Orang Kuat Bas Wie, Gandol Pesawat RAAF Kini Hidup di Panti Jompo
Bas Wie diatas roda pesawat ketika rekontuksi oleh majalah TIME |
Laras Post Online - Perang Dunia II baru saja berakhir. Seluruh
dunia sedang sibuk dengan berita-berita yang mengikuti perang seperti
soal perlucutan senjata, perundingan dan perdamaian dunia, tawanan
perang, bom atom, pembagian baru wilayah yang diduduki selama perang.
Tiba-tiba sebuah selingan terjadi bagai intermezo di antara berita panas
dunia. Seorang anak kecil berusia 16 tahun. Tak urung lagi, peristiwa
itu menjadi headline semua koran dan radio di seluruh dunia.
Siapa si anak kecil itu? Orang Jepang memanggilnya Ichi Rohi, artinya
anak sulung. Begitulah si anak nakal Bas Wie dikenal serdadu Jepang
ketika masa pendudukan di Pulau Timor. Menurut Ibu Oni Tanya Uly, Ichi
Rohi termasuk beruntung, karena kenakalannya pernah membuat tentara
Jepang marah. “Kalau saja dia bukan anak kecil 10 tahun, dia sudah
dibunuh Jepang,” ujar Ibu Ony. Bas Wie pernah ikut bersama keluarga
mereka, tapi tidak lama.
Saat itu, bulan Agustus tahun 1946, Perang Dunia II baru saja berakhir.
Pulau Timor diduduki tentara Sekutu dari sebuah kontingen khusus militer
Australia yang disebut Tim Force bertugas di Kupang, ibu kota Pulau
Timor.
Bas Wie, memang sudah akrab dengan lapangan terbang. Pada masa
sebelumnya ia menjadi tukang cuci piring di dapur bandara Penfui,
Kupang. Sekarang lapangan terbang itu dinamakan Bandara El Tari. Ia
adalah anak yatim dari Pulau Sabu yang bernama Sabu Wie Dara, merasa
dirinya ditolak di mana-mana. Wajar saja bila tiap saat dia melihat
pesawat terbang take off, dia langsung berkhayal. Ingin pergi jauh,
terbang bersama pesawat itu, entah ke mana. Baginya yang penting segera
bisa meninggalkan kehidupan yang keras yang selalu menderanya tiap
hari.
Keramahan tentara Australia yang datang melucuti tentara Jepang bagi Bas
Wie merupakan kesempatan tersendiri. Ia merasakan keramahan tentara
Australia dari mana ia memperoleh pepermen, atau bola yang sulit
diperoleh anak-anak semacam dia ketika itu. Kadang-kadang ia diberi
daging, membawanya di jeep atau truck berkeliling.
Suatu malam tidak sengaja ia mendengar percakapan di hall bandara.
Pesawat Angkatan Udara Belanda C-47 yang sedang parkir di luar akan
berangkat ke Australia. Spontan ia mendapat ide.
“Nah, bagaimana kalau ikut terbang bersama pesawat itu,” ujarnya dalam
hati. Ia mencoba menyelinap, tetapi pintu pesawat terkunci. Tiba-tiba ia
menemukan dua rongga nacelle yang menutup ban pesawat jika pesawat
telah tinggal landas.”Nah, ini dia.” Ia memanjat, berjongkok di atas
salah satu rongga itu, di mana cukup untuk tubuhnya bersembunyi. Dengan
was-was ia berharap tidak ditemukan petugas bandara.
Beberapa menit kemudian para crew masuk ke pesawat, menghidupkan dan
pesawat pun bergerak. Saat pesawat menyapu landasan pacu, mimpi buruk
Bas Wie pun dimulai. Pipa knalpot menyemburkan api orange. Pendingin
baling-baling mengoyak-ngoyak kemeja tipisnya. Tapi ia harus
menyelamatkan dirinya dari asap mesin. Ia pun bergeser ke satu-satunya
tempat di mana ia bisa selamat, yaitu sebuah ruang berukuran 10 x 20
inchi yang berada di antara tangki bahan bakar dan pipa knalpot.
Ban pesawat yang mulai masuk menjepit dirinya dan tuas besi penggerak
masuk dan keluarnya roda menghimpit bahunya. Berdarah. Tubuhnya
sekaligus hangus oleh api dan kedinginan oleh angin lautan yang menderu.
Ia merintih, lalu pingsan. Selama tiga jam tubuhnya terjepit dalam
rongga roda yang menjepitnya demikian erat sehingga tubuhnya bahkan
menempel bagai cecak di langit-langit, bahkan tidak jatuh saat pesawat
digerakan keluar untuk mendarat. Para crew menemukannya ia ”tertempel”
di rongga dan tampaknya hampir mati.
“Tak ada yang melihat, saya langsung melompat ke atas dan
bergelantungan,” Bas Wie menjelaskan bagaimana ia bisa naik ke roda
pesawat.”Ban mulai naik mendorong ke atas dan saya kehabisan ruang,
ruangannya makin sempit dan sempit, tidak ada lagi tempat. Saya ingin
berteriak tapi kemudian saya pikir percuma saja karena mereka tak akan
mendengar.”
Pilot Angkatan Udara Belanda, Jan Sjouw, yang menerbangkan pesawat DC3
itu, saat bertemu kembali dengan Bas Wie, 32 tahun kemudian, mengatakan
pesawat itu mengalami masalah selama penerbangan: Pemanas kabin tidak
bekerja tapi ia terus saja melaju. Rupanya pemanas kabin terganggu
dengan benda asing yang menerobos di rongga pesawat. Rupanya di situ
terganjal tubuh Bas Wie.
Jan Sjouw mengungkapkan keheranannya, sebelum mendarat di Darwin pesawat
ini harus menunggu giliran untuk mendarat. Roda pesawat telah
diturunkan sebelum waktunya pada ketinggian sekitar 1. 500 kaki.”Tetapi
anak ini tidak jatuh,” ujarnya mengenang.
Hari telah gelap ketika pesawat C-47 itu mendarat di landasan RAAF di
Darwin. Petugas jaga malam itu Jim Fleming mengecek pesawat yang singgah
itu.
“Saya mengarahkan lampu senter ke atas dan tampak seorang anak,
tergencet di dinding pemisah pesawat,” kata Jim Fleming, setelah pensiun
sebagai Marsekal Madya Angkatan Udara. “Separuh tubuhnya terutama
bagian belakangnya terbakar parah oleh knalpot pesawat di mana ia
bersandar, sedangkan separuh tubuhnya membeku. Tapi benar-benar ia tidak
sadarkan diri. Biji matanya sudah terbalik sehingga yang tampak hanya
kedua bola matanya yang putih. Saya pikir dia sudah meninggal.”
Dalam keadaan tak sadarkan diri, sebagian tubuhnya terbakar dan luka besar menganga, Bas dilarikan ke rumah sakit.
Selama kurang lebih tiga bulan para dokter dan perawat di Rumah Sakit
Darwin merawat anak yang kemudian dikenal oleh semua orang dengan
julukan”The Kupang Kid.”
Pemerintah Australia hampir saja memulangkannya ke Timor sebagai imigran gelap, tetapi masyarakat kota membela Bas Wie.
“Bagaimana pun anak itu telah berusaha memasuki Australia dengan susah
payah. Kita hendaknya menghormati kehadirannya di tengah-tengah kita,”
ujar mereka yang membela Bas Wie. Maka Bas Wie kecil pun tinggal di
negeri itu bagai anak yang tidak diharapkan. Sampai tahun 1952, enam
tahun ia berada di Darwin ia masih berada di lingkungan bandara,
Sebagaimana dunianya sejak kecil, bekerja pada toko milik RAAF. Tetapi
tempat tinggalnya masih belum tentu. Pemerintah Australia saat itu
mempunyai kebijakan”keep Australia white” yang membatasi imigran Asia.
