Translate

Minggu, 09 Mei 2010

Renungan Kecil Sebagai Anggota DPRD


PANGGUNG politik Pemilu Legislatif 2009-2014 di Sabu Raijua resmi telah selesai. Semua anggota terpilih sudah mengucapkan sumpah dan janji, bahkan telah pula dilakukan pengisian anggota DPRD Sabu Raijua.

Maknanya, sebagai para politisi pilihan rakyat, kita segera akan unjuk gigi mempertontonkan kebolehan. Perjuangan melelahkan yang telah menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan juga fulus, untuk menjadi anggota dewan yang terhormat, telah sampai pada titik kulminasi. Wajar bila ada ucapan syukur, karena terpilih dari sekian banyak Calon Anggota Legislatif yang mengikuti pertarungan memperebutkan kursi.

Namun perjuangan yang sesungguhnya, membela kepentingan rakyat, mengagregasi dan mengartikulasikan aspirasi rakyat yang diwakili, baru memasuki langkah pertama. Ke depan, sang waktu akan terus berlalu hari demi hari tak kenal kata kompromi. Sebagai anggota Dewan - seperti lirik lagu Mbah Surip - kita akan menggendong kemana-mana status sosial sebagai wakil rakyat; pagi, siang, tengah malam, bangun tidur sampai tidur lagi, kemana pun kita pergi, status itu akan terus melekat. Rakyat akan mulai melakukan penilaian, bagi siapa yang siap fisik dan mental untuk naik panggung, mereka akan memperoleh keterhormatan dari masyarakat, bagi yang tidak siap, kelak akan turun tanpa keterhormatan.

Panggung politik adalah sebuah kehidupan publik tanpa tabir. Kehidupan baru yang dimasuki anggota Dewan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, adalah sebuah kehidupan dimana transparansi menjadi sebuah keniscayaan. Gedung DPRD secara fisik boleh berdinding beton tebal, tapi dalam imajinasi publik, rumah rakyat itu ibarat rumah kaca tembus pandang.

Barangkali itu terlalu ekstrim. Tapi kita memang tak lagi bisa memutar mundur jarum jam. Masyarakat kita sudah terlanjur melek politik, masyarakat telah tumbuh menjadi sangat kritis, bahkan cenderung skeptis. Akibatnya, hampir semua fungsi pemerintahan yang mengandung elemen kekuasaan - sekecil apapun - selalu sangat terbuka terhadap kecurigaan.

Sikap curiga masyarakat tidak sepenuhnya salah. Sikap itu tumbuh justru akibat perilaku kita sebagai para elit politik dan birokrasi itu sendiri yang seringkali dirasakan kurang cerdas mengakomodasi aspirasi kebutuhan rakyat. Kesulitan rakyat sering tak teratasi secara konsepsional. Solusi, ada kalanya mengandung pula muatan kepentingan. Dalil Lord Acton agaknya benar, kekuasaan cenderung disalah gunakan. Kekuasaan cenderung korup.

Pada bagian lain, sebagai pengambil keputusan, kita adakalanya mencari jalan pintas mudah, meminta rakyat berdo'a saja untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Jelas itu tidak menyalahi. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, berdoa tidak perlu disuruh atau bahkan dimobilisasi. Dengan atau tanpa pemerintah pun rakyat selalu berdo'a siang malam. Tapi pertama-tama yang harus dilakukan sebelum menyalahkan alam dan kemudian angkat tangan, sebagai pemangku kekuasaan, kita terlebih dahulu harus menggunakan akal sehat dengan memanfaatkan instrumen ilmu pengetahuan dan menggerakkan seluruh potensi yang ada.

Hal inilah agaknya yang sampai hari ini belum kita lakukan sungguh-sungguh, sebab apa yang tahun-tahun lalu sudah merupakan masalah, tahun ini masih harus kita hadapi juga sebagai masalah. Kita lupa petuah orang-orang tua, dimana ada kemauan di situ ada jalan.
Tidak bisa dipungkiri, banyak orang berharap dengan terbentuknya DPRD Sabu Raijua akan membawa banyak perubahan mendasar. Harapan yang tinggi disangkutkan di pundak DPRD. Masyarakat akan mulai melihat, dan sekaranglah saatnya momentum bagi DPRD untuk memuaskan harapan masyarakat. Keterbukaan semakin terjamin dan hampir tak ada lagi celah bagi pemangku kekuasaan untuk menyalah gunakan kekuasaannya dengan adanya pengawasan dari DPRD. Itu dalam tataran konsep tata berpemerintahan yang logis.

Namun, rising expectation (meningkatnya nilai harapan) bisa jadi dilema. Tanggungjawab wakil rakyat mengharuskan kita memperjuangkan aspirasi rakyat dengan gigih. Benturan adu pendapat antara wakil rakyat di panggung politik yang selalu berlindung di bawah aspirasi rakyat dengan para pemangku kekuasaan yang selalu menggunakan pendekatan kesisteman dalam memberikan justifikasi terhadap kebijakannya, tak akan terhindarkan. Bukan hanya itu, adakalanya banyak pula "PENUMPANG" yang turut memperkeruh suasana, hanya untuk sekedar mencari kesempatan memancing di air keruh. Benturan sering menimbulkan stagnasi dan ini bisa memicu AGRESIVITAS.

Kompromi atau negosiasi sebagai jalan tengah bisa menyesatkan, tapi bernegosiasi untuk kepentingan rakyat juga bukan hal tabu. Di sinilah uji nyali terjadi. Ungkapan John F. Kennedy dalam pidato pengukuhannya sebagai Presiden AS ke-35, pada 1961, menarik untuk dicermati. "Ketulusan selalu perlu dibuktikan. Jangan pernah bernegosiasi karena kita merasa takut. Tapi janganlah pula kita merasa takut bernegosiasi." Ujar Kennedy. "Tidak banyak ruang tersedia bagi orang-orang pengecut."

"Keberanian adalah anugerah di bawah tekanan", kata sastrawan Ernest Hemingway. Dan tekanan bagi anggota dewan tak akan pernah surut, bahkan intensitasnya akan meningkat. Baik dari internal (sesama anggota dewan maupun parpol induk nya), maupun dari luar (pemerintah atau masyarakat itu sendiri yang ditunggangi kepentingan politik tertentu). Namun betapa dilematis pun posisinya, wakil rakyat memang harus berani berpihak pada rakyat, entah siapa pun lawannya...
SEMOGA TUHAN MENOLONG KAMI !!!

https://www.facebook.com/notes/vecky-adoe/renungan-kecil-anggota-dprd/410330278981018