Cerita kronologis tentang
terjadinya/terbentuknya pulau Sabu/Rai Hawu ini, sudah dari leluhur
turun temurun sesuai pandangan warga masyarakat adatnya memandang dunia
dan lingkungannya.
Bila diceritakan tentang kejadian
pulau/tanahnya, akan pula tertutur silsilah leluhur/marganya; karena
terbentuknya pulau Sabu terjadi disaat seorang leluhur bernama
“Kika Ga” atau
“Kika Liru” (silsilah Do Hawu ke-32). Pulau ini telah diberi nama
“HAWU”
yang arti Ha: terdampar/datang; dan Wu: tanah onggokan pasir
kali/sungai. Jadi singkatnya: “Tanah yang dionggok/ditimbun secara
raksasa” menjadi sebuah pulau, yang diberi nama HAWU. Itulah pulau Hawu
yang ada sekarang ini.
Memang pada saat leluhur
“Balla Bako” (silsilah Do Hawu ke-9), sudah terjadi pemisahan
Dahi (laut),
Rai (daratan),
Liru (langit) tetapi dikatakan pulau Sabu belum ada kecuali
”Hu Penyoro Mea”
yang sudah ada di wilayah Liae kecamatan Liae di saat sekarang ini.
Demikian pula diikuti pemisahan-pemisahan berupa benda-benda, hewan,
benda gas/angin, benda-benda langit di saat leluhur
Dara Dai (silsilah Do Hawu ke-11), menurut nama anak cucunya (silsilah Do Hawu ke-12 sampai dengan ke-13). Karenanya
Hu (tanjung)
Penyoro Mea
itu pada saat air pasang hanya merupakan pulau batu yang tersembul dari
permukaan laut agak terpisah dari pulau Sabu. Disitulah
Kika Ga berada pada waktu manusia langit bernama
“Ludji dan
Pidu” turun mengail di tempat itu
(Penyoro Mea-Merabbu)
di Liae, dan terjadilah pertemuan diantara ketiga orang itu. Mereka
makan dan mengail ikan bersama-sama, bahkan sebelah ikan harus
ditinggalkan oleh
Ludji dan
Pidu untuk teman mereka
Kika Ga di
Penyoro Mea.
Kemudian keduanya
(Ludji dan Pidu)
pulang ke langit (angkasa) dengan membawa sebelah ikan saja, kalau
hasil mengail mereka seekor saja. Hal ini dikarenakan mereka harus
menyerahkan sebelah ikan mereka kepada teman mereka
Kika Ga. Pemberian sebelah ikan ini berlangsung selamanya terhadap hasil tangkapan kedua bersaudara tersebut dengan
Kika Ga.
Keadaan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan kepada orang tua mereka
di angkasa (langit), mengapa harus selalu sebelah ikan yang ada. Lalu
kedua bersaudara
Ludji dan
Pidu dipanggil oleh orang tua mereka. Tentang ikan sebelah yang terus menerus itu ditanyakan.
Pada
akhirnya, Ludji dan Pidu menjelaskannya bahwa mereka mendapat seorang
teman bernama Kika Ga di Penyoro Mea-Merabbu Liae, dan setiap kali
mereka pergi mengail, mereka beri sebelah ikan dari hasil tangkapan
mereka kepada teman mereka itu. Orang tua mereka juga senang terhadap
perlakuan anak-anaknya, malah bila dimungkinkan, agar diajak juga dia
(Kika Ga)
ke angkasa (langit) untuk dijadikan teman atau saudara sendiri. Ludji
dan Pidu sangat bersukacita mendengar keinginan orang tua mereka.