Media Northen Standard melaporkan hal ketidak-pastian tinggalnya Bas
Wie. Si anak Sabu itu menjadi topik di Australia. Masyarakat Kota Darwin
tak hentinya mencecar Menteri Imigrasi dengan protes.”Anak dengan
keberanian seperti itu,” kata salah satu pemrotes,”butuh dukungan.”
Karena tekanan ini, pemerintah memberikan bocah ini sertifikat
pengecualian selama setahun yang disebut Permit of Entry. Sertifikat
yang dikeluarkan oleh Departemen Imigrasi ini harus diperbaharui tiap
tahun dan kapan saja bisa dibatalkan oleh Kementrian Imigrasi.
Ketika terjadi pergantian administratur, sepasang suami istri dari Kota
Darwin mengadopsi Bas. Orang yang mengadopsinya itu adalah orang Inggris
yang menikah dengan seorang perempuan native Australia dari Larrakia
bernama Bertha Cubillo. Bertha adalah keturunan campuran Aborigin dan
Filipina. Lima puluh delapan tahun kemudian, ketika ia diwawancarai
Murray McLaughlin dari Radio Australian Broadcasting Corporation (ABC),
Bas Wie mengaku, malam itu bahkan ia pun tak tahu ke mana pesawat itu
akan berangkat.
“Saya tak tahu ada negara lain di luar sana. Sungguh, dalam usia seperti itu, anda pasti mengerti,” katanya.
Nasib Bas tergantung pada tangan Menteri Imigrasi saat itu Arthur
Calwell. Walaupun Calwell dikenal sebagai arsitek program migrasi
Australia pasca perang, Calwell punya reputasi sebagai kelompok garis
keras dalam parlemen Australia karena kegigihannya untuk mendeportasi
orang Indonesia yang mencari suaka di Australia selama perang.
Rupanya ketika Bas berada di rumah sakit, Administratur Darwin saat itu
Arthur R Driver telah bernegosiasi dengan Menteri Calwell agar Bas tetap
diperbolehkan tinggal di Darwin. Calwell setuju asalkan Bas berada di
bawah pengawasan Driver. Driver sendiri memberinya tinggal di sebuah
rumah penginapan milik pemerintah (Goverment House) dan ia disekolahkan.
Sebagai balasanya, Bas bekerja di sekitar kediaman resmi sang
administratur dan setiap hari Natal ia menghadiahi sang administratur
dengan sebuah miniatur kapal laut dengan motif Sabu yang ia ukir
sendiri.
“Saya dirawat seperti anak mereka sendiri, dan bagi saya mereka seperti
orang tua kandung saya, sangat baik”, kata Bas mengenang masa-masa
bekerja di rumah Driver.
Bas kemudian juga bekerja pada Eric Izod pemilik Izod Motor dan ia
membayar sewa perumahan milik pemerintah itu dengan gajinya. Keberanian
bocah 12 tahun dari Kupang ini menjadi headline di berbagai media
seluruh dunia saat itu, bahkan sampai beberapa tahun setelah kejadian
itu. Pada tgl 20 Juli 1951 Arthur R Driver telah meninggal, koran
melaporkan tentang Bas yang diperkirakan berusia 16 tahun pada saat itu.
Karena ketiadaan dokumen, usianya ditentukan dengan perkiraan. Ia
kemudian bekerja sebagai klerk pada Commonwealth Works Department. Di
sanalah pada usia 24 tahun ia bertemu seorang gadis cantik dari Perth
bernama Margaret. Mereka bertemu pertama kali pada bulan Februari 1956
ketika Margaret bekerja sebagai seorang junior draftwoman pada bagian
surat-surat masuk pada the Department of Works and Housing.
“Ia membawa surat ke meja saya, mengantarnya secara khusus,” ujar
Margaret.”Bagi saya, itu semacam cinta pada pandangan pertama.”
Setelah 18 bulan berpacaran, keduanya menikah di sebuah Gereja Katholik
di Smith Street di mana Bas pernah bekerja sebagai seorang anak altar.
Upacara pernikahan di gereja kecil ini, diikuti oleh resepsi terang
bulan di halaman belakang rumah di Fannie Bay.
Beberapa
bulan setelah pernikahan mereka, tepatnya pada bulan July 1958 saat
majalah Time melaporkan tentang Bas, sebuah keberuntungan lagi
menghampiri hidup pemuda ini: ia akhirnya menerima permanent residence
yang telah lama ia tunggu. Penerimaan ini merupakan sesuatu yang sangat
langka dalam kebijakan imigrasi Australia saat itu yang sangat anti
Asia.
The Kupang Kid akhirnya menerima surat-surat naturalisasinya. “Kami
bangga”, kata salah seorang pejabat seperti yang dilaporkan majalah
Time,” mempunyainya sebagai seorang Australia.”
Majalah Time pun melaporkan tentang kisah ini pada edisi 7 Juli 1958.
Pada tahun 1978, Bas dan keluarganya menjadi topik utama dalam program
TV This Is Your Life.
Bas Wie dan istrinya Margareth kini telah pensiun dan mereka mempunyai
lima anak serta tujuh orang cucu. Pada ulang tahun perkawinan mereka
yang ke 70 pada tanggal 8 Desember 2007, wartawan Australia Daniel
Bourchier menulis tentang pasangan ini dengan judul: “Kupang Kid marks a
marriage half century.”
Sejarah hidup Bas Wie kini tertulis dalam sejarah Northern Territory.
Cerita hidupnya adalah cerita seorang survivor yang hebat. Seperti
katanya istrinya, Margaret:”Ia punya ketetapan hati yang besar untuk
melakukan sesuatu yang telah ia tetapkan dalam pikirannya, dan sedikit
semangat gambling, untuk mengambil resiko.”
Anak laki-laki Bas, Trevor, mengenang bagaimana ayahandanya menjawab
jika orang menanyakan luka besar di punggungnya. Trevor mengingat pada
tahun 1960-an di mana Darwin adalah tempat yang enak untuk bermain bola
sambil bertelanjang dada.
Saat bermain di lapangan, Trevor biasa mendengar anak-anak bertanya:
“Mr Wie, Mr Wie. What’s that mark on your back?”
“Oh, a butterfly landed there.”, adalah satu-satunya jawaban yang biasa ia berikan, kenang Trevor.
“Itulah Ayah” kenang Trevor.”Dihantam oleh sebuah ban yang berputar,
diberkati oleh keberuntungan. Hangus di satu sisi, beku di sini lain.
Selalu murah hati.”
“Saya tak pernah mendengarnya mengatakan sesuatu hal yang jelek tentang
siapa pun. Orang-orang baik telah berjuang baginya agar ia tetap tinggal
di Darwin.”
Menurut Trevor sikap Bas ini adalah bagian dari penghargaan Bas terhadap
orang-orang baik yang telah berani melawan kebijakan ‘Keep Australia
White’ pada masa itu untuk membela ayahnya agar tidak dideportasi.
Ya, hanya mereka yang pernah merasakan kemurahan Allah yang begitu nyata
dan besarlah yang selalu mensyukuri apa yang mereka punya tanpa
mengeluh. Benar, sebuah kupu-kupu telah hinggap di pundakmu om Bas, dan
itulah yang telah membuatmu menjadi seorang ayah, suami, kakek yang
membanggakan.”Selalu murah hati” seperti kata anakmu. Ketika itu hampir
semua media di dunia memuat sensasi Bas Wie dan Arsip Nasional Australia
menyimpan ratusan halaman dokumen berkaitan dengan kasus Bas ini.
Polyn Bunga Lay keponakannya yang mengunjunginya di Panti Jompo
mengatakan Bas Wie masih mampu mengenal ia dan ibunya, bahkan berbicara
dalam bahasa Sabu bahasa ibunya.
ketika dikunjungi keluarga BUNGA LAY dipanti Jompo Darwin Australia pada 5 Januari 2015 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar