Banyak kali menulis dipahami sebagai ketrampilan yang hanya memakai
kertas dan tinta. Sebenarnya menulis adalah upaya manusia untuk
mengekspresikan gagasan dalam berbagai bentuk. Perempuan Sabu menulis
sejarah hidupnya, keluarga, dan kelompok/marga, bahkan masyarakat dan
lingkungannya, melalui motif sarung untuk perempuan dan selimut bagi
laki-laki. Motif tenun menjadi simbol sejarah perempuan Sabu yang berisi
banyak cerita tentang tuturan pengalaman perempuan (tentang anak sulung
dan anak bungsu, yang pertama kalinya melahirkan motif, dengan
sifat-sifatnya, seksnya, cara hidupnya, pandangan hidup, spirit
hidupnya); tentang hubungan masyarakat dengan lingkungan (sebagaimana
tercermin dalam motif daun asam, sayur laut, warna tanah, binatang,
pangan, rumah); dan seterusnya. Penempatan warna dan motif menjadi
dokumentasi sejarah tertentu yang diwariskan kepada generasi berikut
melalui pengajaran perempuan kepada perempuan. Ada tiga cara pengajaran
ini diwariskan. Bisa pada saat kematian perempuan, perempuan tua yang
memiliki pengetahuan mengenai motif tenun clan sendiri menceritakan
sejarah motif serta makna motif. Cara kedua adalah selama proses
menenun, guru pertama, yaitu mama, mengajar anak-anak perempuan cara
menenun, termasuk pilihan dan penempatan warna, motif kecil dan besar,
sekaligus mengenai sejarah dan makna motif. Cara ketiga adalah orang
dapat belajar dari motif tenun itu sendiri.
Perubahan budaya lisan
ke budaya tulisan menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk membaca
pesan asli dalam simbol sejarah perempuan melalui motif tenun. Tradisi
penerusan budaya perempuan melalui cerita lisan mulai lemah, bahkan
tuturan sekitar karya tenun ini hampir tidak lagi diminati oleh generasi
saat ini. Penciptaan pakaian oleh pabrik menggeser peranan tenunan
dalam kehidupan keseharian masyarakat Sabu, sehingga nilai-nilai yang
dipesankan dalam motif tenun terkesan mulai diabaikan. Kepintaran diukur
berdasarkan tingkat pendidikan formal, termasuk kemampuan membaca dan
menulis di atas kertas. Kepintaran menenun dan memahami makna motif
tidak diakui sebagai sumber ilmu. Meskipun demikian, masih ada perempuan
Sabu yang setia memelihara tradisi menenun sebagai warisan berharga
dari pendahulunya. Salah satu dampak dari ini adalah di antara perempuan
mungkin ada yang mengerjakan karya ini hanya sebagai sebuah tugas rutin
perempuan tanpa memahami nilai-nilai yang terdapat dalam setiap helai
benang dan warnanya, atau yang terdapat dalam motif besar dan kecil,
atau tanpa memahami peraturan terkait cara berpakaian untuk setiap
kebutuhan.
Dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat Sabu,
juga mulai berdampak pada beberapa pergeseran memaknai budaya Sabu pada
generasi sekarang. Perubahan ini berdampaknya juga terhadap motif tenun,
yaitu, paten motif tidak lagi dilindungi di mana keturunan clan
perempuan sulung dan bungsu saja yang diizinkan memakainya, tetapi
sekarang sudah dijual secara bebas dan dipakai bebas. Orang juga
sekarang menenun motif yang seharusnya dipelihara itu tanpa izin dari
keturunan yang menjadi pemilik asli motif. (Namun tentunya terhadap
argumen ini masih terbuka ruang utk diperdebatkan/didiskusikan).
Supaya
kita tidak salah menafsir sejarah hidup yang ditulis perempuan Sabu
lewat motif tenun, maka saya coba menguraikan sedikit sejarah tersebut
secara tertulis sebagai bagian dari upaya pelestarian tradisi mereka,
tentunya berdasarkan yg saya tahu dari berbagai cerita dan referensi.
