Translate

Kamis, 05 Maret 2015

Sekilas Kisah Tentang Sabu Raijua


Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua

Sabu Raijua secara geografis merupakan gugusan  pulau di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terletak secara tersendiri di tengah Laut Sawu.
Menyebut Sabu Raijua maka tidak telepas dari gugusan 3 pulau kecil, yakni pulau Sabu, pulau Raijua dan pulau Dana. Kalau mau ditelusuri lagi lebih jauh, ditambah satu lagi "pulau misterius", sehingga tak jarang dikenal sebagai 'pulau mitos', yakni Pulau Kelara.

Dalam Kehidupan Orang Sabu khususnya dalam kehidupan religi tidak terlepas kaitannya dengan aspek kehidupan lain yakni bidang ekonomi, sosial dan budaya atau adat istiadat. 
Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa (Deo Ama), sehingga segalanya harus dilakukan dalam suasana religi dalam kehidupan.
Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan-kegiatan selalu diawali dengan ritual-ritual dengan maksud memohon bimbingan, petunjuk, berkat serta penjagaan dari Deo Ama.
Rumah Adat Boko-Raijua

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman, beberapa buku referensi dan cerita orang-orang tua (leluhur), dan hanya sebagai salah satu bagian kecil saja dari berbagai referensi lain yang bisa ditemukan mengenai kisah tentang Sabu dan adat istiadatnya.
Tentang asal usul orang Sabu dan negeri asalnya, terdapat beberapa versi menurut cerita beberapa orang Mone Ama dan mereka yang mengetahui tentang sejarah Sabu.
Meskipun demikian, dari tuturan mereka itu terdapat satu kesimpulan yang sama bahwa nenek-moyang orang Sabu berasal dari suatu negeri yang sangat jauh, letaknya di ufuk Barat Pulau Sabu.
Sejarah dunia memberitahukan bahwa antara abad ke-3 sampai abad ke-4 ada arus perpindahan penduduk yang cukup banyak dari India Selatan, ke kepulauan Nusantara. 
Perpindahan penduduk itu disebabkan karena pada kurun waktu tersebut, terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan.
Raja Chandragupta II yang memerintah di India Utara dari tahun 375-413 telah menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, termasuk Kerajaan Gujarat di India Selatan. 
Keamanan yang buruk mendorong orang untuk mencari daerah pemukiman baru yang lebih aman.
Jauh hari sebelumnya, telah tersebar berita bahwa di Kepulauan Nusantara, di mana pengaruh India sudah semakin besar, adalah negeri yang aman, tenteram dan makmur. 
Maka terbitlah dorongan kuat di antara penduduk untuk meninggalkan negeri asalnya menuju negeri baru yaitu Kepulauan Nusantara.
Dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu, dapat diperoleh informasi sejarah mengenai negeri asal dari leluhur orang Sabu. Syair-syair itu mengungkapkan bahwa negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di seberang laut di sebelah Barat yang bernama Hura
Dalam peta India memang terdapat Kota Surat di wilayah Gujarat, India Selatan. Kota Surat terletak di sebelah Kota Bombay, Teluk Cambay, India Selatan. Daerah Gujarat pada waktu itu sudah di kenal di mana-mana sebagai pusat perdagangan di India Selatan. Kota dagang yang terkenal adalah Koromandel.
Orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat itu sebagaimana mestinya. Lidah mereka menyebutnya Hura.
Sebelum perpindahan penduduk itu, antara abad ke 2-3 sudah terjalin hubungan perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan pedagang-pedagang dari India Selatan. Pengaruh India Selatan besar sekali terhadap kepulauan Nusantara. Pada abad ke-2 sampai abad-16 telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, mula-mula di Jawa, kemudian di Sumatera dan Kalimantan.
Dari antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan paling besar pengaruhnya di kepulauan Nusantara adalah Kerajaan Majapahit. Sisa-sisa pengaruhnya masih dapat ditemui di kalangan masyarakat Sabu.
Para pendatang dari Gujarat ini ketika tiba di pulau Raijua dapat hidup bersama dengan para imigran yang berasal dari perpindahan penduduk gelombang kedua yang berasimilasi dengan imigran gelombang pertama, meskipun pengaruh mereka tampak dominan.
Menurut ahli sejarah, sebelum imigran dari India Selatan, Nusantara sudah dihuni oleh ras Austronesia kira-kira 2000 SM. Kemudian disusul ras Mongoloid, lewat Muangthai, Malasyia Barat dan menyebar di Nusantara, kira-kira 500 SM.
Rombongan India Selatan menjadi penghuni pertama Pulau Raijua di bawah pimpinan Kika Ga. Setelah kawin mawin mereka kemudian menyebar di Pulau Sabu dan Pulau Raijua menjadi cikal bakal orang Sabu.
Pada abad ke 14 sampai awal abad ke 16, Majapahit berhasil menguasai dan menyatukan Nusantara. Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Jawa. Meskipun demikian setiap kerajaan di bawah kekuasaanya memiliki otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah-tangganya dengan satu persyaratan yakni tetap mengakui kedaulatan Majapahit lewat pemberian upeti.
Sedikit bukti pengaruh Majapahit terhadap Sabu dapat dilihat sbb:
  1. Mitos (cerita rakyat) yang memberikan penghormatan terhadap raja Majapahit. Sehingga muncul cerita bahwa Raja Majapahit dan istrinya pernah tinggal di Ketita di Pulau Raijua dan Pulau Sabu.
  2. Ada kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpul untuk dipersembahkan sebagai upeti kepada Raja Majapahit. 
  3. Ada batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut Wowadu Maja dan sebuah sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
    Eimada Maja, Raijua
  4. Setiap 6 tahun sekali ada upacara yang diadakan oleh salah satu Udu di Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan 'Ngalai', yang menurut cerita adalah keturunan pendatang orang-orang Majapahit. 
  5. Motif pada beberapa tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura sebagai bukti pengaruh Hindhu yang dibawa Majapahit dan perahu, yang menggambarkan armada kapal Kerajaan Majapahit. 
    Salah Satu Motif Tenunan Sabu Raijua
  6. Di Kecamatan Mehara ada sebuah desa yang bernama Tanajawa, dipercaya sebagai tempat perkemahan pasukan Angkatan Laut Majapahit saat berlindung dari amukan badai pada saat ekpedisi penaklukan Nusantara sehubungan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada.
  7. Sedangkan di Kecamatan Mehara juga ada tempat yang disebut dengan Molie yang disinyalir diambil dari bahasa Jawa yakni Mulih O, yang berarti "mari pulang" (bahasa Jawa). Dalam beberapa riwayat, dikisahkan bahwa nama ini diambil dari kata-kata pasukan Majapahit ketika berkumpul untuk kembali pulang ke kapal-kapal mereka setelah berteduh menghindari badai saat ekspedisi penaklukan beberapa wilayah Nusantara.
  8. Situs peninggalan Majapahit terdapat di Pulau Raijua, wilayah Kecamatan Raijua. Situs ini diyakini oleh orang Sabu sebagai peninggalan Gadjah Mada di masa kerajaan Majapahit. Di lokasi situs terdapat sebuah rumah dan berbagai pakaian dan perlengkapan perang yang dipakai oleh Gadjah Mada dalam upayanya mempersatukan wilayah Nusantara ke dalam Kerajaan Majapahit serta sawah yang dipakai untuk mempertahankan hidup selama di Raijua.
    Tombak & Jubah Perang yang dipercaya sebagai peninggalan Maha Patih Gajah Mada di Raijua


Pembagian Wilayah dan Penyebaran Penduduk di Sabu.
Pembagian wilayah ini terjadi pada masa Wai Waka (generasi ke-18). Pembagian ini dibuat berdasarkan jumlah anak-anaknya yang dibagikan.
Pembagian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba);
b. Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara);
c. Wara Wai mendapat wilayah Liae;
d. Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timur);
e. Dida Wai mendapat wilayah Menia;
f. Jaka Wai mendapat wilayah Raijua.

