Translate

Sabtu, 29 Oktober 2011

Perempuan Sabu Menulis Sejarah Melalui Motif Tenun



Banyak kali menulis dipahami sebagai ketrampilan yang hanya memakai kertas dan tinta. Sebenarnya menulis adalah upaya manusia untuk mengekspresikan gagasan dalam berbagai bentuk. Perempuan Sabu menulis sejarah hidupnya, keluarga, dan kelompok/marga, bahkan masyarakat dan lingkungannya, melalui motif sarung untuk perempuan dan selimut bagi laki-laki. Motif tenun menjadi simbol sejarah perempuan Sabu yang berisi banyak cerita tentang tuturan pengalaman perempuan (tentang anak sulung dan anak bungsu, yang pertama kalinya melahirkan motif, dengan sifat-sifatnya, seksnya, cara hidupnya, pandangan hidup, spirit hidupnya); tentang hubungan masyarakat dengan lingkungan (sebagaimana tercermin dalam motif daun asam, sayur laut, warna tanah, binatang, pangan, rumah); dan seterusnya. Penempatan warna dan motif menjadi dokumentasi sejarah tertentu yang diwariskan kepada generasi berikut melalui pengajaran perempuan kepada perempuan. Ada tiga cara pengajaran ini diwariskan. Bisa pada saat kematian perempuan, perempuan tua yang memiliki pengetahuan mengenai motif tenun clan sendiri menceritakan sejarah motif serta makna motif. Cara kedua adalah selama proses menenun, guru pertama, yaitu mama, mengajar anak-anak perempuan cara menenun, termasuk pilihan dan penempatan warna, motif kecil dan besar, sekaligus mengenai sejarah dan makna motif. Cara ketiga adalah orang dapat belajar dari motif tenun itu sendiri.

Perubahan budaya lisan ke budaya tulisan menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk membaca pesan asli dalam simbol sejarah perempuan melalui motif tenun. Tradisi penerusan budaya perempuan melalui cerita lisan mulai lemah, bahkan tuturan sekitar karya tenun ini hampir tidak lagi diminati oleh generasi saat ini. Penciptaan pakaian oleh pabrik menggeser peranan tenunan dalam kehidupan keseharian masyarakat Sabu, sehingga nilai-nilai yang dipesankan dalam motif tenun terkesan mulai diabaikan. Kepintaran diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal, termasuk kemampuan membaca dan menulis di atas kertas. Kepintaran menenun dan memahami makna motif tidak diakui sebagai sumber ilmu. Meskipun demikian, masih ada perempuan Sabu yang setia memelihara tradisi menenun sebagai warisan berharga dari pendahulunya. Salah satu dampak dari ini adalah di antara perempuan mungkin ada yang mengerjakan karya ini hanya sebagai sebuah tugas rutin perempuan tanpa memahami nilai-nilai yang terdapat dalam setiap helai benang dan warnanya, atau yang terdapat dalam motif besar dan kecil, atau tanpa memahami peraturan terkait cara berpakaian untuk setiap kebutuhan.

Dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat Sabu, juga mulai berdampak pada beberapa pergeseran memaknai budaya Sabu pada generasi sekarang. Perubahan ini berdampaknya juga terhadap motif tenun, yaitu, paten motif tidak lagi dilindungi di mana keturunan clan perempuan sulung dan bungsu saja yang diizinkan memakainya, tetapi sekarang sudah dijual secara bebas dan dipakai bebas. Orang juga sekarang menenun motif yang seharusnya dipelihara itu tanpa izin dari keturunan yang menjadi pemilik asli motif. (Namun tentunya terhadap argumen ini masih terbuka ruang utk diperdebatkan/didiskusikan).

Supaya kita tidak salah menafsir sejarah hidup yang ditulis perempuan Sabu lewat motif tenun, maka saya coba menguraikan sedikit sejarah tersebut secara tertulis sebagai bagian dari upaya pelestarian tradisi mereka, tentunya berdasarkan yg saya tahu dari berbagai cerita dan referensi. (Mohon dikoreksi oleh saudara-saudara yang tentunya lebih tahu dan paham soal ini. Saya sekedar hanya pengen berbagi).

Masyarakat Sabu mengenal genealogisnya menurut garis keturunan ibu dan ayah. Garis keturunan ayah disebut clan (udu) dan garis keturunan ibu disebut mayang (hubi).
Di Sabu ada lima wilayah adat dan secara adat clan laki-laki biasanya menguasai di wilayah adat tertentu, sedangkan clan perempuan melintasi batas wilayah melalui perkawinan. Dengan demikian motif-motif tenun terdapat di seluruh wilayah adat Sabu dan tidak terbatas pada wilayah tertentu.

Garis Keturunan Perempuan

Legenda menceritakan asal muasal garis keturunan perempuan Sabu yang berawal dari dua orang perempuan, yakni Mudji Babo dan Lou Babo. Mudji adalah sulung dan Lou adalah adik/bungsu. Muji Babo dikenal sebagai anak yang rajin bekerja dan menenun, sedangkan adiknya Lou, manja dan malas bekerja. Mudji Babo mengadakan pameran hasil kerjanya sambil menghina Lou Babo sebagai orang yang tidak mempunyai apa-apa dan malas. Hari pameran mendekat, Mudji Babo mulai mengikat tali panjang untuk menggantungkan hasil tenunannya, sambil menyindir adiknya. Dalam keadaan 'tertekan', Lou Babo hanya bisa memilih dan mengumpulkan biji kapas dalam wadah-wadah anyaman. Hari pameran dibuka, Mudji Babo telah memamerkan tenunannya, sedangkan Lou Babo menjadi heran sebab ketika wadah biji kapas itu dibuka, ternyata bukan biji kapas melainkan telah berubah menjadi lembaran–lembaran sarung.

Sekali waktu, menurut legenda yang diceritakan, pernah ada perkelahian besar di antara Mudji Babo dan Lou Babo, sebab Lou jengkel dihina terus-terusan oleh kakaknya, sedangkan Mudji sangat cermburu terhadap adiknya, karena tanpa bekerja keras ia masih dapat menghasilkan banyak tenunan. Pada saat berkelahi, orang tua mereka menyuruh mereka harus membagi peralatan tenun. Sejak itu Mudji dan Lou sepakat untuk membagi peralatan tenunan, yang Dilakukan secara simbolis dengan pembagian sari nila untuk pewarnaan benang yang diambil dari satu periuk. Mudji Babo menimba air nila bagian atas dan terbanyak untuk dirinya sebab dianggap lebih banyak itu lebih baik, sedangkan air nila sisa dalam periuk untuk Lou Babo. Yang tidak disadari oleh Mudji Babo adalah air nila sisa yang di bawah periuk adalah yang paling bermutu sehingga Lou Babo yang diuntungkan dari sikap Mudji Babo. Dan inilah yang menjadi dasar pembagian motif, sekaligus pembagian 'mayang' perempuan di Sabu. Karena Mudji Babo mengambil air nila lebih banyak, maka dia beserta keturunannya ditetapkan sebagai pemilik motif mayang besar (hubi ae). Lou Babo, karena memperoleh air nila sedikit, dengan seluruh keturunannya dinyatakan sebagai pemilik motif mayang kecil (hubi iki).

Legenda ini menjadi dasar pembagian genealogis yang disimbolkan melalui motif sarung. Tradisi pemilikan motif secara geneologis nampak pada peristiwa pernikahan dan kematian. Seorang perempuan dari mayang besar (hubi ae) atau mayang kecil (hubi iki), saat meninggal akan memakai sarung dengan motif menurut asal genealogisnya. Motif tenun diberi nama seorang perempuan, entah itu pencipta motif atau tokoh perempuan Sabu (misalnya, Motif Pudilla), nama yang terkait peristiwa sejarah tertentu (misalnya, Motif Piri Ga Lena), atau nama lingkungan alam (misalnya, Motif Wo Boi).

Jumat, 28 Oktober 2011

SEDIKIT CERITA TENTANG MOTIF-MOTIF TENUNAN SABU



Ada istilah bervariasi untuk menyebut pembagian motif tenun yang dipatenkan secara turun temurun sampai sekarang menurut kedua perempuan. Muji Babo dan keturunannya menulis sejarah hidup mereka melalui sarung yang biasa disebut sarung pukul (ei raja), sarung mayang besar (hubi ae), atau motif besar (hebe ae). Motif–motif yang diciptakan dan dimiliki oleh keturunan Muji Babo adalah:

 >>>Motif-Motif Keturunan Muji Babo (hubi ae):

1.    Motif Pudilla
2.    Motif Robo
3.    Motif Dula
4.    Motif Kobe Morena
5.    Motif Piri Ga Lena
6.    Motif Kobe Molai
7.    Motif Kae Hoge
8.    Motif Tutu

>>>Dilla Robo (Motif Pudilla)

Dilla adalah tokoh legenda yang diberi nama lain sebagai nama pelindung dan pemberi kekuatan sesuai tradisi Sabu (ngara 'bhani), yaitu Mare Ga. Dia adalah putri tunggal dari tiga saudara laki-laki dari pasangan Muji Babo dan Robo Aba. Dilla dipercayai sebagai perempuan cantik dan menikahi banyak laki-laki di setiap wilayah adat di Sabu, termasuk kawin dengan saudara laki-laki sendiri. Dilla memiliki kekuatan dengan rahasia yang mempesona, bahkan sulit untuk mengenal kepribadianya. Ketika Dilla menuju ke wilayah Dimu (bagian timur Pulau Sabu) untuk menikah pada kali yang terakhir, tiba-tiba turun hujan lebat. Oleh sebab itu ditafsirkan sebagai tanda alam tidak merestui, maka masyarakat memukul lesung-lesung sehingga orang bangun menyelamatkan diri dengan melakukan acara adat. Tetapi rupanya itu percuma, oleh sebab atas kemarahan dan hukuman alam, Dilla meninggal. Lesung lalu disimbolkan sebagai tubuh Dilla alias Mare Ga.

1. Motif Pudilla

Kata Pudilla terdiri dari dua kata appu dan Dilla. Appu artinya nenek dan Dilla adalah diambil dari nama Dilla Robo. Peringatan akan kehidupan Dilla Robo dengan poliandri (menikahi banyak laki-laki) serta incestnya ditulis melalui Motif Pudilla (motif Nenek Dilla). Motif itu terdiri dari dua pucuk rebung, gagang haik (wadah minuman dari daun lontar), sebuah motif kecil di dalam motif besar.  Motif ini mempunyai pesan dan harapan sbb: dua pucuk rebung adalah peringatan agar anak-anak cucu tidak mengikuti cara hidup Nenek Dilla yang poliandri dan kawin sedarah dengan saudara laki-lakinya; gagang haik adalah ajakan untuk berpegang pada adat istiadat; dan bunga kecil merupakan harapan agar generasi Nenek Dilla menjadi orang-orang terpandang. Konteks cerita Dilla Robo di wilayah adat Habba (Seba saat ini). Kuburan Dilla Robo dipercaya berada di salah satu kampung di Kekoro.

2. Motif Robo

Motif Robo berbentuk segi empat. Motif sarung ini bermakna sebagai senjata pelindung dalam perjalanan, seperti peristiwa pernikahan di mana suami isteri akan keluar dari keluarga masing-masing menuju rumah tangga baru. Juga saat kematian, motif ini bermakna sebagai "pelindung" selama perjalanan kembali ke dalam persekutuan para leluhur. Motif ini dipercayai sebagai motif pusaka dalam genealogi Dilla Robo.

3. Motif D’ulla

Motif D'ulla dilestarikan sebagai motif selimut asli bagi laki-laki, disebut hi’jji, yang berfungsi sebagai motif dalam pakaian jabatan pimpinan adat, juga untuk upacara, pernikahan, dan kematian, serta pakaian harian. Mengapa Motif D’ulla dikhususkan untuk selimut laki-laki belum diketahui secara pasti. Memang Motif Du’lla juga ada pada sarung perempuan. Laki-laki tidak memiliki motif khusus seperti pada perempuan.  D'ulla adalah wadah yang dibuat dari dahan pohon pinang dan campuran tanah liat yang berfungsi sebagai tempat merendam akar-akar pohon (obat tradisional) untuk memandikan bayi yang baru lahir. Wadah tersebut juga dipakai sebagai tempat air untuk ritus pemandian anak-anak secara adat (d’abba). Pengalaman pemeliharaan bayi, manfaat pohon pinang dan tanah liat bagi keluarga-keluarga dan masyarakat saat itu, serta ritus pengesahan anak-anak menjadi warga adat yang syah melalui ritus d’abba diceritakan melalui motif ini.

### Selanjutnya saya bingung, karena ada sketsa cerita lain lagi di masyarakat tentang Dilla yang agak berbeda dari versi di atas.
(Apakah Dilla Robo alias Mare Ga ini adalah orang yang sama dengan Dilla Tede alias Ga Lena dalam kisah di bawah??? Ataukah keduanya adalah individu yang berbeda???), namun bukti-bukti motif (nama) nya masih ada sampai sekarang.
Atau apakah Motif Kobe Morena, Motif Piri Ga Lena, dan dan Motif Kobe Molai di bawah merupakan “sub” motif? Atau apakah ini motif tersendiri atau bagaimana meng-sinkron-kan kisah-kisah di balik motif-motif tenunan yang ada, sesuai cerita dan legenda yang berkembang dalam masyarakat Sabu????

# [Nah untuk itulah mohon koreksi dari saudara-saudara yang lebih paham tentang ini, sebagai dokumentasi sejarah budaya kita orang Sabu....]


>>>Dilla Tede

Dilla Tede menikah dengan tukang perahu namanya Raja Bangngu. Dilla Tede pada suatu hari berangkat ke Kota Ga (menurut beberapa sumber, letaknya... katanya di Pulau Solor di Flores) dengan perahu yang diberi nama Kowa Deo. Tiba di Kota Ga, Dilla Tede menghadap raja dan memperkenalkan dirinya dengan nama Ga Lena (seorang putri dari Kerajaan Ga) lewat ungkapan syair: "Ga Lena Uli Wo Helagi Horo Made De Waru (yang kurang lebih artinya: putri Raja Ga yang datang dari negeri bulan penuh lingkaran cahaya)". Dia melaporkan tentang bencana perang yang terjadi di negerinya dengan menunjukkan tulang-tulang kuda sebagai tulang manusia.  Raja peduli dan memberi dukungan kepadanya. Dilla Tede diberi hadiah sebuah kotak pusaka. Usai percakapan dengan sang raja di Kota Ga, ia kembali ke Sabu dengan dukungan perlengkapan perang berupa tujuh buah kapal, satu bendera, serta senjata lainnya. Setibanya di Sabu, Dilla Tede mengibarkan bendera tersebut di tengah clan Nahoro di Liae; sampai sekarang tempat itu dinamai kibar bendera (hala paji).

Dari kisah ini, konon kemudian lahirlah motif-motif tenunan berikut.....

4. Motif Kobe Morena

Motif ini berkisah tentang sejarah hidup perempuan bernama Dilla Tede. Sejarah hidup ini menjadi sumber inspirasi bagi Dilla Tede dengan menciptakan sebuah motif yang diberi nama Kobe Morena. Motif ini menjadi buku sejarah tentang misi Dilla Tede ke Kota Ga dan hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari Dilla Tede.

5. Motif Piri Ga Lena

Dila Tede, alias Ga Lena, dikenang sebagai perempuan yang bercahaya seperti Bani Weo (gambaran untuk bulan di mana dalam pandangan seolah-olah ada nenek yang memintal benang, sesuai beberapa cerita rakyat yang berkembang). Dan seperti itulah Dilla Tede di-metafora-kan oleh anak cucunya. Untuk mengenang tokoh legenda Dilla Tede sebagai tokoh 'terang bercahaya', anak cucu Dilla Tede menciptakan motif baru yang disebut Motif Piri Ga Lena (piringnya Ga Lena, alias Dilla Tede). Kemungkinan piring yang dibawa oleh Dilla Tede dari negeri seberang dijadikan inspirasi untuk motif piring bagi anak cucunya, yang dalam bahasa daerah diungkapkan sebagai Motif Piri.

6.  Motif Kobe Molai

Di wilayah Mehara, bagian barat pulau Sabu, ada motif lain yang juga mengenang Dilla Tede, disebut Motif Kobe Molai yang terdiri dari ranting-ranting hijau. Jadi sejarah hidup tokoh Dilla Tede diceritakan dalam tiga buah motif, yakni Motif Kobe Morena, Motif Piri Ga Lena, dan Motif Kobe Molai.


# Kemudian...,
untuk menjelaskan beberapa motif-motif selanjutnya, baiknya kita lihat juga cerita-cerita legenda orang Sabu yang melatar belakangi lahirnya motif-motif tenunan Sabu berikut ini...

Bahwa dahulu kala ada dua perempuan bersaudara, yakni Pi’i Rebo dan Dilla Jingi meski berlainan ayah. Ibu mereka ialah Wanynyi Daku. Ia menikah dengan ayah Pi’i, yakni Rebo Tari. Setelah Rebo Tari meninggal, ibunya menikah dengan seorang laki-laki lain, yakni Jingi Tari. Dari perkawinan itu lahirlah Dilla Jingi yang kemudian melahirkan anak perempuan lagi, bernama Meko.

7. Motif Kae Hoge

Mengenang asal usul mereka dari satu leluhur, mereka menciptakan sebuah motif yang disebut Motif Kae Hoge. Motif ini berupa dua ekor burung yang sedang berdiri pada sebuah wadah dengan papan dan berdiri tegak punggungnya.

8. Motif Tutu

Motif Tutu menceritakan tentang tokoh perempuan Dina Riwu yang berasal dari Mehara (ujung barat pulau Sabu). Dina akan menikah dengan Jami Lobo di Seba, tetapi karena sakit, ditunda pernikahannya. Setelah sembuh, Dina tidak menikahi Jami Lobo, tetapi menikah dengan seorang fetor dari Menia, yakni Tero Weo. Mendengar hal itu, Jami Lobo membuat festival tarian (ledo). Di acara itu Jami Lobo bertemu dengan Dina. Hal ini menimbulkan, bentrokan kecil. Sindiran tentang kelakuan Jami Lobo terhadap Dina ditulis dalam Motif Tutu yang berupa ayam dan cermin.
# [Mohon maaf...saya tdk sedang bermaksud tendensius terhadap siapapun di sini, karena itu sangat dibuka celah untuk dikoreksi atau diberi catatan tambahan pada poin ini]

>>>Motif-Motif Alam

9. Motif Wo Kelakku Kaji Ru Helagi

Motif ini berkisah tentang manfaat daun asam sebagi rempah-rempah dan jamu. Daun asam digunakan oleh perempuan Sabu sebagai bahan perawatan tubuh dan kecantikan. Motif ini tidak diketahui siapa yang menciptakannya, tapi masih dalam lingkungan mayang Muji Babo (mayang besar).

10. Motif Wo kelakku Keware Wa

Motif ini mirip dengan motif Ru Helagi kecuali simpul motifnya.

11. Motif Kae Kuhi

Motif ini berupa mata kunci yang saling bergandengan. Motif ini merupakan peringatan bahwa setiap orang tidak bisa memasuki rumah yang terkunci tanpa kuncinya. Apakah motif ini dapat diduga sebagai catatan tentang perkenalan/pertemuan masyarakat Sabu dengan teknologi kunci??? Belum pasti...

12. Motif Wo Kelakku Wo Pudi

Motif ini berupa daun daun bergantungan. juga belum diketahui penciptanya dan makna dari simbol  daun ini.

**[Motif 1-8 di atas bercerita tentang perempuan Sabu, sedangkan motif 9-12 bercerita tentang lingkungan hidup/alam sekitar].


>>>Motif-Motif Keturunan Lou Babo (hubi iki)

Sejumlah motif diciptakan juga oleh perempuan dari garis keturunan Lou Babo berdasarkan sejarah mereka yang unik, baik secara individu, keluarga, maupun kelompok. Motif-motif dari keturunan Lou Babo dikenal dengan nama sarung Ei Ledo (sarung terakhir) dari hubi iki (mayang  kecil), sebutan  untuk genealogis Lou Babo.
Motif-motif tenunan yang terdapat dalam mayang Lou Babo adalah:

1.    Motif Wo Boi
2.    Motif Keware Hawu
3.    Motif Putenga
4.    Motif Jawu [Motif Wo Kelakku dan Peeki Jawu?]
5.    Motif Jingi Wiki
6.    Motif Mahi Dole
7.    Motif Wara Tada

1.    Motif Wo Boi; dan
2.    Motif Wo Keware Hawu

Motif sarung ini, bercerita banyak hal dari fakta-fakta dan pesan kehidupan. Misalnya, perempuan dari mayang ini menulis bahwa leluhur mereka dulu tinggal di laut, lalu ke darat dan membuat rumah tinggal. Perahu di laut sebagai rumah tinggal menjadi sumber inspirasi ketika mereka membuat rumah di darat. Itulah sejarah yang diceritakan dua motif ini. Awalnya leluhur di cerita ini tinggal di laut tanpa rumah. Meski demikian mereka hidup laksana bunga karang (wo boi) yang bernaung di balik karang laut yang kuat. Saat mereka beralih ke darat, mereka mulai mencari dan membuat tempat untuk tinggal. Pencarian bentuk tempat tinggal itu dinyatakan dalam bentuk rumah yang dikenal dengan lingkaran elips Sabu (wo keware Hawu). Motif Wo Boi dan Motif Keware Hawu menjadi catatan sejarah perjalanan dari laut sampai leluhur mereka menetap di Pulau Sabu dengan membangun rumah tinggal. Dalam legenda perempuan Sabu, motif sarung si bungsu Lou Babo melambangkan perlindungan. Tempat perlindungan itu dapat dilihat dalam karya nyata dari rumah asli Sabu yang berbentuk perahu. Ini menjadi cikal bakal pembuatan rumah Sabu berbentuk perahu.
Bagi orang Sabu, rumah adalah karya fisik buatan laki-laki dan perempuan. Perempuan [yang keturunan Lou Babo] menulis seluruh gagasan, pengalaman, dan sejarah mereka dalam sarung Ei Ledo melalui motif bunga karang dan lingkaran elips. Perempuan Sabu men-dokumentasi-kan semua pengalaman hidup mereka pada saat terentu dan menulisnya dalam motif. Sarung dengan motif yang berwarna-warni seperti merah, kuning, hijau, biru, coklat, abu, putih, jingga, dan hitam melukiskan kehidupan yang syarat makna.

