajaan, kemudian menjadi penguasa Liae. Pada tahun 1940 ia sudah menjadi Fettor.

=CATATAN: Data-data ini (khususnya mengenai angka-angka tahun), diakui masih simpang siur, namun tentunya data-data ini bisa dipakai sebagai pijakan awal untuk para sejarahwan menggali keotentikan sejarah lebih jauh.