Pada
suatu hari lagi Ludji dan Pidu turun mengail dan pada saat itu mengajak
dengan bersungguh-sungguh kepada Kika Ga supaya sudi bersama mereka ke
angkasa/langit. Dan akhirnya Kika Ga juga bersedia pergi bersama mereka
ke angkasa. Ludji dan Pidu, betapa berbahagia dan bersukaria mendengar
jawaban temannya itu. Tidak lama kemudian merekapun pergi ke langit, dan
setibanya disana kedua orang tua Ludji dan Pidu sangat senang menyambut
ketiga teman yang sangat akrab itu, layaknya sebagai saudara kandung
saja.
Di angkasa/langit, Kika Ga diperlakukan dengan baik oleh
Ludji dan Pidu serta semua keluarga mereka. Pada akhirnya Kika Ga
dilantik dan diangkat menjadi anak dalam keluarga mereka. Pesta
pelantikanpun terjadi dengan meriah. Seluruh isi perut hewan sembelihan,
diperuntukan bagi seluruh orang miskin, melarat sebagai peringatan bagi
pelantikan itu. Nama Kika Ga, setelah pelantikan menjadi
”Kika Liru”
di keluarga Liru/angkasa/langit, ia kemudian memiliki kesaktian dan
kegaiban yang luar biasa. Kika Liru diberi tanah usaha dan segala macam
kekayaan di perairan langit/angkasa, tetapi segala usahanya sia-sia
bahkan gagal total. Pada akhirnya ia memohon kepada kedua orang tuanya
di langit supaya ia kembali berusaha di
Hu Penyoro Mea
lagi, karena pasti ia berhasil disana. Keluarga Liru juga memahami
tujuan baik dari Kika Liru ini, dan pada akhirnya Kika Liru dikembalikan
dan di antar ke Penyoro Mea oleh saudaranya Ludji dan Pidu, dengan
penuh kesaktian dan kegaiban dan Kika Liru sudah berada kembali di
tempat asalnya.
Kika Liru memulai rencananya, ialah agar Penyoro
Mea diperlebar dan diperbesar, tetapi harus dengan mengambil tanah dari
bawah kolong rumah Pejabat Adat
Jawawawa/Raijua yang sakti dan gaib itu. Pejabat Adat Jawawawa/Raijua yang sakti dan gaib saat itu ialah
Mone Weo dan isterinya bernama
Banni Baku.
Karena kesaktian dan kegaiban yang dimiliki Mone Weo sehingga
dipastikan bahwa tanah dibawah kolong rumah adat mereka adalah tanah
yang sakral pula. Kika Liru setiap malam pergi ke Jawawawa/Raijua dan
mengangkat tanah kolong rumah adat inti di Raijua itu, tetapi tidak lama
kemudian para tikus penjaga memberitahukan Pejabat Adat Mone Weo bahwa
ada orang yang mengambil tanah kolong rumah Adat Raijua itu. Akhirnya
Kika Liru tertangkap dan dibawa untuk diadili dihadapan Pejabat Adat
itu. Setelah ditanya mengapa ia membawa tanah kolong rumah adat Raijua
itu, dengan jujur Kika Liru menjelaskan maksud membawa tanah kolong
rumah adat itu supaya Penyoro Mea tempatnya itu bisa diperlebar dan
diperluas arealnya. Pejabat Adat Raijua itu pada akhirnya setuju dengan
tujuan baik Kika Liru itu dan diijinkan melanjutkan pekerjaannya dengan
suatu perjanjian sebagai berikut:
Bahwa setelah menyelesaikan pekerjaan raksasa itu, Kika Liru berkewajiban hingga turun temurun membayar upeti atau
ihi rai ke Pejabat Adat Jawawawa/Raijua dan berlangsung di setiap tahun adat di bulan
Bangaliwu (kalender adat)/bulan April-Mei (kalender Masehi). Dan hal itu dilakukan dalam sebuah upacara adat yang disebut
Hole/Heole,
kegiatan upacara adat/ritual termeriah dan terbesar setiap tahun adat
sejak dahulu kala hingga masa kini, akibat adanya perjanjian dimaksud.