3. Motif Putenga [atau Putenga yang inspirasi untuk Motif Kekedi?]

Kata Putenga terdiri dari dua kata; pu dari kata appu yang berarti nenek (sebagaimana dijelaskan mengenai Motif Pudilla di atas), dan Tenga, dari nama Tenga Ga. 
Tenga Ga adalah tokoh legenda. Motif ini bercerita tentang perkelahian antara dua suami dari Tenga Ga dan saudara laki-lakinya. Perkelahian dan kematian yang terjadi akibat ucapan dari Tenga Ga yang memancing kemarahan dari saudara laki-lakinya sendiri dengan suaminya. Panas hati, peperangan, dan kematian menjadi catatan/pesan yg disampaikan oleh motif ini. Peringatan akan leluhur Tenga Ga ini melahirkan Motif Kekedi (alat tenunan untuk menghaluskan kapas) sebagai lambang pertimbangan. Motif Kekedi adalah motif untuk mengenang tokoh leluhur Tenga Ga serta peristiwa tragis yang menimpa dia dan keluarganya. Konteksnya di wilayah adat Habba (Seba), motif ini hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari tokoh Tenga Ga.

4.  Motif Jawu

Motif ini bercerita tentang tokoh perempuan yang cantik bernama Jawu. Sang ibu karena tugas mengasuh Jawu tidak dapat bersama suaminya bekerja di ladang. Suaminya marah pada sang istri karena waktu dan perhatian dicurahkan pada si anak. Akhirnya, sang ibu meninggalkan anaknya di rumah sendirian, lalu ke ladang mengikuti suami. Anak itu sendirian di rumah; lalu penolong dewa, yaitu nenek matahari, datang mengambilnya ke singgasananya dan memelihara Jawu. Ketika Jawu sudah besar, ia dinikahkan dengan tokoh legenda bernama Kelogo Liru. Usai melahirkan anak-anak dengan Kelogo Liru, Jawu turun ke bumi dan tinggal di atas pohon heliru. Menurut legenda, Jawu menikah beberapa kali, baik di Mehara (ujung barat Pulau Sabu) dan juga di Sabu timur. Tokoh adat yang menikahinya di Sabu Timur membuat rumah khusus bagi Jawu yang diberi nama Kopo Jawu, artinya rumah Jawu. Rumah khusus itu dibuat untuk memenuhi keinginan Jawu yang tidak mau tinggal serumah dengan suaminya, Bella Hina. Kisah Jawu ditulis pada Motif Wo Kelakku dan Motif Peeki Jawu. Motif tentang kehidupan Jawu dalam legenda orang Sabu, tidak bisa dipisahkan dari langit dan bumi.

5. Motif Jingi Wiki

Motif ini menceritakan tentang tokoh perempuan Nida. Nida dimitoskan sebagai perempuan magis. Kekuatan magisnya dapat memisahkan istri-istri dari suaminya. Bila tokoh ini hadir dalam sebuah rumah/keluarga, maka sang istri akan keluar meninggalkan suaminya. Bila sang istri menetap di rumah, resikonya kematiannya. Kehidupan Nida yang poliandri ini menghasilkan keturunan hampir di seluruh wilayah Pulau Sabu. Tokoh magis ini diberi nama julukan Jingi Wiki, artinya yang memisahkan. Sejarah tokoh magis Nida alias Jingi Wiki ditulis dalam Motif Jingi Wiki. Motif ini terdiri dari bunga besar dan kecil dengan banyak tangkainya. Bunga-bunga itu melambangkan kehidupan Nida. Motif ini di'paten'kan bagi anak-cucu dan keturunan Nida, dan orang lain dilarang memakainya atau menirunya sebab dipercayai jika demikian akan seperti Nida.

6. Motif Mahi Dole

Hidup dan sejarah Mahi Dole ditulis dalam motif berbentuk perahu yang diberi nama Mahi Dole. Tokoh mitos ini dikenal sebagai yang memilki kekuatan sihir (kewaga). Karena kekuatan sihir itu, ia dibuang ke laut oleh saudara-saudaranya di Selat Raijua (ujung barat Pulau Sabu dan ujung timur Pulau Raijua). Mahi Dole selamat dan terdampar di pantai barat Pulau Sabu. Dia ditemukan oleh dua laki-laki pemburu di hutan dan dibawa kepada Raja. Kehadirannya meresahkan Raja karena kekuatan magisnya. Padahal, Mahi Dole hampir terbunuh dalam sebuah skenario yang dibuat Raja, yakni waktu upacara pemulihan kematian, seekor kerbau dibunuh. Di atas binatang korban itu Mahi Dole dimuat untuk dibunuh, tetapi diselamatkan. Mengenang leluhur Mahi Dole, keturunannya menyebut diri mereka “benih yang diserahkan”. Simbol kehidupan yang terancam itu digambarkan melalui motif bercorak perahu.

7. Motif Wara Tada

Perempuan Sabu memiliki juga kreatifitas pribadi, untuk menulis sejarah pribadinya melalui motif sarung. Hal ini nyata dalam kisah Motif Wara Tada. Motif Wara Tada agak unik, karena terdapat dua bunga besar dalam satu sarung. Biasanya hanya satu motif besar untuk satu sarung. Motif ini menggambarkan kisah hidup leluhur perempuan mereka, yang ditolak, dan dibunuh oleh ayahnya sendiri karena kehidupan seksnya [maaf...]. Upaya pembunuhan sang ayah gagal, oleh karena kecerdikan si anak yakni Wara Tada, mengecoh ayahnya sebelum parang diayunkan kepadanya.  Wara Tada meloncat ke dalam laut . Di laut itulah Wara Tada, ditolong oleh ikan paus (lungi rai), yang merawat luka-lukanya dan membawa dia pulang ke pantai. Pengalaman hidup dalam dua dunia, dunia manusia dan dunia laut/ikan, dikisahkan oleh Motif Wara Tada. Motif yang bercerita tentang penderitaan karena seks, tentang kehidupan dan kematian (darat dan laut), tentang pertolongan dan kebaikan ikan paus. Motif ini berupa ikan dan  sayuran laut.
Atau juga, Wara Tada, menulis sejarah hidupnya yang buruk karena seksnya sebagai perempuan yang dibuang ayahnya ke laut. Pengalaman itu disimbolkan dalam motif ikan paus, tanaman laut yang disebut sarung dua motif (ei due hebe).
Motif ini juga mengandung ikatan perjanjian antara WaraTada sang leluhur serta seluruh keturunannya ke depan, untuk mengingat jasa ikan paus serta berjanji tak akan memakan daging ikan paus. Dan sampai sekarang keturunan Wara Tada mentaatinya sebagi pantangan. Bahkan bila ikan paus terdampar di pantai di Sabu, mereka akan membawa sarung Motif Wara Tada, dibalut pada leher ikan paus lalu di dorong masuk ke laut. Di sini kita melihat… sebuah eko-feminisme dari perempuan Sabu dan juga masyarakatnya.

>>>Motif Netral (Wo Rapi)

"Hak paten" motif pakaian yang dijunjung tinggi oleh perempuan dari dua keturunan (sulung dan bungsu), yakni Muji Babo dan Lou Babo; nampaknya melahirkan kearifan baru dari kedua kelompok perempuan dalam tatanan masyarakat Sabu. Benar, tantangan melahirkan peluang baru. Pasti mereka berdiskusi bagaimana mengatasi inklusifisme tersebut agar mereka saling terbuka.
Jawabannya, mereka menciptakan motif penengah yang dikenal dengan motif/sarung “wo rapi”.
Motif sarung ini sangat bervariasi antara motif lokal dan luar seperti: bunga, burung, malaikat, daun anggur, dan seterusnya. Disebut wo rapi karena menampakkan berbagai variasi warna pada motifnya. Sarung dengan motif netral ini menjadi pakaian sehari-hari dan boleh dipakai oleh ke dua kelompok perempuan. Motif Wo Rapi juga dibuat untuk selimut dan dapat dipakai sehari-hari oleh laki-laki.

# Kekama Haba

Motif ini diciptakan untuk selimut laki-laki. Inilah motif lokal dan dipatrikan pada selimut (hijji). Juga ada motif netral/luar yang disebut Motif Wo Rappi.