(Mohon dikoreksi oleh saudara-saudara yang tentunya lebih tahu dan paham
soal ini. Saya sekedar hanya pengen berbagi).
Masyarakat Sabu
mengenal genealogisnya menurut garis keturunan ibu dan ayah. Garis
keturunan ayah disebut clan (udu) dan garis keturunan ibu disebut mayang
(hubi).
Di Sabu ada lima wilayah adat dan secara adat clan
laki-laki biasanya menguasai di wilayah adat tertentu, sedangkan clan
perempuan melintasi batas wilayah melalui perkawinan. Dengan demikian
motif-motif tenun terdapat di seluruh wilayah adat Sabu dan tidak
terbatas pada wilayah tertentu.
Garis Keturunan Perempuan
Legenda
menceritakan asal muasal garis keturunan perempuan Sabu yang berawal
dari dua orang perempuan, yakni Mudji Babo dan Lou Babo. Mudji adalah
sulung dan Lou adalah adik/bungsu. Muji Babo dikenal sebagai anak yang
rajin bekerja dan menenun, sedangkan adiknya Lou, manja dan malas
bekerja. Mudji Babo mengadakan pameran hasil kerjanya sambil menghina Lou
Babo sebagai orang yang tidak mempunyai apa-apa dan malas. Hari pameran
mendekat, Mudji Babo mulai mengikat tali panjang untuk menggantungkan
hasil tenunannya, sambil menyindir adiknya. Dalam keadaan 'tertekan',
Lou Babo hanya bisa memilih dan mengumpulkan biji kapas dalam
wadah-wadah anyaman. Hari pameran dibuka, Mudji Babo telah memamerkan
tenunannya, sedangkan Lou Babo menjadi heran sebab ketika wadah biji
kapas itu dibuka, ternyata bukan biji kapas melainkan telah berubah
menjadi lembaran–lembaran sarung.
Sekali waktu, menurut legenda
yang diceritakan, pernah ada perkelahian besar di antara Mudji Babo dan
Lou Babo, sebab Lou jengkel dihina terus-terusan oleh kakaknya, sedangkan
Mudji sangat cermburu terhadap adiknya, karena tanpa bekerja keras ia
masih dapat menghasilkan banyak tenunan. Pada saat berkelahi, orang tua
mereka menyuruh mereka harus membagi peralatan tenun. Sejak itu Mudji dan
Lou sepakat untuk membagi peralatan tenunan, yang Dilakukan secara
simbolis dengan pembagian sari nila untuk pewarnaan benang yang diambil
dari satu periuk. Mudji Babo menimba air nila bagian atas dan terbanyak
untuk dirinya sebab dianggap lebih banyak itu lebih baik, sedangkan air
nila sisa dalam periuk untuk Lou Babo. Yang tidak disadari oleh Mudji
Babo adalah air nila sisa yang di bawah periuk adalah yang paling
bermutu sehingga Lou Babo yang diuntungkan dari sikap Mudji Babo. Dan
inilah yang menjadi dasar pembagian motif, sekaligus pembagian 'mayang'
perempuan di Sabu. Karena Mudji Babo mengambil air nila lebih banyak,
maka dia beserta keturunannya ditetapkan sebagai pemilik motif mayang
besar (hubi ae). Lou Babo, karena memperoleh air nila sedikit, dengan
seluruh keturunannya dinyatakan sebagai pemilik motif mayang kecil (hubi
iki).
Legenda ini menjadi dasar pembagian genealogis yang
disimbolkan melalui motif sarung. Tradisi pemilikan motif secara
geneologis nampak pada peristiwa pernikahan dan kematian. Seorang
perempuan dari mayang besar (hubi ae) atau mayang kecil (hubi iki), saat
meninggal akan memakai sarung dengan motif menurut asal genealogisnya.
Motif tenun diberi nama seorang perempuan, entah itu pencipta motif atau
tokoh perempuan Sabu (misalnya, Motif Pudilla), nama yang terkait
peristiwa sejarah tertentu (misalnya, Motif Piri Ga Lena), atau nama
lingkungan alam (misalnya, Motif Wo Boi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar