Translate

Senin, 02 Maret 2015

Orang Kuat Bas Wie, Gandol Pesawat RAAF Kini Hidup di Panti Jompo

Orang Kuat Bas Wie, Gandol Pesawat RAAF Kini Hidup di Panti Jompo

Bas Wie diatas roda pesawat ketika rekontuksi oleh majalah TIME
Laras Post Online - Perang Dunia II baru saja berakhir. Seluruh dunia sedang sibuk dengan berita-berita yang mengikuti perang seperti soal perlucutan senjata, perundingan dan perdamaian dunia, tawanan perang, bom atom, pembagian baru wilayah yang diduduki selama perang. Tiba-tiba sebuah selingan terjadi bagai intermezo di antara berita panas dunia. Seorang anak kecil berusia 16 tahun. Tak urung lagi, peristiwa itu menjadi headline semua koran dan radio di seluruh dunia. 
Siapa si anak kecil itu? Orang Jepang memanggilnya Ichi Rohi, artinya anak sulung. Begitulah si anak nakal Bas Wie dikenal serdadu Jepang ketika masa pendudukan di Pulau Timor. Menurut Ibu Oni Tanya Uly, Ichi Rohi termasuk beruntung, karena kenakalannya pernah membuat tentara Jepang marah. “Kalau saja dia bukan anak kecil 10 tahun, dia sudah dibunuh Jepang,” ujar Ibu Ony. Bas Wie pernah ikut bersama keluarga mereka, tapi tidak lama. 
Saat itu, bulan Agustus tahun 1946, Perang Dunia II baru saja berakhir. Pulau Timor diduduki tentara Sekutu dari sebuah kontingen khusus militer Australia yang disebut Tim Force bertugas di Kupang, ibu kota Pulau Timor. 
Bas Wie, memang sudah akrab dengan lapangan terbang. Pada masa sebelumnya ia menjadi tukang cuci piring di dapur bandara Penfui, Kupang. Sekarang lapangan terbang itu dinamakan Bandara El Tari. Ia adalah anak yatim dari Pulau Sabu yang bernama Sabu Wie Dara, merasa dirinya ditolak di mana-mana. Wajar saja bila tiap saat dia melihat pesawat terbang take off, dia langsung berkhayal. Ingin pergi jauh, terbang bersama pesawat itu, entah ke mana. Baginya yang penting segera bisa meninggalkan kehidupan yang keras yang selalu menderanya tiap hari. 
Keramahan tentara Australia yang datang melucuti tentara Jepang bagi Bas Wie merupakan kesempatan tersendiri. Ia merasakan keramahan tentara Australia dari mana ia memperoleh pepermen, atau bola yang sulit diperoleh anak-anak semacam dia ketika itu. Kadang-kadang ia diberi daging, membawanya di jeep atau truck berkeliling. 
Suatu malam tidak sengaja ia mendengar percakapan di hall bandara. Pesawat Angkatan Udara Belanda C-47 yang sedang parkir di luar akan berangkat ke Australia. Spontan ia mendapat ide. 
“Nah, bagaimana kalau ikut terbang bersama pesawat itu,” ujarnya dalam hati. Ia mencoba menyelinap, tetapi pintu pesawat terkunci. Tiba-tiba ia menemukan dua rongga nacelle yang menutup ban pesawat jika pesawat telah tinggal landas.”Nah, ini dia.” Ia memanjat, berjongkok di atas salah satu rongga itu, di mana cukup untuk tubuhnya bersembunyi. Dengan was-was ia berharap tidak ditemukan petugas bandara. 
Beberapa menit kemudian para crew masuk ke pesawat, menghidupkan dan pesawat pun bergerak. Saat pesawat menyapu landasan pacu, mimpi buruk Bas Wie pun dimulai. Pipa knalpot menyemburkan api orange. Pendingin baling-baling mengoyak-ngoyak kemeja tipisnya. Tapi ia harus menyelamatkan dirinya dari asap mesin. Ia pun bergeser ke satu-satunya tempat di mana ia bisa selamat, yaitu sebuah ruang berukuran 10 x 20 inchi yang berada di antara tangki bahan bakar dan pipa knalpot. 
Ban pesawat yang mulai masuk menjepit dirinya dan tuas besi penggerak masuk dan keluarnya roda menghimpit bahunya. Berdarah. Tubuhnya sekaligus hangus oleh api dan kedinginan oleh angin lautan yang menderu. Ia merintih, lalu pingsan. Selama tiga jam tubuhnya terjepit dalam rongga roda yang menjepitnya demikian erat sehingga tubuhnya bahkan menempel bagai cecak di langit-langit, bahkan tidak jatuh saat pesawat digerakan keluar untuk mendarat. Para crew menemukannya ia ”tertempel” di rongga dan tampaknya hampir mati. 
“Tak ada yang melihat, saya langsung melompat ke atas dan bergelantungan,” Bas Wie menjelaskan bagaimana ia bisa naik ke roda pesawat.”Ban mulai naik mendorong ke atas dan saya kehabisan ruang, ruangannya makin sempit dan sempit, tidak ada lagi tempat. Saya ingin berteriak tapi kemudian saya pikir percuma saja karena mereka tak akan mendengar.”
Pilot Angkatan Udara Belanda, Jan Sjouw, yang menerbangkan pesawat DC3 itu, saat bertemu kembali dengan Bas Wie, 32 tahun kemudian, mengatakan pesawat itu mengalami masalah selama penerbangan: Pemanas kabin tidak bekerja tapi ia terus saja melaju. Rupanya pemanas kabin terganggu dengan benda asing yang menerobos di rongga pesawat. Rupanya di situ terganjal tubuh Bas Wie. 
Jan Sjouw mengungkapkan keheranannya, sebelum mendarat di Darwin pesawat ini harus menunggu giliran untuk mendarat. Roda pesawat telah diturunkan sebelum waktunya pada ketinggian sekitar 1. 500 kaki.”Tetapi anak ini tidak jatuh,” ujarnya mengenang. 
Hari telah gelap ketika pesawat C-47 itu mendarat di landasan RAAF di Darwin. Petugas jaga malam itu Jim Fleming mengecek pesawat yang singgah itu. 
“Saya mengarahkan lampu senter ke atas dan tampak seorang anak, tergencet di dinding pemisah pesawat,” kata Jim Fleming, setelah pensiun sebagai Marsekal Madya Angkatan Udara. “Separuh tubuhnya terutama bagian belakangnya terbakar parah oleh knalpot pesawat di mana ia bersandar, sedangkan separuh tubuhnya membeku. Tapi benar-benar ia tidak sadarkan diri. Biji matanya sudah terbalik sehingga yang tampak hanya kedua bola matanya yang putih. Saya pikir dia sudah meninggal.”
Dalam keadaan tak sadarkan diri, sebagian tubuhnya terbakar dan luka besar menganga, Bas dilarikan ke rumah sakit.
Selama kurang lebih tiga bulan para dokter dan perawat di Rumah Sakit Darwin merawat anak yang kemudian dikenal oleh semua orang dengan julukan”The Kupang Kid.” 
Pemerintah Aus­tralia hampir saja memu­langkannya ke Timor sebagai imigran gelap, tetapi masyarakat kota membela Bas Wie. 
“Bagaimana pun anak itu telah berusaha memasuki Australia dengan susah payah. Kita hendaknya menghormati kehadirannya di tengah-tengah kita,” ujar mereka yang membela Bas Wie. Maka Bas Wie kecil pun tinggal di negeri itu bagai anak yang tidak diharapkan. Sampai tahun 1952, enam tahun ia berada di Darwin ia masih berada di lingkungan bandara, Sebagaimana dunianya sejak kecil, bekerja pada toko milik RAAF. Tetapi tempat tinggalnya masih belum tentu. Pemerintah Australia saat itu mempunyai kebijakan”keep Australia white” yang membatasi imigran Asia. 
Media Northen Standard melaporkan hal ketidak-pastian tinggalnya Bas Wie. Si anak Sabu itu menjadi topik di Australia. Masyarakat Kota Darwin tak hentinya mencecar Menteri Imigrasi dengan protes.”Anak dengan keberanian seperti itu,” kata salah satu pemrotes,”butuh dukungan.” 
Karena tekanan ini, pemerintah memberikan bocah ini sertifikat pengecualian selama setahun yang disebut Permit of Entry. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Departemen Imigrasi ini harus diperbaharui tiap tahun dan kapan saja bisa dibatalkan oleh Kementrian Imigrasi. 
Ketika terjadi pergantian administratur, sepasang suami istri dari Kota Darwin mengadopsi Bas. Orang yang mengadopsinya itu adalah orang Inggris yang menikah dengan seorang perempuan native Australia dari Larrakia bernama Bertha Cubillo. Bertha adalah keturunan campuran Aborigin dan Filipina. Lima puluh delapan tahun kemudian, ketika ia diwawancarai Murray McLaughlin dari Radio Australian Broadcasting Corporation (ABC), Bas Wie mengaku, malam itu bahkan ia pun tak tahu ke mana pesawat itu akan berangkat. 
“Saya tak tahu ada negara lain di luar sana. Sungguh, dalam usia seperti itu, anda pasti mengerti,” katanya. 
 Nasib Bas tergantung pada tangan Menteri Imigrasi saat itu Arthur Calwell. Walaupun Calwell dikenal sebagai arsitek program migrasi Australia pasca perang, Calwell punya reputasi sebagai kelompok garis keras dalam parlemen Australia karena kegigihannya untuk mendeportasi orang Indonesia yang mencari suaka di Australia selama perang. 
Rupanya ketika Bas berada di rumah sakit, Administratur Darwin saat itu Arthur R Driver telah bernegosiasi dengan Menteri Calwell agar Bas tetap diperbolehkan tinggal di Darwin. Calwell setuju asalkan Bas berada di bawah pengawasan Driver. Driver sendiri memberinya tinggal di sebuah rumah penginapan milik pemerintah (Goverment House) dan ia disekolahkan. Sebagai balasanya, Bas bekerja di sekitar kediaman resmi sang administratur dan setiap hari Natal ia menghadiahi sang administratur dengan sebuah miniatur kapal laut dengan motif Sabu yang ia ukir sendiri. 
“Saya dirawat seperti anak mereka sendiri, dan bagi saya mereka seperti orang tua kandung saya, sangat baik”, kata Bas mengenang masa-masa bekerja di rumah Driver. 
Bas kemudian juga bekerja pada Eric Izod pemilik Izod Motor dan ia membayar sewa perumahan milik pemerintah itu dengan gajinya. Keberanian bocah 12 tahun dari Kupang ini menjadi headline di berbagai media seluruh dunia saat itu, bahkan sampai beberapa tahun setelah kejadian itu. Pada tgl 20 Juli 1951 Arthur R Driver telah meninggal, koran melaporkan tentang Bas yang diperkirakan berusia 16 tahun pada saat itu. Karena ketiadaan dokumen, usianya ditentukan dengan perkiraan. Ia kemudian bekerja sebagai klerk pada Commonwealth Works Department. Di sanalah pada usia 24 tahun ia bertemu seorang gadis cantik dari Perth bernama Margaret. Mereka bertemu pertama kali pada bulan Februari 1956 ketika Margaret bekerja sebagai seorang junior draftwoman pada bagian surat-surat masuk pada the Department of Works and Housing. 
“Ia membawa surat ke meja saya, mengantarnya secara khusus,” ujar Margaret.”Bagi saya, itu semacam cinta pada pandangan pertama.”
Setelah 18 bulan berpacaran, keduanya menikah di sebuah Gereja Katholik di Smith Street di mana Bas pernah bekerja sebagai seorang anak altar. Upacara pernikahan di gereja kecil ini, diikuti oleh resepsi terang bulan di halaman belakang rumah di Fannie Bay. 
Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, tepatnya pada bulan July 1958 saat majalah Time melaporkan tentang Bas, sebuah keberuntungan lagi menghampiri hidup pemuda ini: ia akhirnya menerima permanent residence yang telah lama ia tunggu. Penerimaan ini merupakan sesuatu yang sangat langka dalam kebijakan imigrasi Australia saat itu yang sangat anti Asia. 
The Kupang Kid akhirnya menerima surat-surat naturalisasinya. “Kami bangga”, kata salah seorang pejabat seperti yang dilaporkan majalah Time,” mempunyainya sebagai seorang Australia.”
Majalah Time pun melaporkan tentang kisah ini pada  edisi 7 Juli 1958. Pada tahun 1978, Bas dan keluarganya menjadi topik utama dalam program TV This Is Your Life. 
Bas Wie dan istrinya Margareth kini telah pensiun dan mereka mempunyai lima anak serta tujuh orang cucu. Pada ulang tahun perkawinan mereka yang ke 70 pada tanggal 8 Desember 2007, wartawan Australia Daniel Bourchier menulis tentang pasangan ini dengan judul: “Kupang Kid marks a marriage half century.”
Sejarah hidup Bas Wie kini tertulis dalam sejarah Northern Territory. Cerita hidupnya adalah cerita seorang survivor yang hebat. Seperti katanya istrinya, Margaret:”Ia punya ketetapan hati yang besar untuk melakukan sesuatu yang telah ia tetapkan dalam pikirannya, dan sedikit semangat gambling, untuk mengambil resiko.”
Anak laki-laki Bas, Trevor, mengenang bagaimana ayahandanya menjawab jika orang menanyakan luka besar di punggungnya. Trevor mengingat pada tahun 1960-an di mana Darwin adalah tempat yang enak untuk bermain bola sambil bertelanjang dada. 
Saat bermain di lapangan, Trevor biasa mendengar anak-anak bertanya: 
“Mr Wie, Mr Wie. What’s that mark on your back?”
“Oh, a butterfly landed there.”, adalah satu-satunya jawaban yang biasa ia berikan, kenang Trevor. 
“Itulah Ayah” kenang Trevor.”Dihantam oleh sebuah ban yang berputar, diberkati oleh keberuntungan. Hangus di satu sisi, beku di sini lain. Selalu murah hati.”
“Saya tak pernah mendengarnya mengatakan sesuatu hal yang jelek tentang siapa pun. Orang-orang baik telah berjuang baginya agar ia tetap tinggal di Darwin.”
Menurut Trevor sikap Bas ini adalah bagian dari penghargaan Bas terhadap orang-orang baik yang telah berani melawan kebijakan ‘Keep Australia White’ pada masa itu untuk membela ayahnya agar tidak dideportasi. 
Ya, hanya mereka yang pernah merasakan kemurahan Allah yang begitu nyata dan besarlah yang selalu mensyukuri apa yang mereka punya tanpa mengeluh. Benar, sebuah kupu-kupu telah hinggap di pundakmu om Bas, dan itulah yang telah membuatmu menjadi seorang ayah, suami, kakek yang membanggakan.”Selalu murah hati” seperti kata anakmu. Ketika itu hampir semua media di dunia memuat sensasi Bas Wie dan Arsip Nasional Australia menyimpan ratusan halaman dokumen berkaitan dengan kasus Bas ini. 
Polyn Bunga Lay keponakannya yang mengunjunginya di Panti Jompo mengatakan Bas Wie masih mampu mengenal ia dan ibunya, bahkan berbicara dalam bahasa Sabu bahasa ibunya. 
[Dirangkum dari berbagai sumber: Peter Apollonius Rohi -facebook, - Matheos Victor Mesakh, Leiden, Belanda, -Kompas. Com, - dan kliping dari Esterlina Uly, Darwin, Australia. http://www.ntnews.com.au, -http://www.abc.net.au/tv/canwehelp/txt/s1855680.htm]


ketika dikunjungi keluarga BUNGA LAY dipanti Jompo Darwin Australia pada 5 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar