Dalam pekerjaan konstruksi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) seringkali kurang mempertimbangkan adanya risiko bahwa kontrak pekerjaan konstruksi yang dibuat mepet dengan akhir tahun tidak akan dapat diselesaikan tepat waktu. Pernah menemukan kontrak yang dimulai awal-awal bulan Oktober dan berakhir pada tanggal 31 Desember? Ketika pekerjaan konstruksi tersebut tidak dapat diselesaikan, mereka kebingungan apa yang seharusnya diperbuat.
Permendagri 13 Tahun 2013 beserta
perubahannya hanya memberikan satu pintu solusi saja untuk hal semacam
ini, yaitu dengan solusi DPAL. Sisa pekerjaan konstruksi yang bakal
tidak selesai di akhir tahun, asal dengan alasan 'force majeur' dapat
terus dilanjutkan pengerjaannya melewati akhir tahun anggaran berjalan.
Sisa pembayaran pekerjaan konstruksi yang melewati akhir tahun berjalan
tersebut baru akan dibayar pada APBD Perubahan tahun anggaran
berikutnya.
Perpres 54 Tahun 2010 jo Perpres 70 Tahun 2012 juga telah
memberikan kemungkinan bagi PPK untuk tetap meminta kontraktor
meneruskan sisa pekerjaan tersebut dengan pertimbangan bahwa kontraktor
mampu untuk melanjutkan pekerjaan paling lama 50 hari. Sesuai aturan
Permendagri 13 Tahun 2013 beserta perubahannya hal itu bisa dilakukan,
asalkan memenuhi kondisi force majeur.
Bagaimana seandainya bukan force
majeur? Tentu solusi DPAL tidak dapat dijalankan. Kalaupun ada PPK yang
menggunakan alasan itu pasti dicari justifikasi untuk maksud itu.
Salah satu solusi yang tidak melanggar
ketentuan adalah PPK memutus kontrak. Kita tentu tahu apa akibat
pemutusan kontrak tersebut. Kontraktor tentu akan masuk Black List,
sedangkan di sisi Pemda jelas target output bahkan mungkin outcome awal
dari pekerjaan konstruksi tersebut tidak akan tercapai, atau setidaknya
dapat diselesaikan tetapi molor waktunya dengan tambahan biaya
penyelesaian konstruksi yang membengkak karena harus melelang lagi dan
belum lagi faktor kenaikan harga bahan-bahan dan upah di tahun anggaran
berikutnya.
Berbeda dengan ketentuan yang berlaku
pada APBN yang telah memberikan solusi untuk hal tersebut. Yang terbaru
adalah dengan terbitnya PMK No. 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan
Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak Dapat
Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran.
Peraturan tersebut
menggantikan Peraturan Menteri Keuangan yang lama yaitu PMK No.
25/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran
Berkenaan yang Dibebankan Pada DIPA Tahun Anggaran Berikutnya.
Menurut PMK 194/PMK.05/2014 tersebut,
penyelesaian sisa pekerjaan yang tidak dapat terselesaikan dapat
dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya asal memenuhi syarat berikut:
- Berdasarkan penelitian PPK, kontraktor akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan konstruksi sampai selama-lamanya 50 hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan.
- Kontraktor membuat Surat Pernyataan kesanggupan di atas kertas bermeterai.
- Pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan menggunakan dana yang diperkirakan dapat dialokasikan dalam DIPA Tahun Anggaran berikutnya melalui revisi DIPA sesuai ketentuan Menteri Keuangan mengenai Tata Cara Revisi Anggaran. Sisa pekerjaan yang dibayar dengan melalui revisi DIPA Tahun Anggaran berikutnya merupakan sisa pekerjaan Tahun Anggaran berjalan yang akan dikerjakan setelah tanggal 31 Desember tahun berjalan. Jadi untuk volume pekerjaan yang belum dibayar setelah pembayaran termin terakhir sampai dengan 31 Desember tahun berjalan harus dibayarkan pada Tahun Anggaran berjalan berdasarkan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan sesuai fisik di lapangan.
- Penyelesaian sisa pekerjaan yang dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya harus tetap merupakan pekerjaan dari kontrak berkenaan. Maksudnya dilarang menambah-nambah item pekerjaan lagi.
- Terhadap kontrak pekerjaan konstruksi, PPK melakukan perubahan kontrak berkenaan yaitu mencantumkan sumber dana untuk membiayai penyelesaian sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya dari DIPA Tahun Anggaran berikutnya dan tidak boleh menambah jangka waktu/masa pelaksanaan pekerjaan. Perubahan kontrak tersebut dilaksanakan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
- Kontraktor menyampaikan jaminan pelaksanaan pekerjaan sebesar 5% dari nilai sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya kepada PPK sebelum penanda-tanganan perubahan kontrak.
- KPA memberitahukan kepada KPPN atas pekerjaan yang akan dilanjutkan pada Tahun Anggaran berikutnya dengan melampirkan salinan Surat Pernyataan Kesanggupan yang telah dilegalisasi oleh KPA.
- Selanjutnya KPPN melakukan klaim pencairan jaminan/garansi bank sebesar sisa nilai pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya. Jika jaminan/garansi bank tersebut sudah kadaluarsa waktunya, maka kontraktor diwajibkan menyetorkan sejumlah uang ke kas negara sebesar nilai sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya.
- Terhadap penyelesaian sisa pekerjaan tersebut, kontraktor tetap dikenakan denda keterlambatan sesuai Perpres 70 Tahun 2012.
- Kontraktor wajib menyelesaikan pekerjaan sesuai Surat Pernyataan Kesanggupan yang dibuatnya. Jika sampai batas waktu yang telah disepakati pekerjaan tersebut belum selesai, maka KPA dapat menghentikan pelaksanaan pekerjaan dan mengenakan denda maksimum keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
- Pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan yang dilanjutkan ke Tahun Anggaran berikutnya dilaksanakan sesuai dengan prestasi pekerjaan yang diselesaikan sampai batas akhir waktu penyelesaian sisa pekerjaan dan dikenakan pajak.
Frase “tidak terselesaikan”,
memang dimaksudkan bahwa atas keterlambatan tersebut bukan
disebabkan oleh kesalahan kontraktor semata-mata, tetapi oleh hal-hal
lainnya seperti perencanaan dan penganggaran oleh KPA yang mepet dan
kurang memperhitungkan risiko keterlambatan seperti ini. Dalam kasus
seperti ini sebenarnya bukan bermaksud menguntungkan kontraktor karena
sebenarnya dia sudah babak belur dengan dicairkannya jaminan pelaksanan
sebesar nilai sisa pekerjaan yang akan diselesaikan tahun berikutnya,
belum termasuk risiko tidak selesai juga nantinya (hehe…salah sendiri
mau menerima pekerjaan dengan waktu mepet seperti ini?!).
Maksud utama
Peraturan Menteri Keuangan tersebut tentu saja menyelamatkan output pekerjaan dan efektivitas
kegiatan sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Jika konstruksi tersebut
tidak selesai apalagi mangkrak, nah siapa yang akan dirugikan?
Nah, mungkinkah Kepala Daerah membuat
ketentuan seperti PMK No. 194/PMK.05/2014 tersebut sebagai solusi untuk
pekerjaan konstruksi yang tidak terselesaikan pada akhir tahun?
Menurut
saya, mungkin dan bisa dilakukan kalau kita merujuk pada UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pada Bab VI Undang-Undang
tersebut telah diatur mengenai diskresi.
Diskresi adalah Keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara lainnya untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,
tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Dalam kaitan di atas, untuk kondisi
sebagaimana telah diulas sebelumnya, Pemendagri 13 beserta perubahannya
tidak mengatur mengenai hal itu. Dalam hal ini terbuka bagi Kepala
Daerah untuk menerbitkan Perbup untuk memberikan solusi dan kepastian
hukum sebagaimana telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam
pelaksanaa APBN.
Mengapa untuk pelaksanaan APBD tidak bisa dilakukan?
Tentu saja hal itu bisa dilakukan karena dengan terbitnya UU No 30 Tahun
2014 tersebut telah memberikan dasar hukum yang pasti bagi Kepala
Daerah untuk membuat diskresi semacam itu. Ada baiknya juga, Kementerian
Dalam Negeri mengakomodasi permasalahan tersebut dan memberikan solusi
melalui perubahan Permendagri 13 Tahun 2013.
Bagaimana pendapat Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar