Sebelumnya, saya pribadi memohon ijin kepada Sdr saya L. Michael
Riwu-Kaho alias Big Mike, karena tulisan dibawah ini adalah saduran dari
blog beliau. Sengaja saya menyadurnya kembali dengan tidak ada maksud
tertentu, tetapi hanya didasari oleh rasa kecintaan saya terhadap Rai
Hawu (Tanah Sabu).
"Orang Sabu pada umumnya menamakan
dirinya `Do Hawu'. Pulau Sabu mereka sebut `Rai Hawu'. Do/dou artinya
orang atau manusia, dan rai artinya tanah atau negeri. Segala apa yang
dipandang sebagai `yang asli' atau berasal dari Sabu selalu dikenakan
kata sandang `Hawu'. Sedang yang berasal dari luar atau bukan asli Sabu
dikenakan kata sandang `jawa`, misalnya terae `jawa (jagung), ki'i `jawa
(domba), hi'ji/hi'gi `jawa (kain batik), dan ammu `jawa (rumah
berbentuk bukan asli Sabu).
Kata sandang hawu sudah dipergunakan sejak
generasi ke-8 orang Sabu yang bernama Hawu Miha (Hawu bin Miha). Ketika
bangsa Portugis dan Belanda tiba di Sabu, kata Hawu mengalami perubahan
dalam pelafalannya menjadi `Savu'; penduduknya disebut Sabos atau
Savoenese. Padahal dalam Li Hawu (bahasa Sabu) tidak dikenal kata
berhuruf s, f, dan v. Dari informasi turun-temurun disebutkan pada zaman
generasi ke-7 ada seorang leluhur orang Sabu bernama Miha Ngara. Beliau
mempunyai 5 orang anak yaitu Hawu Miha (cikal-bakal orang Sabu), Huba
Miha (orang Sumba), Tie Miha (orang Tie Rote), Ede Miha (orang Ende),
dan Jawa Miha (orang Jawa).
Gb. Pemandangan Alam di Raijua
Orang Sabu mengetahui kira-kira pada
abad pertama Masehi, `Jawa Miha meninggalkan Sabu untuk menetap di Jawa.
Di kemudian hari kontak antar keturunan dan keluarga tidak lagi
terpelihara. Pengetahuan tentang adanya relasi ini diperoleh melalui
syair-syair dan cerita para tetua dan pemangku adat di Sabu. `Migrasi'
dari Asia Tenggara diakui telah berlangsung sekitar 500 tahun SM, dan
kira-kira 200 tahun SM terjadi lagi migrasi dari India Selatan. Migrasi
ini juga sampai ke Sabu. Pada gelombang ketiga disebutkan, ketika kaum
pendatang yang jumlahnya lebih sedikit (di Pulau Jawa) mulai diperangi
oleh penduduk asli, sehingga posisinya terdesak. Untuk itu mereka
meminta bantuan kepada kerabatnya yang telah menetap di `timur' untuk
membantu mereka. Kala itu yang berkuasa di Sabu adalah Miha Ngara, dan
mengutus kedua anaknya Hawu Miha dan Jawa Miha untuk membantu kerabatnya
kaum pendatang di Jawa. Keduanya mendarat di pantai selatan Jawa Barat
di suatu tempat berbukit karang, lalu diberi nama `Karang Hawu',
letaknya kira-kira 1 km dari sebelah barat pantai Pelabuhan Ratu.
Gb. Pantai Karang Hawu
Gb. Peta Kabupaten Sabu Raijua, NTT
Setelah
peperangan berhasil dimenangkan, kedua kakak-beradik itu berpamitan
untuk kembali ke Sabu. Kerabat di Jawa meminta agar salah seorang dari
mereka untuk tinggal menetap di Jawa. Permintaan itu ditampung namun
harus dilaporkan dan diputuskan oleh ayahnya di Sabu. Akhirnya
diputuskan bila Jawa Miha yang berangkat ke Jawa sedangkan Hawu Miha
tetap tinggal di Sabu. Ketika keberangkatan, didirikan sebuah batu
peringatan yang diberi nama `Wowadu `Jawa Miha' di Namata. Pada waktu
`Jawa Miha berangkat ke Jawa ia diberi bibit beberapa jenis tanaman
untuk ditanam di sana yaitu cengkeh, wilahege, jahe, pala, pohon pandan;
dengan pesan bahwa sejak saat itu jenis tanaman tersebut tidak boleh
ditanam oleh Hawu Miha dan keturunannya di Sabu. Setelah menetap di
Jawa, Jawa Miha berganti nama menjadi `Aji Saka'. Dalam perkembangan
selanjutnya mereka memperluas wilayahnya mulai dari Jawa Barat sampai ke
Jawa Timur.
Pada zaman kerajaan Majapahit, Kepulauan Sabu berada
dalam pengaruh Majapahit, dan hubungan lama antara orang Jawa dan orang
Sabu kembali mendapat angin segar. Pulau Raijua dan Solor pernah menjadi
pangkalan armada kerajaan Majapahit; perahu dan armada Majapahit sering
menyambangi tempat ini. Terdapat banyak hikayat yang menghubungkan
faktor sejarah ini, seperti di antaranya salah seorang permaisuri raja
Majapahit bernama `Benni Kedo' berasal dari Raijua, bahkan memiliki
rumah di Pulau Dana. Pulau Raijua disebut `negeri Maja' dan pemimpin
masyarakat Raijua disebut `Niki Maja', dst.
Penulis buku
menyebutkan keyakinan bila Gajah Mada berasal dari Raijua dengan
beberapa alasan. Misalnya nama Gajah Mada bukanlah nama yang lazim
disandang orang Jawa, karena orang Jawa akan mengucapkan nama itu Gajah
Mendo. Hanya di Sabu dan Raijua saja orang menyandang nama-nama seperti
Gaja, Mada, Me'do, Mo'jo, Jaka, Raja, Ratu, Laki, dst. Juga di Nusa
Tenggara tidak mengenal nama-nama seperti itu. Warna `merah-putih' yang
diagungkan Gajah Mada dan Majapahit adalah warna `gula-kelapa' dan `air
ketuban' yang menjadi lambang orang Sabu sejak zaman dahulu kala.
Penulis juga mengungkapkan hubungan orang Sabu dengan orang Belu, Thie
Rote, Sumba, dan Ambon. Saya pernah ungkapkan asal-usul orang NTT ini
yang datang dari 3 penjuru pada threat Panen Lontar. "