Menurut catatan sejarah orang Sabu, orang pertama yang datang ke
Pulau Sabu adalah Kika Ga, yang menginjak kaki pertama di pantai selatan
Pulau Sabu - Wadu Mea. Ia kemudian tinggal/mendiami Kolo Merabu
(sekarang masuk Desa Dainao, yang mekar dari desa Raerobo, Kecamatan
Sabu Liae).
Pada generasi tertentu, keluarga besar Kika Ga pindah
dan tinggal di Kolo Teriwu, sebuah pegunungan atau bukit tertinggi di
pulau Sabu (sekarang terletak di desa Teriwu, Kecamatan Sabu Barat).
Pada
saat itu hanya satu pimpinan Pemerintahan Adat (Dewan Mone Ama) untuk
seluruh wilayah Pulau Sabu, dan belum ada pembagian wilayah kekuasaan.
Pembagian
wilayah Sabu sendiri terjadi pada jaman Wai Waka, yaitu menjadi:
wilayah Hab’ba (Seba), Mehara, Liae, Menia, Dimu, dan Raijua.
Selanjutnya di kemudian hari wilayah Menia dianeksasi (penggabungan) ke
wilayah Seba.
Nama Namata sendiri berasal dari kata dasar Mata
(yang dalam bahasa Sabu berarti “tunggu”). Di tempat ini dulunya menjadi
tempat kubangan gerombolan babi hutan.
Perkampungan Adat ini
dibangun oleh Robo Aba (salah satu moyang leluhur orang Sabu). Pada
jamannya, Robo Aba adalah seorang pemimpin dalam masyarakat Sabu di
wilayah adat Hab’ba (Seba).
Robo Aba, sebagai salah satu pemimpin masyarakat pada masa itu memiliki banyak anak buah/pembantu yang bekerja sebagai pemburu.
Setiap
kali berburu, maka tempat kubangan itu menjadi sasaran untuk mendapat
babi yang sedang mandi dan berkubang dalam air yang berlumpur. Sejak
saat itu, tempat ini disebut Era Pemata Wawi Oddu (tempat menunggu babi
hutan).
Kemudian Robo Aba mengajak keluarganya untuk pindah
(Exodus) dari Perkampungan Adat Hanga Robo Aba (sekarang desa Roboaba
yang mekar dari desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat), ke daerah yang
baru, yakni di lokasi Namata - tempat kubangan babi hutan tersebut agar
lebih dekat dengan lokasi perburuan.
Robo Aba mulai membangun rumah bersama keluarganya dan perkampungan baru itu diberi nama Namata.
Di
Perkampungan Namata, terdapat tempat ritual adat yang sakral (sampai
saat ini masih sangat disakralkan) dengan sejumlah batu-batu megalite
yang terdapat di tengah perkampungan ini.
Kampung Adat Namata ini
sekarang menjadi salah satu tempat tujuan wisata penting di Pulau Sabu,
dan sering menjadi tujuan kunjungan para wisatawan asing manca negara
yang datang ke Sabu. Perkampungan Adat Namata saat ini lebih dikenal
sebagai situs Perkampungan Megalitik Namata. Dalam lingkungan Kampung
Adat ini, sistim pemerintahan adat masih dipegang kuat, dan dijalankan
oleh para Mone Ama, yang masih sangat fanatik sebagai penganut
kepercayaan (agama suku), yang dalam bahasa Sabu disebut ‘Jingitiu’.
Robo
Aba mempunyai 4 (empat) orang anak laki-laki yang kemudian
masing-masing membentuk 4 Klan/Sub Suku (dalam bahasa Sabu disebut Udu)
besar di Seba – Sabu Barat.
Ke-4 anak Robo Aba tersebut adalah:
- Dami Robo, yang menurunkan Udu Nataga;
- Tunu Robo, menurunkan Udu Namata;
- Pili Robo, menurunkan Udu Nahoro;
- Hupu Robo, menurunkan Udu Nahupu.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kedudukan ke-4 Udu turunan dari Robo Aba
tersebut dalam tatanan Pemerintahan Adat Sabu menjadi sangat penting,
khususnya dalam masyarakat Sabu di Seba – Sabu Barat.
Dalam
Struktur Pemerintahan Adat di Sabu, selain juga mengenal Deo Ama (Tuhan
Yang Maha Kuasa), sebagai Pemimpin Tertinggi yang menguasai bumi jagat
raya alam semesta, untuk menjalankan roda Pemerintahan Adat di dunia
juga di kenal Dewan Mone Ama.
Di Seba sendiri, dikenal ada 4 tokoh
penting dalam Dewan Mone Ama tersebut, yakni:
- Pulodo - berasal dari Klan/Udu Nataga, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Pertanian dan Kemakmuran’ - khususnya tanaman padi.
- Deo Rai - dari Klan/ Udu Namata, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Tanaman Pangan’, khususnya tanaman sorgum, kacang hijau dan tanaman pohon tuak (Lontar) yang menghasilkan nira manis atau tuak manis. Air nira/tuak yang akan disimpan lama harus dimasak menjadi gula merah yang kental (yang bisa disimpan sebagai cadangan makanan selama bertahun-tahun).
- Do Heleo - dari Klan/ Udu Nahoro, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Pengawasan’ yang bertugas mengawasi kegiatan Pembangunan, Kemasyarakatan dan Lingkungan hidup.
- Rue - dari Klan/ Udu Nahupu, yang dalam ‘kabinet’ Mone Ama, berperan sebagai ‘Menteri Kesehatan’ termasuk menolak bala.