Translate

Sabtu, 30 April 2011

SEKILAS TENTANG KAMPUNG ADAT MEGALITIK NAMATA-SEBA, SABU BARAT

Kampung Adat Namata, Sabu Raijua

Menurut catatan sejarah orang Sabu, orang pertama yang datang ke Pulau Sabu adalah Kika Ga, yang menginjak kaki pertama di pantai selatan Pulau Sabu - Wadu Mea. Ia kemudian tinggal/mendiami Kolo Merabu (sekarang masuk Desa Dainao, yang mekar dari desa Raerobo, Kecamatan Sabu Liae).
Pada generasi tertentu, keluarga besar Kika Ga pindah dan tinggal di Kolo Teriwu, sebuah pegunungan atau bukit tertinggi di pulau Sabu (sekarang terletak di desa Teriwu, Kecamatan Sabu Barat).

Pada saat itu hanya satu pimpinan Pemerintahan Adat (Dewan Mone Ama) untuk seluruh wilayah Pulau Sabu, dan belum ada pembagian wilayah kekuasaan.

Pembagian wilayah Sabu sendiri terjadi pada jaman Wai Waka, yaitu menjadi: wilayah Hab’ba (Seba), Mehara, Liae, Menia, Dimu, dan Raijua. Selanjutnya di kemudian hari wilayah Menia dianeksasi (penggabungan) ke wilayah Seba.

Nama Namata sendiri berasal dari kata dasar Mata (yang dalam bahasa Sabu berarti “tunggu”). Di tempat ini dulunya menjadi tempat kubangan gerombolan babi hutan.
Perkampungan Adat ini dibangun oleh Robo Aba (salah satu moyang leluhur orang Sabu). Pada jamannya, Robo Aba adalah seorang pemimpin dalam masyarakat Sabu di wilayah adat Hab’ba (Seba).

Robo Aba, sebagai salah satu pemimpin masyarakat pada masa itu memiliki banyak anak buah/pembantu yang bekerja sebagai pemburu.
Setiap kali berburu, maka tempat kubangan itu menjadi sasaran untuk mendapat babi yang sedang mandi dan berkubang dalam air yang berlumpur. Sejak saat itu, tempat ini disebut Era Pemata Wawi Oddu (tempat menunggu babi hutan).
Kemudian Robo Aba mengajak keluarganya untuk pindah (Exodus) dari Perkampungan Adat Hanga Robo Aba (sekarang desa Roboaba yang mekar dari desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat), ke daerah yang baru, yakni di lokasi Namata - tempat kubangan babi hutan tersebut agar lebih dekat dengan lokasi perburuan.
Robo Aba mulai membangun rumah bersama keluarganya dan perkampungan baru itu diberi nama Namata.

Di Perkampungan Namata, terdapat tempat ritual adat yang sakral (sampai saat ini masih sangat disakralkan) dengan sejumlah batu-batu megalite yang terdapat di tengah perkampungan ini.
Kampung Adat Namata ini sekarang menjadi salah satu tempat tujuan wisata penting di Pulau Sabu, dan sering menjadi tujuan kunjungan para wisatawan asing manca negara yang datang ke Sabu. Perkampungan Adat Namata saat ini lebih dikenal sebagai situs Perkampungan Megalitik Namata. Dalam lingkungan Kampung Adat ini, sistim pemerintahan adat masih dipegang kuat, dan dijalankan oleh para Mone Ama, yang masih sangat fanatik sebagai penganut kepercayaan (agama suku), yang dalam bahasa Sabu disebut ‘Jingitiu’.

Robo Aba mempunyai 4 (empat) orang anak laki-laki yang kemudian masing-masing membentuk 4 Klan/Sub Suku (dalam bahasa Sabu disebut Udu) besar di Seba – Sabu Barat.

Ke-4 anak Robo Aba tersebut adalah:
  1. Dami Robo, yang menurunkan Udu Nataga; 
  2. Tunu Robo, menurunkan Udu Namata; 
  3. Pili Robo, menurunkan Udu Nahoro; 
  4. Hupu Robo, menurunkan Udu Nahupu.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan ke-4 Udu turunan dari Robo Aba tersebut dalam tatanan Pemerintahan Adat Sabu menjadi sangat penting, khususnya dalam masyarakat Sabu di Seba – Sabu Barat.

Dalam Struktur Pemerintahan Adat di Sabu, selain juga mengenal Deo Ama (Tuhan Yang Maha Kuasa), sebagai Pemimpin Tertinggi yang menguasai bumi jagat raya alam semesta, untuk menjalankan roda Pemerintahan Adat di dunia juga di kenal Dewan Mone Ama

Di Seba sendiri, dikenal ada 4 tokoh penting dalam Dewan Mone Ama tersebut, yakni:
  1. Pulodo - berasal dari Klan/Udu Nataga, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Pertanian dan Kemakmuran’ - khususnya tanaman padi. 
  2. Deo Rai - dari Klan/ Udu Namata, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Tanaman Pangan’, khususnya tanaman sorgum, kacang hijau dan tanaman pohon tuak (Lontar) yang menghasilkan nira manis atau tuak manis. Air nira/tuak yang akan disimpan lama harus dimasak menjadi gula merah yang kental (yang bisa disimpan sebagai cadangan makanan selama bertahun-tahun). 
  3. Do Heleo - dari Klan/ Udu Nahoro, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Pengawasan’ yang bertugas mengawasi kegiatan Pembangunan, Kemasyarakatan dan Lingkungan hidup. 
  4. Rue - dari Klan/ Udu Nahupu, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Kesehatan’ termasuk menolak bala.

Kamis, 14 April 2011

TENTANG SI CASSIE KECIL

Cassie menunggu dengan antusias. Kaki kecilnya bolak-balik melangkah dari ruang tamu ke pintu depan. Diliriknya jalan raya depan rumah.
Belum ada.
Cassie masuk lagi. Keluar lagi.
Belum ada.
Masuk lagi. Keluar lagi. Begitu terus selama hampir satu jam.
Suara si Mbok yang menyuruhnya berulang kali untuk makan duluan, tidak dia gubris.

Pukul 18.30
Tinnn... Tiiiinnnnn...!! Cassie kecil melompat girang!
Mama pulang! Papa pulang!
Dilihatnya dua orang yang sangat dia cintai itu masuk ke rumah.
Yang satu langsung menuju ke kamar mandi. Yang satu mengempaskan diri di sofa sambil mengurut- urut kepala.

Wajah-wajah yang letih sehabis bekerja seharian, mencari nafkah bagi keluarga.
Bagi si kecil Cassie, yang tentunya belum mengerti banyak, di otaknya yang kecil, Cassie cuma tahu, ia kangen Mama dan ia kangen Papa, ia girang Mama dan Papa pulang.

"Mama, mama.... Mama, mama...." Cassie menggerak-gerakkan tangan.
"Mama....", Mama diam saja.
Dengan cemas Cassie bertanya, "Mama sakit ya?". "Mana yang sakit? Mama, mana yang sakit???"

Mama tidak menjawab. Hanya mengernyitkan alis sambil memejamkan mata.

Cassie makin gencar bertanya, "Mama, mama... mana yang sakit? Cassie ambilin obat ya..? Ya..? Ya..?"

Tiba-tiba...,

"Cassie!! Kepala mama lagi pusing! Kamu jangan berisik!" Mama membentak dengan suara tinggi.

Kaget, Cassie mundur perlahan. Matanya menyipit. Kaki kecilnya gemetar. Bingung. Cassie salah apa?????

Cassie sayang Mama..., Cassie salah apa????

Takut-takut, Cassie menyingkir ke sudut ruangan.
Mengamati Mama dari jauh, yang kembali mengurut- ngurut kepalanya.
Otak kecil Cassie terus bertanya-tanya: Mama, Cassie salah apa? Mama tidak suka dekat-dekat Cassie? Cassie mengganggu Mama? Cassie tidak boleh sayang Mama, ya???

Berbagai peristiwa sejenis terjadi.....
Dan otak kecil Cassie merekam semuanya.
Maka tahun-tahun berlalu. Cassie tidak lagi kecil....
Cassie bertambah tinggi. Cassie remaja. Cassie mulai beranjak menuju dewasa.....

"Tin.. Tiiinnn... ! Mama pulang. Papa pulang".

Cassie menurunkan kaki dari meja....
Mematikan TV.....
Buru-buru naik ke atas, ke kamarnya..., dan mengunci pintu.
Menghilang dari pandangan.

"Cassie mana?" Papa dan Mama bertanya pada pembantu rumah tangga...

"Sudah makan duluan, Tuan, Nyonya", jawab si mbok.

Malam itu mereka kembali hanya makan berdua. Dalam kesunyian berpikir dengan hati terluka: "Mengapa anakku sendiri, yang kubesarkan dengan susah payah, dengan kerja keras, nampaknya tidak suka menghabiskan waktu bersama-sama denganku?"
"Apa salahku? Apa dosaku? Ah, anak jaman sekarang memang tidak tahu hormat sama orangtua! Tidak seperti jaman dulu."

Di kamar atas, Cassie mengamati dua orang yang paling dicintainya dalam diam.
Dari jauh... Dari tempat di mana ia merasa tidak akan terluka. "Mama, Papa, katakan padaku, bagaimana caranya memeluk seekor landak?????"