Translate

Minggu, 05 April 2015

Diskresi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah


Pejabat Pemerintahan Daerah sering dihadapkan pada kondisi dilematis ketika hendak mengambil keputusan, terlebih keputusan menyangkut Pengelolaan Keuangan Daerah. Kondisi dilematis tersebut berupa ketiadaan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur, adanya ketidak-harmonisan antar Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, ketidak-lengkapan aturan pelaksanaan, ketidakjelasan aturan atau multi tafsir atas suatu aturan. Padahal Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya selalu mendasarkan pada azas legalitas, yaitu suatu azas yang mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau tindakan yang dibuat oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. 

Sementara itu, di sisi lainnya, mereka dihadapkan pada keharusan untuk mengambil Keputusan agar hambatan dalam pelayanan masyarakat dapat diatasi secara baik. Sayangnya, Keputusan-Keputusan yang dibuat dalam kondisi dilematis tersebut berpotensi menyeret para Pejabat Pemerintahan ke dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi. Para Pejabat tersebut berharap bahwa Keputusan yang mereka ambil dapat mengatasi masalah dengan cepat namun kenyataannya justru tidak membuat aman mereka. Keputusan-Keputusan seperti itu dikenal dengan istilah diskresi.

Dimensi diskresi sangat luas, bisa dihadapi oleh Pejabat Pemerintahan di level tertinggi hingga Pejabat Pemerintahan level terendah. Di sisi lain Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur, memberi batasan dan ‘melindungi’ Pejabat Pemerintahan untuk menggunakan diskresi secara aman belum diatur. Hingga saat ini baru ada Rancangan Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, di mana di dalamnya mengatur tentang diskresi. Selebihnya, diskresi baru sebatas diskusi akademis para pakar administrasi negara di kampus-kampus.

Menurut Kuntjoro Purbopranoto (1981) "Freies Ermessen" (Jerman), "pouvoir discretionnaire" (Perancis), "discretionary power" (Inggris) atau diskresi adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkrit (kasuistis). Dalam pandangan Kuntjoro, freies ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa Pemerintah dalam segala tindak tanduknya itu harus berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan dalam menghadapi tugasnya itu dengan gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya, serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat-akibat tindakan pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.

Sedangkan Nata Saputra (1988) mendefinisikan Freies Ermessen atau diskresi sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan Peraturan per-UU-an. Dengan kata lain Freies Ermessen atau diskresi adalah kebebasan bertindak dari Pejabat Negara tanpa harus terikat kepada Undang-Undang, namun kebebasan ini tetap harus berdasarkan hukum.

S.F. Marbun dan Ridwan (2005) berpendapat, diskresi merupakan kewenangan bebas (vrije bevoegheid) yang melekat pada Pemerintah atau administrasi negara yang muncul secara insidental, terutama ketika Peraturan Perundang-Undangan belum ada/belum mengatur atau rumusan Peraturan tertentu bersifat multitafsir atau bersifat samar, dan diskresi tidak dapat diprediksi sebelumnya. Pengertian yang terakhir lebih dekat dengan pengertian diskresi sebagaimana tertuang dalam RUU Administrasi Pemerintahan.

Sesuai RUU Administrasi Pemerintahan  (draft tanggal 17 Oktober 2013), pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dalam hal:
  1. Peraturan per-UU-an memberikan pilihan; 
  2. Peraturan per-UU-an tidak mengatur; 
  3. Peraturan per-UU-an tidak lengkap; 
  4. Peraturan  per-UU-an  tidak jelas; dan 
  5. Adanya stagnasi pemerintahan.
Jika menilik pengertian diskresi tersebut, maka ruang lingkup penggunaan diskresi dibatasi pada 5 (lima) hal saja.  

Lebih lanjut menurut RUU Administrasi Pemerintahan, penggunaan diskresi wajib memperhatikan tujuan diskresi, ketentuan Peraturan per-UU-an, Azas Umum Pemerintahan yang Baik, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik.

Jadi Yang Pertama, ketika akan memutuskan untuk mengambil tindakan diskresi, Pejabat Pemerintah harus menentukan terlebih dahulu satu atau lebih tujuan dari penggunaan diskresi. 

Menurut RUU Administrasi Pemerintahan, tujuan dari penggunaan diskresi adalah untuk kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi Pemerintahan dalam keadaan tertentu dalam rangka kemanfaatan dan kepentingan umum.
Yang Kedua, ketika akan mengambil Keputusan diskresi tentang suatu hal, Pejabat Pemerintahan harus mencari tahu apakah suatu hal yang akan diambil diskresinya tersebut telah diatur secara jelas atau tidak. Jika Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur secara jelas, maka Keputusan yang bertentangan dengan Peraturan yang telah jelas diatur tersebut bukan dikategorikan sebagai diskresi. 

Diskresi bisa diambil ketika:
  • Peraturan memberikan pilihan;
  • Peraturan tidak mengatur atau Belum ada ketentuan yang mengatur;
  • Ketentuan yang mengatur suatu hal tidak lengkap, tidak jelas, atau multitafsir; serta
  • Adanya stagnasi Pemerintahan.
Ketiga, ada 7 Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang harus dipertimbangkan dalam Keputusan yang diambil oleh Pejabat Pemerintahan. Pejabat pemerintahan harus memasukkan dalam Keputusannya tersebut salah satu atau lebih Azas Umum Pemerintahan yang Baik. Bersama-sama dengan azas legalitas dan azas perlindungan terhadap HAM, AUPB harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap Keputusan yang diambil oleh Penyelenggara Administrasi Pemerintahan.
Ketujuh azas AUPB tersebut adalah:
  • azas kepastian hukum,
  • azas kemanfaatan,
  • azas ketidak-berpihakan,
  • azas kecermatan,
  • azas tidak menyalahgunakan kewenangan,
  • azas keterbukaan, dan
  • azas kepentingan umum.

Yang Terakhir, Keputusan tersebut harus dilandaskan pada kondisi permasalahan secara obyektif, itikad baik, dan menghindari konflik kepentingan (conflict of interest).

Nah, pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yang bermula dari tindakan diskresi seringkali dijumpai adanya itikad tidak baik dan benturan kepentingan (yang menguntungkan dirinya maupun kelompoknya).

Bagaimana prosedur untuk melakukan tindakan diskresi?
Sesuai RUU Administrasi Pemerintahan, Pejabat yang akan melakukan tindakan diskresi harus melaporkan kepada atasannya sebelum tindakan diskresi dilakukan apabila penggunaan diskresi berpotensi mengubah alokasi anggaran atau menimbulkan realokasi anggaran. Persetujuan oleh atasan Pejabat dapat diambil apabila penggunaan diskresi didasarkan pada pengambilan Keputusan berdasarkan Peraturan Per-UU-an yang memberikan suatu pilihan Keputusan, karena Peraturan Per-UU-an tidak ada, karena Peraturan Per-UU-an tidak jelas, dan menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.

Pelaporan tindakan diskresi oleh Pejabat boleh dilakukan setelah tindakan diskresi diambil apabila penggunaan diskresi berpotensi menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan atau terjadinya bencana alam. Persetujuan tersebut dilakukan apabila penggunaan diskresi didasarkan karena adanya stagnasi Pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Pejabat yang menggunakan diskresi wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan dan menyampaikan permohonan persetujuan kepada atasan Pejabat secara lisan atau tertulis paling lambat 2 hari kerja sebelum/setelah keputusan diskresi dan/atau tindakan aktual dilakukan. Dalam waktu 2 hari kerja setelah berkas permohonan diterima, atasan Pejabat menetapkan persetujuan atau petunjuk perbaikan atau penolakan secara tertulis.