Dari pembagian ini telah menyebabkan terbentuknya komunitas genelogis-teritorial, dimana suatu rumpun keluarga terikat pada pemukiman tertentu.
Karena rumpun ini berkembang semakin besar maka dibentuk suatu sub-rumpun yang disebut Udu yang dikepalai oleh seorang Bangngu Udu.
Di Sabu dan Raijua seluruhnya terdapat 43 Udu dan 104 kerogo.

Agama Suku & Hal-hal Menyangkut Ritual.
Simbol Orang Jingitiu Pada Saat Ledo Hawu-Raijua
Sistim Kepercayaan
Agama suku Sabu atau Agama Asli Sabu tidak diketahui namanya. Pada umumnya orang menyebut agama suku Sabu dengan nama “jingitiu”, yang berasal dari kata “Jingi Ti Au”, yang diartikan atau ditafsir:  “jingi” artinya melanggar atau menolak atau jauh, “ti” artinya dari dan “Au” artinya Engkau (Tuhan). Jadi dapat diartikan secara harafiah bahwa Jingitiu adalah agama yang menolak/jauh dari Tuhan.
Padahal nama ini adalah penyebutan yang diberikan oleh Penginjil Portugis yang datang ke Sabu pada Tahun 1625. Mereka menyebut dengan Gentios (kafir/tidak mengenal Tuhan). Yang menurut pelafalan orang Sabu adalah Jingitiu. Hal tersebut dapat dilihat juga dalam penyebutan mereka terhadap agama suku di Belu yang dilafalkan oleh orang Belu dengan sebutan Dintiu.
Ritual Panggil Hujan Dalam Kepercayaan Jingitiu, Sabu Raijua
Para Mone Ama (pimpinan agama suku) pada waktu itu menerima penyebutan tersebut begitu saja, karena ketidak-mengertian mereka terhadap arti dari istilah/penyebutan yang diberikan tersebut.
Beberapa Hal Mengenai Sistim Kepercayaan Agama Suku Sabu:
  1. Orang Sabu Pecaya pada suatu Zat Ilahi yang disapa dengan sebutan “Deo Ama” (Allah Bapa, asal dari segala sesuatu), “Deo Woro Deo Pennji” (Tuhan Pencipta Semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/Maha Agung). 
  2. Segala ciptaan terdiri dari 2 unsur yang esensial, mengandung daya yang saling bertentangan, bergantungan, dan saling melengkapi. Contohnya laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara dengan masing-masing fungsi yang saling melengkapi. Sehingga dalam kehidupan orang Sabu, laki-laki dan perempuan selalu dilihat sebagai suatu kesetaraan atau apa yang kita kenal sekarang dengan istilah “gender”.
  3. Manusia harus selalu menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan Tuhan. Jika hubungan itu baik maka disebut dengan “Meringgi” atau dingin, yang dipercaya mendatangkan damai sentosa, "Mengerru" (hijau/kesuburan) dan "Merede" (berkelimpahan). Tetapi sebaliknya, dan bila terjadi kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan atau tatanan yang ada akan mendatangkan hal-hal yang “Pana” (Panas) atau hal-hal yang berupa petaka, bencana. 
  4. Untuk menjaga Relasi yang harmonis antara Manusia dan Tuhan maka dalam tatanan kehidupan diatur juga tentang ritual-ritual keagamaan, hubungan kekerabatan dan hukum adat.

Tentang Nada
 
Nada adalah tempat beribadat bagi penganut agama suku Sabu (Agama Asli). Nada pertama didirikan Kika Ga di Kolo Marabbu (generasi 11, Miha Ngara). Selanjutnya, Nada berkembang menjadi dua, yang satu tetap di Marabbu, yang satu di Kolo Teriwu.


Pada masa Wai Waka (generasi 18) diadakan pembagian wilayah dan masing-masing wilayah didirikan Nada.
Pada masa Robo Aba (Generasi 24) terjadi perpindahan Nada dari Kolo Teriwu ke Namata
Tidak semua barang keperluan ritual adat yang dipindahkan, termasuk Eku (salah satu alat penting).
Eku baru berhasil dibawa/dipindahkan ke Namata pada masa Mata Lai (generasi 29). Dengan demikian lengkaplah sudah perlengkapan upacara bagi penduduk di wilayah Habba.


 Nada Ae Namata, Seba - Sabu Raijua
Dalam perkembangannya, disamping Nada di Namata (Nada Ae Namata), di bangun lagi Nada baru di Rai Dana (Nada Ae Gurikebeu). Nada ini juga diurus oleh Mone Ama dari Namata.
a. Batu-Batu (Wowadu) Megalitik Di Nada Ae Namata, antara lain :
1. Wowadu Piga Hina;
2. Wowadu Ngellu;
3. Wowadu Lirru Bella;
4. Wowadu Dahi Bella;
5. Wowadu Lawa Rai (batu peringatan terhadap Hawu Miha di Teriwu);
6. Wowadu Kika Ga;
7. Wowadu Petti Ma Ratu Kaho, dan beberapa batu lainnya yang semuanya ada berjumlah 14 buah.



b. Batu-Batu (Wowadu) Megalitik Di  Nada Ae Gurikeberu, antara lain:
1. Wowadu Ettu (batu Ulat);
2. Wowadu Lale Dahi (batu kiamat atau air bah);
3. Wowadu Lakati (batu penyakit cacar);
4. Wowadu Kolera (batu penyakit kolera);
5. Wowadu Heraba (batu penyakit serampa atau morbili); dan beberapa batu lain.

Perlu diingat bahwa batu dalam agama suku Sabu bukanlah sebagai sembahan tetapi merupakan sarana sebagai mesbah untuk meletakkan korban persembahan bagi Deo Ama.


Mone Ama (Majelis Adat & Agama)
Dalam tata kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan Pemerintahan Adat, Keagamaan Suku diatur oleh sebuah sistim kemajelisan yang mempunyai fungsi masing-masing. Majelis ini disebut dengan Majelis Mone Ama. Bagi orang Sabu, Agama dan Hukum Adat merupakan dasar bagi kehidupan, baik dalam bidang Sosial, Ekonomi, maupun kesenian. Sehingga segala aspek kehidupan tersebut harus mencerminkan totalitas yang serasi dengan Agama (Agama Suku).
Di Habba, pada mulanya Majelis Mone Ama ini cuma terdiri dari 4 orang (masa Roba Aba, genarasi 24) masing-masing adalah:
Deo Rai;
Do Heleo;
Rue;
Pulodo.
Dari Majelis ini, yang memimpin kemajelisan adalah yang memangku jabatan sebagai Deo Rai. Hal tersebut dapat dilihat dalam hal perlengkapan upacara serta urutan-urutan dalam pelaksanaan upacara. Dalam perkembangannya dengan melihat kebutuhan dan permasalahan dalam masyarakat yang semakin kompleks maka jumlah Mone Ama juga bertambah. Di Habba berkembang menjadi 9 orang, yakni:
• Deo Rai.
Tugasnya sebagai Pemimpin, Penegak Syarat Agama Suku dan Adat serta menjalankan Pemerintahan Adat. Memimpin upacara yang bersangkutan dengan tugasnya antara lain: Puru Hogo, Baga Rae, Jelli Ma, Hanga Dimu, Daba, Banga Liwu, Hole. Selain itu juga ia bertugas dalam masalah tanah, pertanian (kacang hijau) dan yang terakhir adalah tugasnya sebagai pemimpin upacara untuk memanggil hujan.

• Pulodo.
Tugasnya adalah masalah pertanian (padi), kesuburan tanah, kegiatan-kegiatan musim kemarau termasuk sabung ayam, mendampingi Deo Rai dalam upacara Puru Hogo dan upacara lainnya, berkoordinasi dengan Bangngu Udu dalam urusan Pemerintahan Adat.
• Doheleo.
Mengawasi agar adat ditegakkan secara tertib dan teratur, melihat setiap peristiwa (bencana) yang terjadi karena pelanggaran adat. Memimpin upacara tolak bala. Mengurus masalah pertanian (jagung Sabu/sorghum) serta urusan kesuburan tanah.
• Rue.
Melakukan upacara menghilangkan akibat dari perbuatan haram (tolak bala), menyelesaikan masalah bencana alam, hama dan wabah penyakit.
• Latia
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah yang terbakar.
• Bakka Pahi.
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah akan tetapi tidak terbakar atau lebih tepat pada upacara cedera dari benda tajam seperti pisau (Tuddi) dan Parang (Wela).
• Maukia.
Menangani segala urusan menyangkut peperangan. Menangani apa yang bersangkutan dengan barang-barang yang bersifat haram dari luar, lewat upacara memuat dalam suatu perahu dan dihanyutkan ke laut.
• Kenuhe.
Pada waktu perang dan ada musuh yang terbunuh maka tugasnya lah untuk memangku mayat sementara upacara berlangsung.
• Tutudalu.
Setiap mayat dalam pangkuan Kenuhe dikuliti kulit kepala dan ditanam dalam nada dan hal ini dilakukan oleh Tutudalu.


Kalender Adat & Upacara Adat Menurut Siklus Kehidupan Orang Sabu

Tidak ada satupun aktivitas hidup orang Sabu selama satu tahun kalender yang dapat terpisah dari kehidupan keagamaan suku. Pola ini didasarkan atas 9 Amanat Deo Ama, yakni:
Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu, saat akan dimulainya kegiatan sadap nira tuak & dan masak gula Sabu yang merupakan salah satu bahan makanan pokok orang Sabu;
Bagga Rae; diadakan pada akhir bulan Bagga Rae, dengan tujuan sebagai tanda akhir dari kegiatan sadap nira tuak dan masak gula Sabu. Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban; Mengecek tentang curah hujan pada musim penghujan yang akan datang;
Memagari daerah agar terhindar dari musuh dan malapetaka; Mempererat tali persaudaraan antara warga udu dan kerogo.
Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko’o Ma sebagai upacara membersihkan kebun;
Hanga Dimu; diadakan pada bulan Hanga Dimu, yakni Deo Rai dan Pulodo memulai panen kacang hijau, dilanjutkan dengan acara Nga’a Hanga Dimu. Setelah itu baru warga boleh memulai panen kacang hijau;
Daba; dalam daur hidup dikenal tahapan lahir (metana), pemberian nama (wie ngara), hapo (pengakuan tentang sahnya anak), daba (baptis), leko wue (belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi dan perkawinan (peloko nga’a) serta kematian (made); Daba merupakan rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari ketiga setelah panen sorghum dan pesta pado’a. Daba diadakan pada bulan Daba Iki;
Banga Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke-9 dari bulan baru). Dalam rangkaian upacara tersebut bertujuan untuk: mendinginkan obyek-obyek seperti kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak. Penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya diadakan “Pado’a bui ihi”;




Hole; dilakukan pada hari ke-7 setelah purnama pada bulan Banga Liwu. Salah satu tujuannya adalah melepaskan celaka ke laut serta menutup mulut laut (radja uba dara) agar hasil yang dari darat jangan terhisap atau tertelan ke dalam laut. Atau dapat dikatakan dengan istilah buang sial;
Ritual Adat Hole Mehara, Sabu Raijua

Hapo Ana; merupakan acara pengakuan terhadap anak yang dilahirkan;
Made; upacara yang bersangkutan dengan kematian.
Hal-hal tersebut merupakan syarat agama suku sekaligus merupakan adat orang Sabu, terutama bagi mereka masih menganut agama asli. Dalam penyelenggaraan pemenuhan 9 amanat ini maka pelaksanaannya tidak terlepas kaitannya dengan kalender kegiatan tahunan.
Adapun kalender Tahunan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kelila Wadu (Juli-Agustus);
2. Tunu Manu (Agustus-September);
3. Bagga Rae (September-Oktober);
4. Ko’o Ma (Oktober-November);
5. Naiki Kebui (November-Desember);
6. Wila Kolo (Desember-Januari);
7. Hanga Dimu (Januari-Februari);
8. Daba Iki (Februari-Maret);
9. Daba Ae (Maret-April);
10. Banga Liwu (April-Mei);
11. A’a (Mei-Juni);
12. Ari (Juni-Juli).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar