Translate

Senin, 13 Juni 2011

SEKILAS TENTANG SABU

Sebelumnya, saya pribadi memohon ijin kepada Sdr saya L. Michael Riwu-Kaho alias Big Mike, karena tulisan dibawah ini adalah saduran dari blog beliau. Sengaja saya menyadurnya kembali dengan tidak ada maksud tertentu, tetapi hanya didasari oleh rasa kecintaan saya terhadap Rai Hawu (Tanah Sabu).

"Orang Sabu pada umumnya menamakan dirinya `Do Hawu'. Pulau Sabu mereka sebut `Rai Hawu'. Do/dou artinya orang atau manusia, dan rai artinya tanah atau negeri. Segala apa yang dipandang sebagai `yang asli' atau berasal dari Sabu selalu dikenakan kata sandang `Hawu'. Sedang yang berasal dari luar atau bukan asli Sabu dikenakan kata sandang `jawa`, misalnya terae `jawa (jagung), ki'i `jawa (domba), hi'ji/hi'gi `jawa (kain batik), dan ammu `jawa (rumah berbentuk bukan asli Sabu). 

Kata sandang hawu sudah dipergunakan sejak generasi ke-8 orang Sabu yang bernama Hawu Miha (Hawu bin Miha). Ketika bangsa Portugis dan Belanda tiba di Sabu, kata Hawu mengalami perubahan dalam pelafalannya menjadi `Savu'; penduduknya disebut Sabos atau Savoenese. Padahal dalam Li Hawu (bahasa Sabu) tidak dikenal kata berhuruf s, f, dan v. Dari informasi turun-temurun disebutkan pada zaman generasi ke-7 ada seorang leluhur orang Sabu bernama Miha Ngara. Beliau mempunyai 5 orang anak yaitu Hawu Miha (cikal-bakal orang Sabu), Huba Miha (orang Sumba), Tie Miha (orang Tie Rote), Ede Miha (orang Ende), dan Jawa Miha (orang Jawa).


 Gb. Pemandangan Alam di Raijua


Orang Sabu mengetahui kira-kira pada abad pertama Masehi, `Jawa Miha meninggalkan Sabu untuk menetap di Jawa. Di kemudian hari kontak antar keturunan dan keluarga tidak lagi terpelihara. Pengetahuan tentang adanya relasi ini diperoleh melalui syair-syair dan cerita para tetua dan pemangku adat di Sabu. `Migrasi' dari Asia Tenggara diakui telah berlangsung sekitar 500 tahun SM, dan kira-kira 200 tahun SM terjadi lagi migrasi dari India Selatan. Migrasi ini juga sampai ke Sabu. Pada gelombang ketiga disebutkan, ketika kaum pendatang yang jumlahnya lebih sedikit (di Pulau Jawa) mulai diperangi oleh penduduk asli, sehingga posisinya terdesak. Untuk itu mereka meminta bantuan kepada kerabatnya yang telah menetap di `timur' untuk membantu mereka. Kala itu yang berkuasa di Sabu adalah Miha Ngara, dan mengutus kedua anaknya Hawu Miha dan Jawa Miha untuk membantu kerabatnya kaum pendatang di Jawa. Keduanya mendarat di pantai selatan Jawa Barat di suatu tempat berbukit karang, lalu diberi nama `Karang Hawu', letaknya kira-kira 1 km dari sebelah barat pantai Pelabuhan Ratu.

 Gb. Pantai Karang Hawu


 Gb. Peta Kabupaten Sabu Raijua, NTT

Setelah peperangan berhasil dimenangkan, kedua kakak-beradik itu berpamitan untuk kembali ke Sabu. Kerabat di Jawa meminta agar salah seorang dari mereka untuk tinggal menetap di Jawa. Permintaan itu ditampung namun harus dilaporkan dan diputuskan oleh ayahnya di Sabu. Akhirnya diputuskan bila Jawa Miha yang berangkat ke Jawa sedangkan Hawu Miha tetap tinggal di Sabu. Ketika keberangkatan, didirikan sebuah batu peringatan yang diberi nama `Wowadu `Jawa Miha' di Namata. Pada waktu `Jawa Miha berangkat ke Jawa ia diberi bibit beberapa jenis tanaman untuk ditanam di sana yaitu cengkeh, wilahege, jahe, pala, pohon pandan; dengan pesan bahwa sejak saat itu jenis tanaman tersebut tidak boleh ditanam oleh Hawu Miha dan keturunannya di Sabu. Setelah menetap di Jawa, Jawa Miha berganti nama menjadi `Aji Saka'. Dalam perkembangan selanjutnya mereka memperluas wilayahnya mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur.

Pada zaman kerajaan Majapahit, Kepulauan Sabu berada dalam pengaruh Majapahit, dan hubungan lama antara orang Jawa dan orang Sabu kembali mendapat angin segar. Pulau Raijua dan Solor pernah menjadi pangkalan armada kerajaan Majapahit; perahu dan armada Majapahit sering menyambangi tempat ini. Terdapat banyak hikayat yang menghubungkan faktor sejarah ini, seperti di antaranya salah seorang permaisuri raja Majapahit bernama `Benni Kedo' berasal dari Raijua, bahkan memiliki rumah di Pulau Dana. Pulau Raijua disebut `negeri Maja' dan pemimpin masyarakat Raijua disebut `Niki Maja', dst.

Penulis buku menyebutkan keyakinan bila Gajah Mada berasal dari Raijua dengan beberapa alasan. Misalnya nama Gajah Mada bukanlah nama yang lazim disandang orang Jawa, karena orang Jawa akan mengucapkan nama itu Gajah Mendo. Hanya di Sabu dan Raijua saja orang menyandang nama-nama seperti Gaja, Mada, Me'do, Mo'jo, Jaka, Raja, Ratu, Laki, dst. Juga di Nusa Tenggara tidak mengenal nama-nama seperti itu. Warna `merah-putih' yang diagungkan Gajah Mada dan Majapahit adalah warna `gula-kelapa' dan `air ketuban' yang menjadi lambang orang Sabu sejak zaman dahulu kala. Penulis juga mengungkapkan hubungan orang Sabu dengan orang Belu, Thie Rote, Sumba, dan Ambon. Saya pernah ungkapkan asal-usul orang NTT ini yang datang dari 3 penjuru pada threat Panen Lontar. "

Minggu, 12 Juni 2011

KONSEP DASAR PERWUJUDAN ARSITEKTUR VERNAKULAR SABU




Para ahli antropologi mengungkap, secara historis tempat pertama manusia purba berlindung untuk survive dari kondisi iklim dan gangguan binatang, adalah goa. Manusia purba dengan keterbatasan pengetahuan dan teknologi saat itu memilih tempat di alam yang telah tersedia, tanpa harus membuatnya. Ketika medan perburuan kian jauh dari goa, mereka pun membangun sarang tidur, lumbung tempat menyimpan hasil perburuan dst. Jadi, terbentuknya arsitektur saat ini dimulai dari goa. Tidak heran kalau peta mental mengenai runtutan sejarah pembentukan arsitektur oleh para pemburu binatang hutan di jaman batu, telah demikian merasuk cara pandang kita tentang terbentuknya arsitektur tradisional di Nusantara ini. Di sini ada suatu hal yang kita lupakan, yakni mengabaikan realita yang ada kalau nenek moyang kita adalah orang pelaut. Kita tidak lagi pernah berpikir kalau arsitektur itu bisa juga lahir dari kehidupan nenek moyang kita di laut, yakni perahu. Apakah tidak mungkin, ada suatu periode dimana kehidupan nenek moyang dengan perahu di laut itu dialihkan untuk melayari kehidupan di darat? Kenyataan ini seperti yang ditunjukan oleh nenek moyang masyarakat etnis Sabu, yang mendiami Pulau Sawu dan Pulau Raijua di Kabupaten Sabu Raijua Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masyarakat Sabu bertutur tentang tokoh legenda yang bernama Maja yang menciptakan rumah Sabu "Amu Kowa"  (Rumah Perahu; Amu=Rumah, Kowa=Perahu) dari perahunya yang ditelungkupkan. Hal itu dilakukan oleh Maja untuk pertama kalinya ketika dia berlabuh di Teluk Uba Ae, di Mesara pantai barat Pulau Sawu saat setelah melakukan pelayaran dari Pulau Raijua ke Pulau Sawu. Sebelum kembali ke Raijua, Maja membangun sebuah rumah yang bentuknya dibuat meniru bentuk rumah perahu yang ditelungkupkan tersebut. Melihat rumah Maja yang secara aerodinamis mampu bertahan terhadap kikisan dan hempasan angin Sabu yang ganas serta terpaan panas yang menyengat, kemudian masyarakat Sabu pun beramai-ramai menirunya dan meninggalkan bentuk rumah mereka yang lama. Untuk menghormati jasa leluhur mereka itu, maka di setiap "Rae Kowa" (Kampung Perahu; Rae=kampung) dibangun sebuah rumah yang disebut "Amu Maja" (Rumah Maja).
Konsep perahu yang dibuat Maja baik untuk rumah maupun kampung, bukan sekedar melakukan mimesis terhadap unsur fisik perahu semata. Sebuah lingkungan binaan yang tercipta dalam tradisi masyarakat Sabu, terwujud dan bermakna selain fisik juga terkait dengan pandangan dasar, simbol dan sisi spiritual masyarakat Sabu. Simbol-simbol yang ada merupakan manifestasi dari semesta, penghayatan dan pandangan dasar masyarakat Sabu. Sebuah layout "Amu" dalam sebuah "Rae Kowa" yang membentuk formasi "Rae do pedoke waru", sebenarnya bukan melulu kumpulan bangunan yang fungsional dan tektonis semata. Peruntukannya disesuaikan dengan iklim dan topografi yang didasarkan pada pandangan dasar "Roapana". Pendekatan arsitektur vernakular Sabu sebagai sebuah ide bangunan dengan konsep "Roapana", yakni mengatur adanya hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan "amu", antara "amu" dengan "amu" dan antara "amu" dengan lingkungannya. Disini "place" merupakan fokus desain "amu" dan "rae" dalam hubungannya dengan lingkungan.
Persoalan-persoalan mendasar dalam mewujudkan Arsitektur Nusantara sebetulnya bagaimana mengkomunikasikan antara pandangan primal (arsitektur vernakular) yang bersifat ontokratik/tertutup dengan pandangan ilmu arsitektur Paradigma Barat yang diterapkan di Indonesia yang bersifat kompleks teokratik/terbuka.