Pada
akhirnya Kika Liru dapat menyelesaikan penimbunan Hu Penyoro Mea
menjadi luas dan besar serta terealisasi menjadi pulau Hawu/Sabu yang
ada sekarang ini, sesuai namanya
Hawu artinya
“timbunan tanah raksasa” yang menjadi pulau.
Turunan
leluhur Kika Liru telah berkembang pesat memenuhi pulau Sabu, tanah
tak bertambah lagi dan lahan makin sempit, maka pada masa generasi
leluhur
IE MIHA dan saudaranya
DIDA MIHA
(silsilah Do Hawu ke-43), bersepakat membagi pulau Sabu menjadi 2 (dua)
bahagian bagi turunan mereka masing-masing. Maka terjadilah kesepakatan
pembahagian tanah Hawu/Sabu pada pertama kalinya diantara kedua
bersaudara itu, yang telah diatur dan disepakati sebagai berikut:
- Ditetapkan bahwa tokoh leluhur Dida Miha dengan keturunannya mendapat
bahagian selatan pulau Sabu, dimana batas-batasnya ditarik dan
dijelajahi menurut garis menengah pulau, dimulai dari Tanjung Uju (wilayah Mehara sekarang ini) melalui tengah-tengah pulau menuju pelabuhan Banyo Sabu Timur sekarang ini. Jadi bahagian selatan pulau Sabu, dimiliki leluhur Dida Miha dengan turunannya.
- Ditetapkan bahwa tokoh leluhur IE MIHA dengan turunannya mendapat
bahagiann utara pulau Hawu, yang batas-batasnya ditarik dan dijelajahi
dan berbatas dengan tanah pembahagian milik Dida Miha dengan turunannya
dipertengahan pulau Sabu.
Inilah pembagian tanah Sabu pada pertama
kalinya, yang dibuat di antara kedua bersaudara itu dengan sumpah dan
janji secara ritual di
Kolo Teriwu, karena mereka telah pindah dari
Hu Penyoro Mea dan tinggal di sana (pulau Hawu). Di Kolo Teriwu inilah
Rae (kampung) tempat mereka diam yang dinamakan
“Rae Mone Ie”. Disini pula, leluhur Dida Miha menciptakan sebuah tarian adat terkenal di Hawu yaitu
PEDO'A HAWU.
Kedua leluhur ini berkembang turun temurun dan penduduk pulau Sabu makin bertambah banyak dan generasi tokoh leluhur bernama
Wai Waka (silsilah Do Hawu ke-49) yang berputera sejumlah 5 orang, masing-masing bernama:
Dara,
Wara, Laki, Jaka dan
Kole
(silsilah Do Hawu ke-50). Kepada kelima anaknya ini ia bermaksud
membagi pulau Hawu agar tanah milik pusaka mereka masing-masing hingga
turun temurun dapat dimiliki secara pasti sehingga terhindar dari
percekcokan dan perkelahian. Bagaimana upaya-upaya dan sistem pembagian,
telah disepakati bersama sebagai berikut:
1. Berhubung
Jawawawa/Raijua adalah pulau tersendiri maka disepakati dan ditetapkan bersama bahwa pulau Raijua diberikan kepada
Jaka Wai menjadi milik pusaka turun temurun dan pembagian ini dikukuhkan dengan sumpah janji adat.
2. Sedang
pulau Hawu dibagi ke pada keempat anak/tokoh leluhur:
Dara Wai, Kole Wai, Wara Wai, dan
Laki Wai,
dan pembagiannya dengan cara yang disepakati bersama sebagai berikut:
“Masing-masing mereka harus membawa anak kerbau ke puncak
Lede Perihi di
Hawu”. Semua anak kerbau itu dilepas bebaskan dipuncak gunung tersebut
dan dibiarkan sesukanya pergi kemana saja di daratan pulau Hawu ini.
Kemudian kepada keempat tokoh leluhur ini masing-masing mencari dimana
anak kerbau mereka berada. Bila ditempat mana didapat dan berada anak
kerbau masing-masing, maka bagian tanah itulah miliknya. Setelah
dilaksanakan pelepasan anak kerbau masing-masing dipuncak tertinggi di
pulau Hawu ini dan sesudah lewat beberapa hari, keempat leluhur ini
masing-masing pergi mencari anak kerbau mereka, ternyata setiap anak
kerbau itu di dapat dan ditemui:
• Anak kerbau milik tokoh
Dara Wai terdapat di wilayah utara pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah adat
Habba/Seba, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Seba/Habba yang adalah keturunan tokoh leluhur
Dara Wai.
• Anak kerbau milik tokoh
Kole Wai terdapat di wilayah barat pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah adat
Mehara, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Mehara yang adalah keturunan tokoh leluhur Kole Wai.
• Anak kerbau milik tokoh
Wara Wai terdapat di wilayah selatan pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah
LiaE, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga LiaE yang adalah keturunan tokoh leluhur Wara Wai.
• Anak kerbau milik tokoh
Laki Wai terdapat diwilayah timur pulau Hawu; sekarang ini disebut dengan wilayah
Hawu Dimu/Sabu Timur, karenanya wilayah itu dihuni dan dimiliki oleh warga Hawu Dimu/Sabu Timur yang adalah keturunan tokoh leluhur Laki Wai.
Setelah
diketahui dan disepakati setiap wilayah milik masing-masing di atas,
maka perlu dijelajahi dan dipatok serta ditetapkan batas tanah pembagian
masing-masing dengan dikukuhkan peraturan ritual adat ditambah sumpah
janji keempat tokoh leluhur ini. Pertama-tama diantara keempat tokoh
diuji kesaktian mereka guna menetapkan seseorang dari antara mereka
untuk memimpin penjelajahan, pematokan dan penetapan batas-batas secara
ritual dipojok-pojok tertentu sebagai bukti yang sakral. Untuk itu,
mereka masing-masing harus menanam sebatang sirih ditempat yang bernama
Pebuda, sekarang ini terletak disebelah
Ledeperihi
(puncak tertinggi di pulau Hawu). Pohon sirih masing-masing harus
bertumbuh dengan subur, dan bila sirih milik seorang leluhur bertumbuh
dan hidup dengan baik maka tokoh leluhur itu yang ditetapkan untuk
memimpin penentuan batas itu. Ternyata setelah terjadi penanaman, maka
sirih milik tokoh leluhur
Kole Wai yang hidup dengan
baik dan subur pula, maka ditetapkan bahwa Kole Wai saudara mereka
memimpin penetapan batas tanah pembagian mereka masing-masing.
Penjelajahan
dan pematokan batas secara ritual adat dimaksud dihadiri dan dilakukan
bersama-sama. Penjelajahan batas dimulai dari pantai laut utara bernama
WaE Uba Jami lalu naik ke puncak
Ledeperihi kemudian turun ke tempat bernama
Tuwi menuju tempat bernama
Ei Harro kemudian naik ke
Teriwu lalu turun ke
Merabbu di
Hu Penyoro Mea. Penentuan batas ini antara milik tokoh leluhur
Kole Wai dengan saudara-saudara
Dara Wai dan
Wara Wai, sekarang ini batas wilayah adat
Mehara dengan wilayah adat
Seba dan wilayah adat
LiaE. Tempat-tempat yang dipatok sebagai TOR ialah:
• TOR I terletak di tempat bernama
WAE dan
UBA JAMI. Tor I itu ditetapkan dengan upacara adat dan sumpah janji dan hingga kini dilaksanakan upacara ritual oleh
Ratu Mone Pidu/Mone Ama Rai di Sabu.
• Tor II ditetapkan di puncak bukit
Ledeperihi dengan upacara ritual yang berlaku hingga masa kini dan dilaksanakan oleh
Mone Ama Rai di Sabu.
• Tor III dipatok di tempat bernama
Teriwu atau
Kolo Teriwu.