Berkaitan dengan pelaporan diskresi, PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menggunakan istilah intervensi atau pengabaian atas pengendalian intern. Dalam Pasal 5 huruf d dan Penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut, Pimpinan Instansi Pemerintah  menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya  intervensi atau pengabaian atas pengendalian intern.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
  1. Terdapat pedoman yang mengatur situasi, frekuensi, dan tingkat Pimpinan yang diperkenankan melakukan intervensi dan pengabaian;
  2. Intervensi atau pengabaian terhadap pengendalian intern didokumentasikan  secara lengkap termasuk alasan dan tindakan khusus yang diambil; dan
  3. Pengabaian pengendalian intern tidak oleh dilakukan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah tingkat bawah kecuali dalam keadaan darurat dan segera dilaporkan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi, serta didokumentasikan.
Penggunaan diskresi dikategorikan sebagai melampaui wewenang apabila bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh Peraturan Per-UU-an, bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan oleh Peraturan Per-UU-an, menggunakan prosedur yang keliru dalam penggunaan diskresi. Akibat hukum atas tindakan melampaui wewenang tersebut adalah tindakan diskresi tersebut tidak sah. Penggunaan diksresi dikategorikan sebagai mencampur-adukkan wewenang apabila keliru menggunakan prosedur dalam proses penggunaan diskresi dan bertentangan dengan AUPB. Akibat hukum atas tindakan mencampur-adukkan wewenang tersebut adalah bahwa keputusan diskresi tersebut harus dibatalkan.

Penggunaan diksresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh Pejabat yang tidak berwenang dan akibat hukum dari tindakan sewenang-wenang tersebut adalah tidak sah. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dalam berbagai level sering menghadapi kondisi dilematis yang mengakibatkan mereka harus melakukan tindakan diskresi. Nah, jika kita mengacu pada RUU Administrasi Pemerintahan di atas, menurut Anda apakah beberapa tindakan para Pejabat Pengelola Keuangan Daerah berikut merupakan tindakan yang semestinya boleh dilakukan menurut Peraturan Per-UU-an, tindakan diskresi, tindakan melampaui kewenangan, tindakan mencampur-adukkan kewenangan, atau tindakan sewenang-wenang?
  • Penyetoran penerimaan pendapatan melampaui 24 jam karena kondisi geografis yang  sulit atau alasan lainnya (Simpulan: diskresi, peraturan memberikan pilihan). 
  • Pertanggungjawaban TU kegiatan melampaui waktu 1 bulan (Simpulan: diskresi, peraturan memberikan pilihan).
  • Melakukan pemungutan retribusi daerah yang dikecualikan dalam Perda tentang Pajak dan Retibusi Daerah dengan alasan optimalisasi PAD (Simpulan: bukan diskresi, peraturannya sudah jelas tapi dilanggar).
  • Pergeseran Obyek Belanja dalam satu Kegiatan dan antar Kegiatan dalam kondisi non darurat yang dilakukan melalui mekanisme SK Parsial. Pergeseran Belanja  tersebut dilakukan cukup dengan melakukan perubahan pada Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD (Simpulan: bukan diskresi, tidak sesuai dengan peraturan tentang pergeseran dan/atau perubahan APBD).
  • Pelaksanaan Kegiatan mendahului jadwal disebabkan alasan perubahan jadwal Kegiatan dan belum tersedia dananya karena dokumen SPD belum diterbitkan (Simpulan: diskresi tetapi harus dibuat ketentuan yang mengatur mengenai tatacara penerbitan SPD sehubungan dengan Kegiatan yang dilaksanan tidak sesuai jadwal).
  • Melakukan Penunjukan Langsung atas Pengadaan Barang dan Jasa dalam kondisi darurat (Simpulan: bukan diskresi karena peraturan membolehkan).
  • PPKD menerbitkan SP2D Uang Persediaan melampaui SK Bupati (Simpulan: diskresi yang melampaui kewenangan).
  • Penggunaan langsung Penerimaan Pendapatan untuk Pembayaran Belanja SKPD (Simpulan: bukan diskresi karena melanggar azas bruto, kecuali diterapkan oleh SKPD berstatus BLUD).
  • Pengabaian atas kelengkapan bukti pertanggungjawaban berupa tiket pesawat pulang tetapi ada bukti boarding pass nya (Simpulan: diskresi, namun harus dilengkapi dengan surat pernyataan kehilangan).
  • Melakukan pemblokiran dana untuk kegiatan fisik yang belum selesai 100% di akhir tahun anggaran dengan tujuan menyelamatkan sisa alokasi dana dari Pemerintah Pusat (Simpulan: bukan diskresi, karena ada aturan yang dilanggar seperti pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan palsu).
  • Melangsungkan proses Pengadaan Barang dan Jasa meskipun APBD belum ditetapkan (Simpulan: bukan diskresi, hal itu dimungkinkan oleh Peraturan sepanjang kontrak belum ditandatangani).
  • Melakukan pembayaran 100% meskipun masa pemeliharaan belum rampung sesuai kontrak, tetapi PPK meminta Jaminan Pemeliharaan (Simpulan: diskresi, karena Peraturan memberikan pilihan).
  • Bendahara pengeluaran memberikan panjar Kegiatan kepada PPTK suatu Kegiatan yang belum terbit SPD nya (Simpulan: bukan diskresi sepanjang ada Peraturan Kepala Daerah yang melarang atau diskresi yang sewenang-wenang, bukan kewenangan Bendahara Pengeluaran).
  • Pemungutan Retribusi Daerah yang belum ada Perdanya berdasarkan SK Kepala Daerah (Simpulan: bukan diskresi karena melanggar Peraturan Perundang-Undangan).
  • Penganggaran dan pembayaran uang makan kepada pegawai non PNS (Simpulan: bukan diskresi karena ada aturan yang dilanggar).
  • Penganggaran kegiatan DPAL dalam APBD tahun berikutnya yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Permendagri 13/2006 jo Permendagri 59/2007 (Simpulan: diskresi karena ketidakjelasan aturan antara Permendagri dengan Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012).
  • Kepala SKPD menetapkan besaran tarif transport perjalanan dinas dalam daerah dari ibukota Kecamatan ke Desa-Desa (Simpulan: bukan diskresi sepanjang Kepala Daerah mendelegasikan kewenangannya kepada kepala SKPD).
  • Melakukan penagihan Pajak dan Retribusi Daerah yang sudah kadaluarsa (Simpulan: bukan diskresi, karena melanggar Peraturan yang berlaku). 
  • Penyerahan aset daerah (hibah) kepada Pemerintah Pusat untuk pendirian Perguruan Tinggi Negeri (Simpulan: bukan diskresi karena dimungkinkan oleh Peraturan).

Solusi Terhadap Sisa Pekerjaan Yang Tidak Terselesaikan Pada Akhir Tahun


Dalam pekerjaan konstruksi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) seringkali kurang mempertimbangkan adanya risiko bahwa kontrak pekerjaan konstruksi yang dibuat mepet dengan akhir tahun tidak akan dapat diselesaikan tepat waktu. Pernah menemukan kontrak yang dimulai awal-awal bulan Oktober dan berakhir pada tanggal 31 Desember? Ketika pekerjaan konstruksi tersebut tidak dapat diselesaikan, mereka kebingungan apa yang seharusnya diperbuat.

Permendagri 13 Tahun 2013 beserta perubahannya hanya memberikan satu pintu solusi saja untuk hal semacam ini, yaitu dengan solusi DPAL. Sisa pekerjaan konstruksi yang bakal tidak selesai di akhir tahun, asal dengan alasan 'force majeur' dapat terus dilanjutkan pengerjaannya melewati akhir tahun anggaran berjalan. Sisa pembayaran pekerjaan konstruksi yang melewati akhir tahun berjalan tersebut baru akan dibayar pada APBD Perubahan tahun anggaran berikutnya.

Perpres 54 Tahun 2010 jo Perpres 70 Tahun 2012 juga telah memberikan kemungkinan bagi PPK untuk tetap meminta kontraktor meneruskan sisa pekerjaan tersebut dengan pertimbangan bahwa kontraktor mampu untuk melanjutkan pekerjaan paling lama 50 hari. Sesuai aturan Permendagri 13 Tahun 2013 beserta perubahannya hal itu bisa dilakukan, asalkan memenuhi kondisi force majeur

Bagaimana seandainya bukan force majeur? Tentu solusi DPAL tidak dapat dijalankan. Kalaupun ada PPK yang menggunakan alasan itu pasti dicari justifikasi untuk maksud itu.

Salah satu solusi yang tidak melanggar ketentuan adalah PPK memutus kontrak. Kita tentu tahu apa akibat pemutusan kontrak tersebut. Kontraktor tentu akan  masuk Black List, sedangkan di sisi Pemda jelas target output bahkan mungkin outcome awal dari pekerjaan konstruksi tersebut tidak akan tercapai, atau setidaknya dapat diselesaikan tetapi molor waktunya dengan tambahan biaya penyelesaian konstruksi yang membengkak karena harus melelang lagi dan belum lagi faktor kenaikan harga bahan-bahan dan upah di tahun anggaran berikutnya.

Berbeda dengan ketentuan yang berlaku pada APBN yang telah memberikan solusi untuk hal tersebut. Yang terbaru adalah dengan terbitnya PMK No. 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak Dapat Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran.

Peraturan tersebut menggantikan Peraturan Menteri Keuangan yang lama yaitu PMK No. 25/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan yang Dibebankan Pada DIPA Tahun Anggaran Berikutnya.

Menurut PMK 194/PMK.05/2014 tersebut, penyelesaian sisa pekerjaan yang tidak dapat terselesaikan dapat dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya asal memenuhi syarat berikut:
  • Berdasarkan penelitian PPK, kontraktor akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan konstruksi sampai selama-lamanya 50 hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan.
  • Kontraktor membuat Surat Pernyataan kesanggupan di atas kertas bermeterai.
  • Pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan menggunakan dana yang diperkirakan dapat dialokasikan dalam DIPA Tahun Anggaran berikutnya melalui revisi DIPA sesuai ketentuan Menteri Keuangan mengenai Tata Cara Revisi Anggaran. Sisa pekerjaan yang dibayar dengan melalui revisi DIPA Tahun Anggaran berikutnya merupakan sisa pekerjaan Tahun Anggaran berjalan yang akan dikerjakan setelah tanggal 31 Desember tahun berjalan. Jadi untuk volume pekerjaan yang belum dibayar setelah pembayaran termin terakhir sampai dengan 31 Desember tahun berjalan harus dibayarkan pada Tahun Anggaran berjalan berdasarkan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan sesuai fisik di lapangan.
  • Penyelesaian sisa pekerjaan yang dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya harus tetap merupakan pekerjaan dari kontrak berkenaan. Maksudnya dilarang menambah-nambah item pekerjaan lagi.
  • Terhadap kontrak pekerjaan konstruksi, PPK melakukan perubahan kontrak berkenaan yaitu mencantumkan sumber dana untuk membiayai penyelesaian sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya dari DIPA Tahun Anggaran berikutnya dan tidak boleh menambah jangka waktu/masa pelaksanaan pekerjaan. Perubahan kontrak tersebut dilaksanakan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
  • Kontraktor menyampaikan jaminan pelaksanaan pekerjaan sebesar 5% dari nilai sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya kepada PPK sebelum penanda-tanganan perubahan kontrak.
  • KPA memberitahukan kepada KPPN atas pekerjaan yang akan dilanjutkan pada Tahun Anggaran berikutnya dengan melampirkan salinan Surat Pernyataan Kesanggupan yang telah dilegalisasi oleh KPA.
  • Selanjutnya KPPN melakukan klaim pencairan jaminan/garansi bank sebesar sisa nilai pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya. Jika jaminan/garansi bank tersebut sudah kadaluarsa waktunya, maka kontraktor diwajibkan menyetorkan sejumlah uang ke kas negara sebesar nilai sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya.
  • Terhadap penyelesaian sisa pekerjaan tersebut, kontraktor tetap dikenakan denda keterlambatan sesuai Perpres 70 Tahun 2012.
  • Kontraktor wajib menyelesaikan pekerjaan sesuai Surat Pernyataan Kesanggupan yang dibuatnya. Jika sampai batas waktu yang telah disepakati pekerjaan tersebut belum selesai, maka KPA dapat menghentikan pelaksanaan pekerjaan dan mengenakan denda maksimum keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
  • Pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan yang dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya dilaksanakan sesuai dengan prestasi pekerjaan yang diselesaikan sampai batas akhir waktu penyelesaian sisa pekerjaan dan dikenakan pajak.
Frase “tidak terselesaikan”, memang dimaksudkan bahwa atas keterlambatan tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan kontraktor semata-mata, tetapi oleh hal-hal lainnya seperti perencanaan dan penganggaran oleh KPA yang mepet dan kurang memperhitungkan risiko keterlambatan seperti ini. Dalam kasus seperti ini sebenarnya bukan bermaksud menguntungkan kontraktor karena sebenarnya dia sudah babak belur dengan dicairkannya jaminan pelaksanan sebesar nilai sisa pekerjaan yang akan diselesaikan tahun berikutnya, belum termasuk risiko tidak selesai juga nantinya (hehe…salah sendiri mau menerima pekerjaan dengan waktu mepet seperti ini?!).

Maksud utama Peraturan Menteri Keuangan tersebut tentu saja menyelamatkan output pekerjaan dan efektivitas kegiatan sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Jika konstruksi tersebut tidak selesai apalagi mangkrak, nah siapa yang akan dirugikan?

Nah, mungkinkah Kepala Daerah membuat ketentuan seperti PMK No. 194/PMK.05/2014 tersebut sebagai solusi untuk pekerjaan konstruksi yang tidak terselesaikan pada akhir tahun?

Menurut saya, mungkin dan bisa dilakukan kalau kita merujuk pada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pada Bab VI Undang-Undang tersebut telah diatur mengenai diskresi. 

Diskresi adalah Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara lainnya untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Dalam kaitan di atas, untuk kondisi sebagaimana telah diulas sebelumnya, Pemendagri 13 beserta perubahannya tidak mengatur mengenai hal itu. Dalam hal ini terbuka bagi Kepala Daerah untuk menerbitkan Perbup untuk memberikan solusi dan kepastian hukum sebagaimana telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam pelaksanaa APBN.

Mengapa untuk pelaksanaan APBD tidak bisa dilakukan? Tentu saja hal itu bisa dilakukan karena dengan terbitnya UU No 30 Tahun 2014 tersebut telah memberikan dasar hukum yang pasti bagi Kepala Daerah untuk membuat diskresi semacam itu. Ada baiknya juga, Kementerian Dalam Negeri mengakomodasi permasalahan tersebut dan  memberikan solusi melalui perubahan Permendagri 13 Tahun 2013.

Bagaimana pendapat Anda?

Pengawasan Keuangan Desa


Kucuran Dana Desa yang mengalami peningkatan signifikan dari sebelumnya menjadikan pengelolaannya sempat jadi “rebutan” oleh dua Kementerian yaitu antara Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal  dan Transmigrasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini  menggambarkan betapa Dana Desa tersebut,  yang besarnya 10% dari APBN mendapat perhatian yang sangat besar dari Pemerintah. Sesuai UU no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, hierarki Desa termasuk dalam rezim Pemerintah Daerah sehingga koordinasinya kepada Kementerian Dalam Negeri sehingga berbagai pihak menganggap Dana Desa lebih tepatnya diurus oleh Kementerian Dalam Negeri.

Sesuai UU No. 6 Tahun 2014, Desa adalah Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.

Dengan terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diikuti dengan PP 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaannya, setiap Desa akan mendapatkan dana masing-masing kurang lebih senilai 1 milyar rupiah, masyarakat Desa tentunya  diharapkan akan merasakan peningkatan kesejahteraan dengan segala konsekwensinya. Kepala Desa dan perangkatmya ditantang untuk mampu menyelenggarakan pengelolaan keuangan Desa sesuai ketentuan yang berlaku.

Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Desa akan mengelola jumlah milyaran dalam setahun sehingga kekhawatiran akan rawannya penyimpangan Dana Desa tersebut bukan tidak beralasan, mengingat banyaknya pejabat baik pejabat pusat ataupun pejabat daerah yang korupsi di era otonomi daerah dan menjadi “pasien” KPK, akankah hal itu dialami oleh para Kepala Desa juga?

Seiring dengan peningkatan Alokasi Dana Desa tersebut, diperlukan pengawasan keuangan Dana Desa oleh pihak-pihak  yang berwenang.

Jadi?

Dalam UU Desa yang baru, pengawasan internal dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa yang beranggotakan sembilan orang dengan memperhatikan wilayah, penduduk, perempuan, dan kemampuan keuangan desa. Dan lembaga desa ini yang dapat disepadankan sebagai “DPR”nya Pemerintah Desa, melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa. Tugas ini harus dijalankan sungguh-sungguh oleh Badan Permusyawaratan Desa sebagai penjelmaan dari masyarakat Desa, terutama dalam hal penggunaan keuangan Desa sehingga dapat mengurangi penyimpangan dan kecurangan dalam pengelolaan keuangan Desa.

Pengawasan eksternal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten yang dalam pelaksanaanya dapat diserahkan kepada perangkat daerah. Pengawasan oleh Inspektorat Provinsi dan Kabupaten dilakukan melalui pengawasan berupa audit operasional atas pengelolaan keuangan desa. Transparansi penggunaan Dana Desa  harus benar-benar dijalankan. 

Dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, setiap orang berhak untuk meminta informasi terkait penggunaan anggaran, salah satunya penggunaan Dana Desa. Dengan demikian penggunaan Dana Desa tersebut bisa diawasi oleh masyarakat, agar benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan kesejahteraan masyarakat Desa.

Karena itu…, betapa Kepala Desa akan memikul tanggung jawab lebih besar untuk semua kewenangan dalam pengelolaan Dana Desa. Kepala Desa mengelola dana yang  begitu besar, maka penting bagi Kepala Desa termasuk perangkat Desa lainnya untuk membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan mengelola keuangan, membuat pembukuan yang baik, akuntabel, dan transparan. Tingkat pendidikan yang rendah, oleh sebagian besar Kepala Desa dewasa ini, menjadi tantangan tersendiri bagi para Kepala Desa, mengingat peraturan yang ada masih memberikan peluang  Kepala Desa untuk serendah-rendahnya berpendidikan Sekolah Menengah Pertama atau sederajat. Apalagi di daerah terpencil merupakan hal yang sulit untuk mencari seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi atau sarjana. Dengan minimnya tingkat pendidikan Kepala Desa/Perangkat Desa untuk mampu mengelola dana yang demikian besar tersebut menjadi sesuatu yang  penting agar penggunaan Dana Desa mendapat kawalan dari berbagai pihak, baik dari masyarakat maupun dari Pemerintah. Pengawalan tersebut dapat dalam bentuk pendampingan dari Pemerintah Daerah termasuk dalam penyusunan anggaran maupun dalam bentuk 'check and balance' atau saling kontrol  di antara pihak-pihak yang ada di Desa.
Bagaimana menurut Anda?