Di tempat ini ada dan ditempatkan sebuah Batu Tor yang berjiku 3. Jiku
batu yang menonjol ke arah wilayah Seba, itu menandakan wilayah milik
tokoh leluhur
Dara Wai atau warga Seba keturunannya. Jiku batu Tor yang menonjol ke arah Mehara, itu menandakan milik tokoh leluhur
Kole Wai atau warga Mehara keturunannya. Jiku batu Tor yang menonjol ke arah LiaE, itu menandakan milik tokoh leluhur
Wara Wai atau warga LiaE keturunannya. Di
Kolo Merabbu di
Hu Penyoro Mea, ditetapkan upacara bagi Mone Ama Rai di Hawu yang hingga kini dilaksanakan setiap tahun adat sesuai kelender adatnya.
Sebagai penetapan penjelajahan tapal batas antara tokoh leluhur
Dara Wai, tokoh leluhur
Wara Wai dan tokoh leluhur
Laki Wai atau wilayah Seba, LiaE dan Sabu Timur sekarang ini, penjelajahan batas dilakukan dari
KoloTeriwu menyusuri pertengahan pulau Hawu menuju ke wilayah batas tanah tokoh leluhur
Laki Wai dipertengahannya. Itulah batas tanah pembagian tokoh leluhur
Dara Wai dan
Wara Wai atau yang sekarang ini disebut batas tanah wilayah
Habba/Seba dengan tanah wilayah adat
LiaE. Sedang untuk penetapan batas tanah wilayah
Hawu Dimu, ditetapkan batasnya disebelah barat sebuah tempat bernama
Bebae di Hawu Dimu sekarang lalu menyusur ke utara di tempat bernama
Wagga Mengarru di pantai utara pulau Hawu. Itulah perbatasan pembagian tokoh leluhur
Laki Wai dengan tokoh leluhur
Dara Wai dan
Wara Wai atau sekarang perbatasan antara wilayah adat
Dimu/Sabu Timur dengan wilayah adat
Habba/Seba dan wilayah adat
LiaE.
Penetapan batas-batas tanah tersebut semuanya dilaksanakan dan ditetapkan dengan upacara adat dan sumpah janji pula.
Tanah
Hawu tidak bertambah, padahal perkembangan turunan para leluhur
tersebut makin banyak dan pulau Hawu makin padat penduduknya. Maka
karena demikian pelanggaran-pelanggaran terhadap penetapan batas-batas
ritual yang ditetapkan para leluhur itu, seperti pernah terjadi disaat
tokoh leluhur
Raba DiE Dara (silsilah Do Hawu ke-52) dari wilayah
Habba/Seba, mengadakan pelanggaran batas dan menerobos masuk ke wilayah adat
Mehara. Hal ini terjadi di saat tokoh leluhur
Horo Kole (silsilah do Hawu ke-51) di Mehara yang menentang perlakuan penerobosan batas dimaksud.
Tokoh
leluhur Horo Kole segera mengadakan antisipasi pelanggaran batas
tersebut dengan meminta bantuan saudaranya tokoh sakti Horo Nani dari
wilayah adat Jawawawa/Raijua. Tokoh leluhur Horo Nani dan rombongannya
sudah tiba di Hawu dan segera memusyawarah dan menyepakati taktik
penyerangan bersama tokohn leluhur Horo Kole dan rombongan di Mehara.
Taktik tersebut sebagai :
Rombongan
Horo Kole dan
Horo Nani tidak menyerang dulu, tapi terdahulu melepaskan kucing-kucing yang diikat kulit kelapa kering berapi ke perkampungan orang
Habba/Seba terutama kampungnya
Raba DiE
dan rombongannya. Tidak lama setelah pelepasan kucing-kucing berbara
api itu dilakukan, maka kampung Raba DiE dan rombongannya mulai
terbakar. Teriakan dan raungan mulai terdengar dari Seba maka Raba DiE
dan rombongan berlari pontang panting pulang ke Seba, saat itu mereka
mendengar teriakan dan raungan dimana-mana di Seba.
Kesempatan itulah rombongan
Horo Kole dan
Horo Nani memburu dan mengusir
Raba DiE dan rombongannya. Pada saat pengusiran itu di suatu tempat diwilayah Mehara terkejar dan didapat 8 orang dari rombongan
Raba DiE yang dibunuh. Tempat terbunuhnya 8 orang rombongan Raba DiE itu populer hingga kini dengan nama
GURI MONE ARU, artinya
Guri: mati bergelimpahan;
Mone: Lelaki/laki-laki;
Aru: Delapan. Jadi singkatnya:
“Mati Bergelimpahan 8 orang laki-laki”. Tidak jauh pula dari tempat itu, terkejar lagi 2 orang dekat perbatasan Mehara dan Seba, nama tempat itu terkenal dengan nama
Lari Mone Due. Artinya: Lari: bukit, Mone: Lelaki/laki-laki; Due: 2 (dua), atau singkatnya
“Bukit terbunuh 2 orang laki-laki”.
Agak ke barat dari tempat ini, pengejaran terhadap rombongan
Raba DiE berlangsung
terus, sehingga karena lemparan batu ada yang pecah perutnya, ada pula
yang terengah-engah dan putus nafas karena pengejaran tersebut, maka
nama-nama tempat itu di wilayah Mehara disebut
HaE wa Bari Bake,
yang artinya sebagai berikut: Hae:paru-paru naik/terengah-engah; Wa:
paru-paru; Bari: pecah; Bake: perut besar, singkatnya “Paru-paru naik
lalu lari terengah-engah dan pecah perut besarnya”.
Tempat-tempat ini terdapat di wilayah Mehara dekat perbatasan antara Mehara dan Seba hingga kini.
Pada akhirnya
Raba DiE
dan rombongannya menyerah dan tak berani muncul menerobos batas dan
masuk wilayah adat Mehara lagi. Demi penghargaan dan persahabatan serta
ucapan terima kasih
Horo Kole dan rombongannya kepada saudaranya
Horo Nani dan rombongannya dari
Jawawawa/Raijua, maka sebuah wilayah di Mehara sekarang disebut
Lobohede, diserahkan kepada
Horo Nani dan rombongannya untuk dimiliki dan tinggal tetap diwilayah Mehara; dan dilantik, dalam bahasa Sabu
”Peha'E Udu” menjadi warga Mehara dan sekarang terkenal dengan klan
Aelape di Mehara.
Suku ini juga diberi hak menjabat
“Mone Ama Wawa Mehara” dan mengatur semua upacara adat di Mehara Barat hingga kini.
Penduduk
ke-5 wilayah adat di Hawu makin padat jumlahnya sehingga lahan berusaha
bagi masyarakat makin sempit pula dan makin meningkat perampasan lahan
garapan dimana-mana di Hawu. Napsu memiliki tanah secara berlebihan
makin membeli manusia; berarti pelanggaran terhadap penetapan adat
tentang batas tanah dan aturan di atas tanah, makin lama makin
diabaikan. Karena ketiadaan lahan garapan di atas tanah, maka sebagian
warga Sabu merantau dan akhirnya menetap di rantau bila telah memiliki
lahan garapan di tempat yang baru.
Akibat napsu memiliki tanah secara berlebihan dan karenanya timbul pula di kala
Robo Aba
(silsilah Do Hawu ke-55) dari wilayah adat Seba dengan sewenang-wenang
merubah batas ritual antara Seba dengan wilayah adat Mehara dan
ditantang pula oleh tokoh leluhur
Ago Rai (silsilah Do Hawu ke-54) dari Mehara. Pada saat itu tokoh leluhur
Robo Aba dengan
semena-mena memindahkan batas antara wilayah Seba dan Mehara; yang
diaturnya sendiri ke dalam wilayah Mehara yang ditetapkannya mulai dari
pelabuhan alam bernama
Kebila, menyusuri kali bernama
Loko Ai Wattu dalam wilayah Mehara menuju ke
Kolo Teriwu, batas yang ditetapkan ke-5 leluhur anak-anak tokoh leluhur
Wai Waka (silsilah Do Hawu ke-49 dan ke-50), dengan upacara dan sumpah janji diwaktu dahulu, karenanya ditentang mati-matian oleh
Ago Rai dan penduduk wilayah Mehara seluruhnya.
Turut tidak menyenangi terhadap perlakuan tokoh
Robo Aba terebut, adalah Pimpinan Adat wilayah Mehara:
Kenuhe yang terkenal sakti dan gaib dan
“Maja” yang terkenal dengan nama julukan:
“Maja Muri Lai Bari Anni”, (hidup berdaulat, menjelma dan bisa berada sambil berubah-ubah). Ia sangat sakti, anak leluhur
MURI MARA (silsilah Do Hawu ke-16 dan ke-17). Nama inilah yang digunakan dan dijabat oleh salah seorang
Ratu Mone Pidu/Mone Ama Rai di Hawu hingga saat kini. Leluhur
Ago Rai,
Kenuhe dan
Maja dari wilayah Mehara bersepakat untuk menentang perlakuan tokoh
Robo Aba
dari wilayah adat Seba tersebut dengan kesaktian, bukan dengan perang
dan pertumpahan darah. Ke-3 tokoh leluhur ini memberitahukan ke Seba,
supaya tokoh
Robo Aba dipersilahkan menyusuri dan
menjelajahi batas wilayah adat ritual antara Seba dan Mehara, sesuai
keinginan dan kehendaknya dan berjanji bertemu di tempat bernama
Kebila dalam wilayah Mehara; sebuah pelabuhan alam sejak dahulu. Tokoh
Robo Aba juga diminta membawa seekor kerbau merah ke tempat pertemuan itu.
Pada esok harinya, berangkatlah ketiga tokoh itu ke tempat pertemuan yang telah ditetapkan dan tokoh leluhur
Kenuhe memilih berjalan di bawah tanah menuju
Kebila. Setelah ketiganya tiba di
Kebila, tokoh
Robo Aba dari wilayah Seba sudah siap berada di tempat tersebut. Tokoh leluhur
Ago Rai mempersilahkan tokoh
Robo Aba
menunggangi kerbaunya dan lebih dahulu menjelajahi dan menyelusuri
batas wilayah adat ritual antara Seba dan Mehara sesuai keinginan dan
pemahamannya dan disusul dari belakang oleh ketiga tokoh
Ago Rai dan
Maja, sedang tokoh leluhur
Kenuhe
memilih berjalan di bawah tanah mengikuti mereka. Setelah tokoh Robo
Aba menunggangi kerbaunya; kerbau sama sekali tak mau melangkah dan
berdiri seperti patung saja, walau dipaksanya. Karena kerbaunya tokoh
Robo Aba tak mau berjalan selangkahpun, maka tokoh Ago Rai mengatakan:
“Karena kerbaumu tak berlangkah, marilah saya berjalan lebih dahulu dan
kamu mengikuti dari belakang”. Akhirnya disepakati bersama lalu tokoh
leluhur Ago Rai berjalan dimuka dan diikuti oleh tokoh Robo Aba dan Maja
dan berjalanlah mereka menjelajahi dan menyusuri batas adat ritual
antara Seba-Mehara sesuai penetapan tokoh leluhur sejak dahulu kala
memakai sumpah janji dimana batas-batas ritual terealisasi dan
diselenggarakan dengan upacara-upacara hingga kini oleh Mone Ama Rai
Hawu, sebagai pimpinan adat.
Sesuai batas itulah yang dijelajahi dan ditelusuri Ago Rai dan mereka telah tiba di
WaE Uba Jami yang
menjadi Tor I, penetapan leluhur diwaktu dahulu. Lalu bertanyalah Ago
Rai kepada tokoh Robo Aba: “Apakah disini atau tempat ini tapal batas
adat ritual antara Seba-Mehara yang menjadi Tor I penetapan
leluhur-leluhur kita?”. Dari bawah tokoh leluhur
Kenuhe
yang sakti dan gaib itu menjawab pertanyaan (Ago Rai) dengan “ya”. Saat
itu pula tokoh leluhur Maja melangkahkan kaki ke sebelah kali
WaE
maka memancarlah air di tempat itu lalu kerbaunya tokoh Robo Aba minum
dengan puasnya. Kemudian tokoh leluhur Ago Rai menyuruh tokoh Robo Aba
berjalan lebih dahulu memimpin penjelajahan batas berikutnya, tetapi
juga kerbau yang ditunggangi tokoh Robo Aba tak melangkah selangkahpun,
lalu akhirnya tokoh leluhur Ago Rai memimpin penjelajahan batas dan
tokoh Robo Aba mengikuti dari belakang. Tapal batas yang ditetapkan para
leluhur sejak dahulu kala diinjak dan dijelajahi tokoh leluhur Ago Rai
dengan tepat, dan pada akhirnya mereka tiba dipuncak Lede Perihi, puncak
tertinggi di pulau Hawu, yang menjadi Tor II penetapan para leluhur di
zaman dahulu kala; lalu mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sebuah
bukit bernama
TUWI menuju kali bernama
Ei Harro,
nama yang dikenal hingga kini. Adapun terjadinya nama ini, sebagai
berikut: Setiba di kali ini, tokoh Robo Aba menangis terisak-isak,
mungkin saja menyesali dirinya. Meneteslah air matanya ditempat ini,
maka hingga kini air di tempat itu rasanya asin seperti air garam,
karenanya kali itu disebut Kali
Ei Harro artinya Kali Air Asin.
Mereka
berjalan terus naik ke puncak bukit bernama Teriwu, atau disebut juga
Kolo Teriwu, salah satu puncak penetapan para leluhur menjadi tor III
tapal batas Seba – Mehara. Dari Kolo teriwu ini mereka turun menuju ke
selatan ke Penyoro Mea ke puncak sebuah bukit bernama Kolo Merabbu. Dari
bukit ini kelihatan/terbentang luas lautan Indonesia di selatan pulau
Hawu. Di sebelah selatan bukit ini sangat terjal dan disinilah sebuah
gua bernama
LiE Merabbu yang terkenal angker oleh
penduduk pulau Hawu dan tidak sembarang orang boleh masuk kedalamnya,
kecuali Mone Ama Rai Hawu. Di puncak bukit terjal inilah para tokoh
leluhur penjelajahan batas tiba. Tampaknya tokoh Robo Aba menyesal dan
malu, tanpa diduga Ago Rai, Maja dan Kenuhe, iapun langsung terjun ke
lautan Indonesia beserta kerbaunya dan terkubur di laut itu, dan sampai
sekarang tak pernah kuburan Robo Aba di temui di Seba/ di Hawu. Di Kolo
Merabbu inilah batas penetapan para leluhur yang diletakkan dengan
upacara dan sumpah janji yang tak boleh dilanggar oleh warga masyarakat
pulau Sabu.
Inilah penjelajahan batas ritual antara wilayah
Seba-Mehara yang diulangi karena pelanggaran tokoh Robo Aba dari wilayah
Seba dan yang berakhir dengan musibah terhadap diri sendiri. Memang
nafsu memonopoli dan memiliki tanah secara tidak sah itu makin menjadi
sejak saat dahulu hingga kini. Demikianlah tuturan masyarakat adat Hawu
tentang terjadi dan terbentuknya Rai Hawu atau Pulau Sawu sesuai versi
dan wawasan mereka memandang dunia dan alam sekitar mereka.